loader image

Novel kita

Ratu Simbarkancana dan Pangeran Ajar Kutamangu – Bab 1

Ratu Simbarkancana dan Pangeran Ajar Kutamangu – Bab 1

Tewasnya Sang Prabu
66 User Views

Malam gelap tanpa bintang mengungkung Keraton Talagamanggung. Langit tampak hitam legam tanpa warna sejauh mata memandang. Suasana mencekam, dirasakan oleh sebagian penghuni keraton Talagamanggung.

Tidak seperti biasanya, malam ini, udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang. Suara desir angin di antara rimbunnya pepohonan di kegelapan malam, menghembuskan bisikan-bisikan gaib dengan gelisah.

Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara satwa malam, bagaikan alunan tarawangsa yang menyayat hati, seakan-akan memberi sebuah pertanda buruk.

Mendekati dini hari, seorang prajurit misterius berpakaian serba hitam, mengamati keadaan di sekitar. Kedua bola matanya yang setajam elang, sibuk mengamati dengan telik, mengawasi kondisi keraton malam itu.

Prajurit berpakaian serba hitam itu, hanya mempunyai waktu beberapa saat, sebelum prajurit penjaga berpatroli ke bagian belakang keraton.

Setelah yakin bahwa keadaan benar-benar sepi dan aman, prajurit itu kemudian berjalan mengendap-endap ke belakang keraton.

Prajurit itu sampai di sebuah bangunan besar yang tampak kokoh dan agung meskipun dalam keadaan gelap, bagaikan raksasa yang berdiri tegak. Bangunan itu adalah sebuah tempat menyimpan senjata pusaka dan peralatan perang.

Walaupun merasa sedikit takut, Prajurit itu secepat kilat berlari dan melompat, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Gerak-geriknya gesit dan mencurigakan.

Prajurit itu melompat ke halaman bumi manik yang gelap gulita.

Bangunan besar itu dikelilingi oleh pilar-pilar sebesar gentong beras. Seperti biasanya, bangunan bernama Bumi Manik itu tidak dijaga ketat, karena tidak ada yang berani mendekatinya bahkan di waktu siang hari.

Para penjaga yang berpatroli hanya memastikan keadaannya aman setelah lewat tengah malam. Dengan perlahan dan hati-hati, prajurit itu membuka kunci bangunan bumi manik.

Suara derit pintu yang terbuka, terdengar nyaring di kesunyian. Prajurit itu terkejut dan menahan nafasnya, matanya kembali memeriksa keadaan, takut ada yang penjaga memergokinya.

Setelah meyakinkan diri, tidak ada yang mengetahui perbuatannya, Prajurit itu kemudian masuk ke dalam ruangan, selangkah demi selangkah, meraba-raba dalam kegelapan.

Karena tahu betul keadaan Bumi Manik di saat siang harinya, prajurit itu tidak perlu menunggu waktu lama untuk menemukan apa yang dicari olehnya. Tangannya kini sedang menggenggam erat, tombak pusaka yang umurnya sudah ratusan tahun.

Hatinya kini terasa gembira, karena sudah menemukan apa yang dicarinya. Cepat-cepat dibawanya tombak pusaka itu keluar. Kepalanya menoleh kesana kemari, memastikan sekali lagi bahwa semuanya berjalan seperti rencana.

Bagus! Tidak ada yang membuntutiku!” Kata Prajurit itu dalam hati.

Prajurit itu kembali berjalan mengendap-endap. Membungkukkan badannya, lalu masuk ke kolong bangunan keraton. Berjongkok sambil bersembunyi di bawah tangga.

Kegelapan malam menyembunyikan sosoknya. Dinginnya udara terasa ngilu di seluruh sendi-sendi tubuhnya, tetapi prajurit itu bertahan dan tetap menunggu dengan sabar. Nyamuk yang berdengung di telinganya, disingkirkan hanya dengan mengibaskan tangannya saja.

Setelah menunggu sekian waktu, lambat-lambat, terdengar derit suara pintu belakang keraton terbuka. Prajurit yang sedang bersembunyi, menahan nafas dengan perasaan tegang sekaligus gelisah.

Tangga berderit menahan berat tubuh Prabu Talagamanggung yang turun dalam keadaan masih mengantuk. Tangannya merayap-rayap ke pegangan tangga. Langkahnya tersendat-sendat menuju ke jamban keraton.

Prajurit yang sedang mengintip, mengendap-endap, keluar dari kolong bangunan keraton. Perlahan dia berdiri, melangkah dengan hati-hati mengikuti Prabu Talagamanggung. Menyembunyikan diri di balik rimbunnya tanaman dan dinding-dinding pemisah bangunan keraton.

Terdengar suara air mengalir saat Prabu Talagamanggung buang air kecil, prajurit itu kemudian bersembunyi di balik dinding pelindung jamban.

Prabu Talagamanggung dengan tenang menuntaskan hajatnya dan keluar dari jamban. Prajurit berpakaian serba hitam itu langsung meloncat sambil menusukkan tombak yang digenggamnya seketika. Tombak pusaka langsung menusuk ke jantung Prabu Talagamanggung.

“Ahkkkk! Ahkkkk! To…Tolooongggghkk hkkk!”

Terdengar jeritan memilukan, Prabu Talagamanggung tertusuk tombak pusaka yang menembus hingga ke punggung.

“Om Mannhii ekkhh… Pshhdme huuuumm…hkkk!” Prabu Talagamanggung tersungkur ke tanah dengan tangan yang masih menggapai-gapai, kakinya menendang-nendang menahan sakit saat nyawanya sudah sampai di tenggorokan.

Prajurit yang membunuhnya langsung melarikan diri dengan melompati dinding dan benteng keraton. Prabu Talagamanggung roboh seketika. Nyawa terlepas dari raganya.

Prajurit-prajurit Jagabaya yang berjaga sambil menahan kantuk, terkejut dan terkesima, demi mendengar teriakan yang menyayat hati.

“Suara Sang Prabu!” salah seorang Jagabaya berkata dengan suara gemetar saking terkejutnya.

“Cepaaatt!” Kepala Pasukan langsung memberi perintah. Mereka secepatnya berlarian menuju asal suara.

Betapa terkejutnya mereka semua, ketika mendapati Prabu Talagamanggung sudah tidak bernyawa.

Teriakan memilukan itu juga terdengar hingga ke bale Kaputren.

Putri Simbarkancana membuka matanya karena terkejut yang amat sangat. Segera saja dia bangun dari tempat tidurnya yang beralaskan sutra berwarna biru.

Putri Simbarkancana mengguncang tubuh suaminya. Suaminya, Sakyawira sedang tertidur lelap sambil mendengkur.

Setelah beberapa kali diguncang-guncang tubuhnya, barulah suaminya itu bangun sambil mengusap-usap matanya.

“Ada apa, Nyai?” tanya Sakyawira sambil menyipitkan kedua matanya.

“Cepat, Kakang! Ada suara-suara keributan dari belakang keraton!” jawab Putri Simbarkancana sambil mencabut patrem, tusuk konde dari perak di bilik anyaman bambu yang dihiasi dengan kain kelambu berwarna kuning emas.

Rambutnya yang panjang digulung lalu disanggul, patrem ditusukkan ke sanggul sebagai penguat agar tidak terlepas.

Putri Simbarkancana yang panik dan Sakyawira, berlarian saling susul menyusul menuju pintu belakang. Lalu melompati beberapa anak tangga sekaligus, menuju orang-orang yang sedang bergerombol dengan suara gaduh.

Saat melihat keadaan Ayahandanya, Putri Simbarkancana menjerit putus asa, lalu tak sadarkan diri. Untungnya, tubuhnya langsung ditangkap oleh Sakyawira sebelum roboh ke tanah.

Permaisuri, istri Prabu Talagamanggung, ketika mendapati jasad suaminya tewas mengenaskan, dia pun jatuh pingsan.

“Mengapa diam saja? Cepat gotong ke keraton! Yang lainnya, cari pembunuh Rama Prabu sampai dapat!” Sakyawira membentak para prajurit Jagabaya.

Mereka yang dibentak oleh Sakyawira, menantu Sang Prabu, sebagian langsung berlarian menyebar ke segala penjuru, tanpa tahu kemana harus mencari si pembunuh yang hilang ditelan gelapnya malam. Sebagian lagi, menggotong jasad Prabu Talagamanggung dan keluarganya yang jatuh pingsan.

Malam itu juga, semua pengagung keraton dipanggil, termasuk Patih Citrasinga.

“Paman Patih!” kata Sakyawira kepada Patih Citrasinga,

“Malam ini juga, Paman harus mengirimkan seluruh prajurit untuk mencari orang yang sudah membunuh Rama Prabu, harus sampai ditemukan!” lanjut Sakyawira.

“Baik, Gusti Patih! Hamba amit mundur!” jawab Patih Citrasinga sambil menyembah.

Para pengagung yang lainnya, berkumpul menunggu perintah. Tetapi, sampai yang pingsan sudah siuman, Sakyawira tidak memberi perintah apapun.

Upacara Suci Pembakaran jasad Prabu Talagamanggung, dilaksanakan tujuh hari dari sejak terbunuhnya Sang Prabu.

Sejak sore hari, sudah berkumpul semua orang yang hendak mengikuti upacara kematian di Negeri Talaga.

Mereka adalah rakyat dan para pengagung kerajaan yang datang berduyun-duyun, berdesak-desakkan, memenuhi lapangan alun-alun Negeri Talagamanggung.

Beberapa utusan kenegaraan, berdatangan dari kerajaan-kerajaan tetangga, yang sama-sama merupakan bawahan Negri Galuh.

Mereka menemui keluarga keraton ikut berbela sungkawa. Malah, ada juga utusan yang datang dari Negeri Sunda, kerajaan yang letaknya paling jauh di bagian barat, ikut menghaturkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya.

Sekeliling lemah datar diterangi oleh obor-obor yang sengaja dibuat dari sejak siang harinya. Upacara Suci Pembakaran jenazah Prabu Talagamanggung, dipimpin oleh Mahabiksu Panglurah, putra sulung Sang Prabu, kakak laki-laki dari Putri Simbarkancana.

Bersama-sama dengan para Biksu dari seluruh Negeri Talaga, Mahabiksu Panglurah mengawali Upacara dan memimpin pemujaan,

“Om mani padme huummmm! Om mani padme huummmm!” Diikuti oleh ribuan orang yang memenuhi lemah datar.

Mahabiksu Panglurah dan para biksu-biksuni berjajar mengelilingi api pembakaran kayu samida, yang di bagian atasnya dibaringkan jasad Prabu Talagamanggung dalam bandusa kayu Cendana.

Setelah tujuh putaran, Mahabiksu Panglurah menyalakan pelita di dalam cawan tempurung kelapa yang dibawanya. Dinyalakan dari tumpukan kayu terbawah, lalu diikuti oleh yang lainnya.

Saat api mulai membakar tumpukkan kayu, mereka yang melantunkan pupujian suaranya bergemuruh memenuhi langit lemah datar pusat Negeri Talagamanggung.

Raga Prabu Talagamanggung, dilebur oleh api kayu samida yang mewangi memenuhi udara.

“Oooomm mannnniiiii padmeeee huuuuummm…!” suara pupujian terdengar ke empat penjuru Negeri Talaga.

Permaisuri dan Putri Simbarkancana bergantian tak sadarkan diri. Sakyawira menangis kencang dan merengek sambil menendang-nendangkan kakinya seperti anak kecil, tidak ada yang bisa menenangkan dan menghiburnya.

Seorang ksatria yang wajahnya tenang, berdiri tegak sambil menyedekapkan tangan di dekat panggung tempat keluarga keraton.

Ksatria itu tidak menangis, tidak juga ikut melantunkan pupujian.

Ksatria bertubuh tinggi tegap itu, mengenakan ikat kepala Wulung kembang nila, kontras dengan warna kulit parasnya yang kuning langsat.

Di antara ribuan orang yang mengikuti Upacara suci, pakaian ksatria itu berbeda dengan yang lainnya.

Ksatria itu mengenakan baju jamang hitam merangkap pakaian dalamnya yang berwarna putih.

Kain sinjang bawahnya berwarna hitam dengan bayangan garis-garis berwarna putih, melapisi celana komprang setengah betis yang dikenakannya. Sabuknya dihiasi oleh benang emas dan intan putih.

Kakinya beralaskan sandal kulit kerbau dengan tali yang diikat hingga ke tengah betis, tampak gagah dan berwibawa.

Tatapannya kosong menatap pucuk-pucuk api yang sedang berkobar, melebur menyempurnakan jasad kasar Prabu Talagamanggung.

Terkadang, ksatria itu menengadahkan kepalanya memandang langit, menatap bintang yang gemerlap sambil menghela nafas panjang.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ksatria gagah dan tampan itu, tidak bisa dicegah oleh para prajurit penjaga.

Bersikukuh memaksa, ingin menyaksikan diwisudanya Prabu Papayung Negri Talagamanggung yang baru, menggantikan Prabu Talagamanggung Suwargi yang akan dipimpin oleh Mahabiksu Panglurah.

Sempat terjadi keributan, namun setelah mengetahui latar belakang ksatria itu, seorang pengagung memperkenalkannya masuk.

“Untuk meneruskan tugas memimpin dan mengelola negara dari Negeri Talagamanggung, Aku Panglurah, melantik prabu yang berikutnya, adikku, Putri Simbarkancana,” kata Mahabiksu Panglurah di bale panglawungan keraton, di hadapan para pengagung dan keluarga keraton.

Putri Simbarkancana berdiri dari tempat duduknya, lalu mendekati singgasana yang biasa diduduki oleh Ayahandanya semasa hidup. Putri Simbarkancana mengenakan kain kemben penutup dada berwarna kuning emas.

Kain sinjangnya panjang hingga ke mata kaki, berwarna hitam dengan sisian yang disulam benang emas. Pinggangnya dihiasi oleh sabuk sutra berwarna hitam yang ditaburi intan permata.

Jubah panjang berwarna biru nila yang disulam oleh benang perak, menutup pakaian dalam yang dikenakannya.

Rambutnya disanggul cepol dan dihiasi mahkota bersimbol ajaran Sang Buddha. Begitu juga dengan perhiasan yang dikenakannya.

Hampir semua terkesima oleh pamor Putri Simbarkancana yang sekarang akan dinobatkan menjadi ratu. Bukan hanya nampak cantik jelita, tetapi juga nampak agung dan berwibawa.

Permaisuri dan beberapa orang pengagung menitikkan air mata haru sekaligus lara.

Ratu Simbarkancana dan Pangeran Ajar Kutamangu

Ratu Simbarkancana dan Pangeran Ajar Kutamangu

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
"Ahkkkkk! To...toloooongkkhhh!" Terdengar jeritan memilukan, Prabu Talagamanggung tertusuk tombak pusaka yang menembus hingga ke punggung. "Om Mannhii ekkhh... Pshhdme huuuumm...hkkk!" Prabu Talagamanggung tersungkur ke tanah dengan tangan yang masih menggapai-gapai, kakinya menendang-nendang menahan sakit saat nyawanya sudah sampai di tenggorokan. Prajurit yang membunuhnya langsung melarikan diri dengan melompati dinding dan benteng keraton. Prabu Talagamanggung roboh seketika. Nyawa terlepas dari raganya. Peristiwa tragis mengawali malapetaka yang terjadi di Kerajaan Talagamanggung. Negeri Talagamanggung yang tadinya damai dan tenteram, dikejutkan oleh kematian mendadak penguasanya, Prabu Talagamanggung yang dibunuh oleh orang misterius. Keadaan juga menjadi kacau. Karena putra pertama Prabu Talagamanggung lebih memilih menjadi biksu, maka sebagai penggantinya, putri bungsu bernama Simbarkancana ditunjuk menjadi Prabu Talagamanggung berikutnya. "Untuk meneruskan tugas memimpin dan mengelola negara dari Negeri Talagamanggung, Aku Panglurah, melantik prabu yang berikutnya, adikku, Putri Simbarkancana," kata Mahabiksu Panglurah di bale panglawungan keraton, di hadapan para pengagung dan keluarga keraton. Untuk menjaga stabilitas politik di negeri bawahannya, Raja Galuh mengirimkan utusan untuk melayat sekaligus menyelidiki penyebab terbunuhnya Prabu Talagamanggung. Kehadiran utusan dari Galuh yang gagah dan tampan untuk menyelidiki kejadian di Talagamanggung, membuat suami Ratu Simbarkancana yang bernama Sakyawira cemburu, sekaligus khawatir bahwa rahasia busuknya akan terbongkar.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset