loader image

Novel kita

Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Chapter 1 – Chapter 4)

Sahabat-Sahabat Istri di Majelis (Chapter 1 – Chapter 4)

Chapter 1 - Chapter 4 (Free Akses)
1,542 User Views

CHAPTER 1

 

“Ayah ihhh, buruan nyetirnya. Kok malah lelet amat sih. Jalannya udah kayak jalan kura-kura.” Komentar Dinda.

Gue bareng Dinda lagi berada di perjalanan menuju ke suatu tempat yang jujur, gue anggap sih udah kayak sakral banget di datengin. Khususnya gue, yang sampai sekarang ini masih males buat kesana.

Tapi, yahhhh, namanya bini, kalo maunya ya maunya aja. Sulit bagi gue untuk menolak lagi. Karena sebelum-sebelumnya juga, sudah beribu alasan yang udah gue berikan ke dia ketika ajakan itu muncul. Cuma, untuk kali ini, gue benar-benar sudah habis cadangan alesan lagi.

Dan dengan sengaja buat lambetin lajunya mobil, mungkin salah satu bentuk alesan gue biar gue gak sampe ikut pada kegiatan rutin si Dinda ini di sana. Yahhh, gue rasa kalian pasti sudah bisa nebak, kemana arah tujuan gue, bukan? Dari membaca judulnya aja pasti kalian sudah paham.

“Iya iya. Ini juga udah cepet.” Gue membalas ucapan Dinda. Meski gue gak yakin, apakah dia sadar, kalo sebetulnya gue ngucapin itu sembari menggerutu di dalam hati.

Maklum, siapa coba yang gak kesal.

Gue yang memang notabenennya masih belum siap untuk ikut bersamanya hadir dalam kegiataan pengajian yang rutin ia ikutin itu, entah kenapa justru malam ini dia memaksa. Tidak biasanya. Alasannya sih, karena Pak Kyai yang biasa ia sebut buya itu – lah penyebab dari akar masalah yang sekarang terjadi. Buya menyuruh Dinda untuk ngajakin suaminya buat bertemu.

Dan suaminya itu….

Ya gue lah, tong. Masa orang lain.

 

“Nanti gak ada waktu buat ayah ketemu ama buya ihhh, kan jam 9 udah di mulai dzikirnya.” Cetus Dinda gak kalah sengitnya.

“Kan masih ada hari-hari lain bun… lagian ayah kan udah bilang tadi, kalo ayah masih belum siap buat ikut….” istri mau menyela, tapi gue langsung tancap gas lagi. “Jadi sekarang ayah cukup anterin aja yah… yah… yah”

“Ya… kan bunda gak nyuruh ikutin pengajiannya, bunda cuma ajakin ayah buat ketemu ama buya. Itu doang kok. Kalo udah ketemu sekali aja, trus ayah ngobrol bentar ama beliau, udah deh. Ayah udah bisa pulang…”

“Iye…. ayah tau kok apa yang lagi bunda rencanain… pasti nyuruh si buya itu buat rukiah suamimu ini kan.”

“Bukan rukiah ayah… ih gimana sih. Emangnya ayah lagi kerasukan gitu? hihihi”

“Iye kerasukan setan seksi….”

“Hahaha, tuh. Emang wajib sih ini di rukiah. Otak ayah makin hari makin gak stabil” malah becanda.

“Namanya juga laki-laki, bun…. jadi wajar kalo otaknya mesum mulu.” gue membela diri. Meski sejujurnya, gue akuin emang otak gue ini sulit banget gue normalin. Kerap kali, pikiran jorok muncul. Apalagi kalo udah lihat bokong seksi dan dada yang menggiurkan.

“Au ah. Pokoknya buruannnn…. jangan ngajakin bunda ngobrol terus. Ntar telat, udah mulai dzikir. Pasti ayah batal lagi ketemu ama buya”

“Hadeh bun. Kalo memang sudah saatnya, tanpa bunda paksa pun, ayah bakal ikut kok”

Karena gue males nyeritain panjang lebar, apalagi mendengar ocehan wanita di sebelah gue ini, mau gak mau, gue skip saja ya. Gak menarik bro. dan gue yakin, kalian juga bakal ikutan kesel bacanya. Hahay!

 

Well! Karena emang sepertinya malam ini, semesta lagi berpihak ke bini gue, alhasil gue tiba di tujuan tanpa ada hambatan sama sekali. Dan sialnya lagi, acara dzikirnya malah belum di mulai sama sekali. Yang artinya, gue bakal beneran di pertemukan ama abuya yang di maksud.

Hahahaha, tepok jidat. Pengen kabur, tapi keberanian gak menghampiri. Takut kalo Dinda malah berubah menjadi predator betina sambil memegang pisau dan ingin mencabik-cabik lakinya yang masih sepengecut ini buat menemui guru besarnya itu yang biasa ia sebut Buya.

Alhasil, mau gak mau pada akhirnya gue pun tak punya alasan buat tidak ketemu ama buya.

Oh iya, sedikit gue ceritain mengenai tempat yang gue datengin bareng Dinda. Bentuknya seperti rumah besar pada umumnya. Sama sih kayak rumah gue juga. Secara gue kan, bukan datang dari kalangan orang kismin. Gue hidup berkecukupan. Hidup dari kerjaan gue sebagai konten kreator, yang sejak 4 tahun yang lalu memutuskan buat resign dari kantor, dan fokus pada channel youtube, tiktok dan beberapa social media yang mampu menghasilkan pundi-pundi dollar buat gue.

Loh he, kok gue malah nyeritain tentang kehidupan gue ya? Oke forget it. Berjalan aja apa adanya ya.

Gue sendiri? Nama gue Adam Mahendra. Biasa di panggil Dam. Yang manggil kayak gini biasanya irit bicara, atau males manjengin jadi ‘A-dam’. Dan wanita yang tadi gue ceritain, yang sedari awal ngoceh melulu, namanya Dinda Wardani. Bini gue tentunya. Bini yang gue nikahin 6 bulan yang lalu. Yeah! Pengantin baru coyy. Masih hot-hot begete tentunya.

Sejujurnya, gue ma Dinda gak pernah sama sekali mau menunda kehamilannya. Tapi mungkin memang belum di kasih rejeki aja sama sang khaliq. Pun, biasanya ini menjadi senjatanya ketika ia ingin mengajak gue buat bergabung di majelisnya, yang gue samarin aja ya nama majelis ini, sebut saja MKTI. Yes. Itulah namanya. Senjata andalan Dinda awal-awal, adalah alasan supaya, apabila gue ikutan dengannya aktif di kegiatan keagamaan tersebut, mungkin saja, sang khaliq malah membukakan pintu rejeki buat kami mendapatkan keturunan. Tapi kalo udah males sedari awal, tentulah mau dengan cara apapun tak bakal mempan, bro.

Umur gue setaon lagi genep 30. Sedangkan Dinda, masih muda kawan. Masih 25 tahun. Hmm, muda gak yah, kalo segitu?

Kembali ke tempat ini. Gue mau nyebut masjid, tapi ini bukan masjid. Gue mao nyebut mushollah, tapi ini juga menjadi tempat tinggal bagi guru besar abuya, istri, anak-anaknya serta beberapa santri yang aktif disini. Jadi ku sebut saja, rumah MKTI ya. Biar gampang kalo mau lanjut bercerita.

Jadi rumah ini berlantai 3. Dan dari cerita Dinda, jika guru besarnya itu tinggal di lantai dua. Sedangkan di lantai tiganya, yang berupa beberapa kamar – serupa dengan kos-kosan gitu – adalah tempat tinggal para santri dari berbagai daerah. Di lantai satu inilah, tempat di adakannya dziqir dan di sertai dengan ceramah singkat, yang juga luasnya lumayan banget. Intinya begitu kalian masuk di lantai satu ini, kalian akan menemukan bentuk dan luasnya serupa dengan masjid, kali ya. Luas dan dingin.

Oh iya. Ini bukanlah kali pertama gue ke sini. Gue sering nganterin Dinda kalo dia lagi males nyetir. Dan beberapa sahabatnya pun, kenal ama gue. Baik itu ketika Dinda lagi di ajekin nongkrong nyantai, atau sekedar berbalas komentar di social media.

Begitu tiba tadi, memang gue akuin masih belum banyak yang datang. Hal itulah, yang pada akhirnya Dinda mencetuskan untuk ngajakin gue segera bertemu dengan guru besarnya.

Gue pun di ajak masuk Dinda ke sebuah ruangan di sisi samping lantai satu.

“Assalamualaikum wr wb…. buya, ini kak Adam. Suami Dinda.” Begitu Dinda mengenalkanku ke pria tua bersurban yang tengah duduk di singgasananya itu.

“Wa’alaikumsalam…. iya dek Dinda. Kan saya juga kenal sama suami kamu” gue Cuma ngangguk gak jelas saat pria tua itu berucap.

Rupanya ruangan ini, seperti ruangan kantor gitulah. Yang terdapat satu meja kantoran lengkap dengan kursi depan belakang. Di belakang si empunya ruangan tentulah terdapat dua rak bersusun tiga. Semoga kalian memahami bayangan ruangan yang gue jelaskan secara singkat ini ya, karena jujur gue gak berminat untuk menjelaskan secara rinci. Gak guna. Haha….

Pak tua pun mengajak gue buat bersalaman. Tentu saja, saat ia ingin bersalaman dengan gue, ia sempat berdiri dari duduknya. Gak sopan kalo dia Cuma duduk, sedangkan gue yang berdiri. Setelahnya, Dinda pun pamit, beralasan jika mau bertemu dengan temen-temennya di luar.

Kyai abuya ini duduk di kursinya, setelahnya, barulah ia mempersilahkan gue untuk duduk di depan mejanya. Karena memang satu kursi lainnya tersedia di sana. Jadi posisi kami berhadapan di pisahkan oleh meja kantor. Jadi posisi gue tentu saja membelakangi pintu masuk ruangan ini.

“Baik buya” gue sempat membalas ajakannya untuk duduk, sesopan mungkin.

Begitu gue duduk.

Maka….

Di mulailah cuap-cuapan ringan dari si pria tua di hadapan gue ini.

Setelah itu….

Yaelah….

Apa yang kalian harapin ya? Mau dengerin ceramah pria tua ini, tentang ini itunya, yang tujuannya secara tak langsung ngajakin gue buat aktif di sini? Sudahlah yah, gak ada yang menarik menurut gue.

Intinya….

Abuya bercerita panjang lebar sudah seperti rel kereta api, dan mendapatkan tanggapan dari gue yang ‘pura-pura’ serius mendengarkan.

Hingga….

Nah ini. Ini yang mau gue jelasin pada kalian. Kejadian menarik tentunya, jauh lebih menarik daripada nyeritain ocehan pria tua bersurban di hadapan gue ini.

 

Tiba-tiba saja…..

“Assalamualaikum wr wb…. bi, ini minumannya….” sebuah seruan lembut baru saja terdengar, saat gue masih mencoba ‘mengerti’ apa yang di sampaikan sejak tadi oleh pria tua ini. Tanpa ia sadari pun, sejak tadi mata ini terus menerus melirik ke arloji di lengan. Menghitung berapa lama lagi jam akan menunjukkan pukul 9 malam, yang menurut istri dan memang gue juga tahu karena sering mengantarnya, jika acara rutin mereka akan di mulai di jam 9 teng.

“Wa’alaikumsalam…. iya mi. makasih ya” balas abuya. Pria tua itu tersenyum lembut. Pasti wanita yang sedang membawakan minuman pada kami ini adalah istrinya. Yang juga sering Dinda sebut sebagai umi.

Karena seperti yang gue jelasin tadi, posisi gue sedang membelakangi pintu, maka awalnya gue tak menghiraukan, karena memang gue lagi gak ngelihat ke belakang.

Hingga di saat sebuah tangan yang memegang gelas terulur ke arah meja. Lengan yang tentu saja tertutup dengan kain berlengan panjang yang sama seperti pakaian yang Dinda dan para wanita-wanita yang hadir di sini, gunakan, menaruh dua cangkir minuman yang berasap-asap di atas meja, perhatian gue pun akhirnya teralihkan.

 

Dan sialnya….

Pada saat menoleh itu………………

Karena posisi si pembawa minuman itu cukup dekat, dan di perparah ruangan yang kami tempati ini gak luas-luas amat, 2 x 3 meteran ada kali, kalo tidak salah perkiraan, alhasil, hanya berjarak beberapa senti saja, hidung gue yang bangir mancung ini nyaris bersentuhan dengan…..

 

Payudara?

Sekal?

Padat berisi?

 

Sial….

Kenapa sih, malah di suguhkan pemandangan kek gini. Mana posisinya dekat banget lagi ama hidung sialan ini. Sialnya, wanita pemilik kulit putih bersih, dengan tubuh langsing tinggi semampai. Bokong dan payudaranya kelihatan bulat dan berisi meski dia memakai baju panjang yang agak longgar, malah masih benar-benar tidak sadar, kalo cara dia menaruh gelas di atas meja, bikin cenat-cenut pala atas bawah.

Tapi, mengingat situasi yang sedang gak kondusif, apalagi lakinya berada tepat di depan gue, alhasil gue mau gak mau menjauhkan diri sedikit dengan cara menyandar di kursi. Makanya, karena itulah, gue bisa simpulin di narasi pada paragraf sebelumnya. Wanita berkulit putih bersih, tubuh langsing tinggi semampai dan bla-bla, itu. Karena pada akhirnya gue tetap saja ngeliatin wanita itu, kawan.

Kejadian ini hanya singkat saja. Bahkan begitu wanita yang biasa di sebut ‘Umi’ oleh Dinda dan teman-temannya, telah selesai menyajikan dua gelas minuman panas buat kami berdua, begitu ingin berpamitan, tanpa sengaja, mata sialan gue ini malah terfokus pada sepasang payudara ‘mantap’ yang nyaris saja gue sentuh meski dengan hidung doang, tadi.

Payudaramu mengalihkan fokus gue, umi…..

Untung saja gue membatin doang. Gak sampai bicara secara langusng. Bisa kena bogem mentah nih dari lakinya di depan gue. Hahahaha…..

Dan untungnya, baik itu pria tua ini, maupun si umi yang cantiknya – baru gue sadari Masya Allah banget, tidak menyadari kalo ada sepasang mata nakal yang lagi mencoba menerawang jauh ke balik gamis abu-abunya itu.

 

Ahhhh sial……

Dinda oh Dinda. Mengapa engkau tidak pernah ngajekin si umi ke rumah selama ini, sih? Atau elu takut kalo lakimu malah jadi tergoda ya? Ckckckckckc.

 

“Jadi begitu dek Adam… belajar dulu sedikit-sedikit, atau jika memang masih berat dek Adam lakukan, mungkin sisipkan waktu buat sesekali ikut 1 sampai 5 menit kegiatan kami disini, kalo memang dek Adam masih merasa belum siap, kan bisa langsung akhiri saja dan keluar dari sini.” Begitu ujar Abuya, yang tentu saja sudah benar-benar ku acuhkan.

 

Sepertinya….

Gue gak punya alasan buat menolak kali ini. Apalagi sepasang dada montok yang begitu menggoda tadi, bikin semangat gue membara, bro…..

 

 

====================

 

 

CHAPTER 2

 

“Sudah yah?” Tanya Dinda begitu gue samperin dia yang lagi bersiap-siap buat ngikutin acara utama dari perkumpulan malam ini. Acara dzikir malam. Pun setelah tak lama juga, gue dan pak kyai buya memungkasi acara pertemuan gue dengannya tadi di ruang kerjanya. Yang juga sebelumnya sempat tersihir – lebih tepatnya sih, habis di suguhin pemandangan indah oleh sesosok bahenol menggoda, yang bikin birahi sedikit tergoda. The one and only, si umi – bininya abuya yang bener-bener napsuin banget.

Asli bro. tadi pas deketen ama bininya abuya, bikin merinding. Kan udah gue jelasin di chapter sebelumnya, kalo gue itu mudah konaknya. Tapi gue juga liat-liat siapa wanitanya sih. Kalo gak ada sesuatu yang special mah, malah yang ada si komeng jadi ngerucut. Nah!…. salah satu wanita yang memiliki sesuatu yang special itu, yah si bininya pak kyai ini lah.

“Jiah malah melamun. Otak mesumnya paling lagi bergerilya tuh” tiba-tiba Dinda bersuara. “Jangan gila yah, disini gak ada wanita yang berbikini loh. Semua wanita disini bergamis besar, dan soleha banget sama seperti istrimu ini. Hihihihi”

Justru yang seperti itu, menimbulkan rasa penasaran sayangku. Aihhh, Dinda. Sampai sekarang kamu masih juga belum mengerti pikiran suamimu.

“Eh apa tadi yang bunda tanyakan?” gue nanya ke Dinda, karena jujur gue lupa tadi apa yang sebelumnya ia tanyakan.

“Ayah ih…. itu loh, ayah udah selesai ngobrolnya?”

“Sudah kok. Kan ayah juga udah keluar dari ruangan buya”

Dinda tersenyum. Senyumnya itu loh, seakan menyimpan sebuah misteri. Gue malah jadi agak was-was. “Tuh kan, hehehe, apa juga yang bunda bilang…. cepet kan, terus keputusan ayah apa dong?”

Haha, kan, bener juga apa yang gue pikirin, kalo emang ini udah jadi rencana Dinda buat ngajekin gue ikutan majelis yang sudah setahunan lebih ini ia ikutin.

“Keputusan apa sih sayang?” gue nanya balik buat sekedar mastiin.

“Yah keputusan apakah ayah bakal ikut ama bunda buat aktif di MKTI ini?”

“Hmm, nanti deh…. ayah lagi gak bisa konsen sekarang”

“Haaaa? Emangnya ayah habis ngapain sampe-sampe gak bisa konsen? Atau jangan-jangan beneran buya habis nge-rukiah ayah?” Asal lo tau, sayang. Bukan buya yang menjadi sebab suamimu ini gagal fokus. Melainkan bininya.

“Gak kok. Mungkin ayah lagi mencoba memahami dan mengerti apa yang di sampaikan buya sedari tadi di dalam sana”

“Ohhh baguslah” kata Dinda.

 

“Eh dek Dinda… ajekin sekalian suaminya masuk ke dalam. Tuh, udah mau mulai acaranya dek” satu seruan lembut, baru saja menyela obrolan gue ma Dinda.

Gue secara spontan menolehkan kepala buat melihat siapa yang menyela barusan. Begitupun dengan Dinda, seraya berucap, “Eh iya umi. Hehehehe, udah mau di mulai ya dzikirnya?”

Ahhhh dia lagi…. Dia lagi….

Begitu gue berbalik, kembali teringat pada kejadian beberapa waktu yang lalu. Membuat tatapan ini malah sulit buat berpaling. Padahal jelas-jelas Dinda ada di samping. Wajah cantik wanita ini, terlihat polos tanpa bedak apalagi make up. Tapi entah kenapa, gue tetap terpesona pake banget dibuatnya. Di mata gue, si umi ini tetap terlihat menarik dengan jilbab lebar yang ia kenakan.

“Ayah… idih, liatinnya kek gitu banget sih….” celetuk Dinda yang niatnya buat negur lakinya. “Umi. Maafin kak Adam. Dia emang kayak gitu kalo ngeliatin orang. Hehehe”

“Ohhh pantes.”

“Ayah. Kenalan dong sama umi.” Ujar Dinda.

Gue langsung mengangsurkan tangan buat ngajakin si umi buat bersalaman. Kapan lagi coba.

Rupanya wanita itu pun tak ragu menerima ajakan bersalaman gue itu. Begitu tangan gue ma dia bertemu, entah kenapa, gue seakan berusaha berlama-lama memegang telapak tangannya yang begitu halus, serta jari-jarinya pun tampak begitu lentik.

Tapi umi yang entah sadar atau tidak, buru-buru menarik tangan dan melepaskan kedua tangan kami yang sempat bersatu tadi. Mungkin sungkan pada istriku.

“Yuk dek Dinda. Kayaknya udah mulai tuh” ujar si umi, sekali lagi ngajakin Dinda buat masuk ke dalam.

“Iya umi. Iya.”

“Sekalian ajakin dek Adamnya juga”

Gue? Garuk-garuk kepala. Manalah mungkin gue langsung maen masuk kedalam, sedangkan gue lagi bercelana pendek doang, hahaha.

“Nanti aja umi. Malam ini aku belum siap” balas gue lumayan lembut ke wanita itu.

Setelah mengangguk, wanita itu segera pergi meninggalkan gue ma Dinda di luar. Dan setelah bersentuhan tangan tadi, gue menyadari jika sepertinya wanita itu berusaha menghindar dari tatapan gue, deh. Atau hanya perasaan gue doang karena udah terpengaruh ama pesonanya? Atau malah terpengaruh ama birahi yang lagi menggoda di dalam sana.

Ataukah….

Dia juga menyadari, kalo pria yang menjabat tangannya tadi sedang berhasrat pada tubuh sintalnya? Hahahaha…. semoga saja itu benar.

 

Zigggg!…..

 

Wadaw.

Rupanya Dinda baru saja hadiahin gue sikutan mautnya tepat di perut gue. Mana lumayan keras pula. “Ckckc.. ayah ih. Liatin umi kok gitu amat sih…. Malu-maluin banget.”

“Gak mungkin kan, ayah lagi sange gegara liatin umi?” Dinda bertanya, tapi tentu bukan Adam namanya kalo gak mampu berkelit.

“Yah enggaklah. Mana ada, ayah sange gegara liatin wanita bergamis dan berkerudung lebar kek gitu. Hahahaha”

“Syukurlah. Lagian kalo lagi birahi, cukup lampiasin ke aku aja…. awas loh yah, kalo sampe ke orang lain.”

Gue reflek melingkarkan lengan gue ke tubuh Dinda, seraya berucap, “Gak mungkinlah, kan kamu cinta sejatinya ayah sayangku. Hehehe, kalo ayah sange liat wanita lain, itu udah lumrah terjadi. Kek yang baru kenal ayah aja sih kamu. Tapi tetap saja, pas ayah lagi pengen, nyarinya yang halal aja deh. Yang udah halal jadi istri ayah. Hehehe”

Dinda memanyunkan bibirnya.

“Dah ah, bunda mau masuk dulu…. ayah mau nunggu atau?”

“Ngapain juga ayah nungguin kek orang begoo di sini, mending ayah pulang aja deh. Ntar aja, kalo bunda udah mau pulang call aja, atau whatsapp aja. Nanti ayah jemput lagi”

“Ya wes. Sana gih, bunda udah mau masuk” balasnya, sembari meraih tangan gue buat ia salim.

“Ayah balik dulu ya, sayangku. Assalamualaikum”

“Wa’alaikumsalam…. hati-hati”

“Wokayyy”

 

Udahlah, hari ini cukup lah buat mengagumi lekuk tubuh bini Pak Kyai buya tadi. Eh ngemeng-ngemeng, nama wanita tadi siapa yah? Ahhh, sepertinya gue harus nanya ke Dinda sebentar pas di rumah. Hahay!

Ya sudahlah yah. Apalagi yang perlu gue ceritain ke kalian sekarang ya? Gak mungkin kan kalian ingin baca kejadian dimana gue langsung capcus berjalan ke mobil, kemudian segera menjalankan mobil buat balik ke rumah.

Setelah tiba di rumah, gue gak mungkin lah melakukan ritual coli segala seperti yang dulu – sebelum nikah ma Dinda – gue sering lakuin kalo lagi males buat nyari pesolek liar di luar sana, gegara terjebak ama kemolekan dan lekuk menggoda tubuh si umi tadi.

Dan yah….

Setibanya di rumah, yang gue lakuin mah, kembali pada pekerjaan gue. Mengelola beberapa konten gue yang bakal gue upload lagi buat nambah pundi-pundi adsense. Mayan lah, lagi rame nih beberapa konten gue yang udah lama gue upload. Jadi sudah saatnya gue munculin beberapa yang baru, biar viewernya naik kembali.

 

Singkat cerita……

Di saat gue lagi sibuk-sibuknya mengedit beberapa video, ponsel gue tiba-tiba berdering.

Loh he? Bukannya belum saatnya Dinda pulang? Kenapa ia malah nelfon jam segini ya?

“Ya sayang?” gue segera jawab telfon dari bini.

“Assalamualaikum…. ayah”

“Eh iya lupa. Haha, wa’alaikumsalam.”

“Ayah…. kalo…. hmm”

“Kalo apa sih?” kok, nada suara Dinda agak aneh ya?

“Ini. Kebetulan barusan ada pengumuman, minggu depan lagi mau ngadain acara gitu lah di Sukabumi. Hehehe, kalo bunda kali ini pengen pergi, boleh gak?” waduh.

Jujur sih, emang selama ini kalo dia pengen izin, gue agak kurang ikhlas buat ngizinin ia pergi. Karena gue merasa, kalo gak penting-penting banget ngapain juga ikutan acara majelisnya itu sampai sejauh ini.

“Pleaseee…. kali ini aja. Boleh gak ayah?”

Belum juga gue kasih jawaban, tiba-tiba samar gue denger ada suara orang lain yang sepertinya berada di dekat Dinda. Tapi gue gak gitu jelas mendengar apa yang ia bicarakan ke Dinda.

“Yah…. ini….”

Gue gak jawab. Gak bersuara.

“Umi mau ngomong”

Waduh….

Umi…. bini pak Kyai abuya?

Rasa-rasanya jantung gue nyaris berhenti berdetak, pas Dinda bilang kalo umi mau ngomong.

“Ya sudah” gue akhirnya merespon.

“Assalamualaikum wr wb, dek Adam. Ini dengan Umi Rahmi, dek. Jadi gini, karena acara kali ini di hadiri langsung oleh kyai buya dari Aceh, makanya umi maksa buat ajekin dek Dinda sekalian buat ikutan kali ini…. dibolehin dong atuh. Hehe, kalo perlu, dek Adam juga ikutan aja biar semakin mengenal apa saja yang kami lakukan selama ini di MKTI”

Duhhhh gustiiiiiiii…..

Suaranya itu loh. Renyah banget gue denger.

Dan satu lagi. Akhirnya, gue tahu juga…. Kalo wanita itu bernama, Rahmi.

Rahmi oh Rahmi.

Aishhh, kok gue malah mulai terobsesi sama MILF bergamis dan berkerudung lebar yah? Tepok jidat!

 

 

==================

 

 

CHAPTER 3

 

Hari-hari berikutnya, yah… gak gimana-gimana.

Lagian juga kan, ini cerita tentang gue dan bini gue, bukan? Gak mungkin kan gue ceritain kisah orang lain, yang make sudut pandang orang lain juga.

Pasti kalian mulai bertanya-tanya, bagaimana kejadian yang kemarenan itu, di saat gue nerima telfon dari Dinda yang menginginkan pergi ke acara majelisnya gitulah di sukabumi, kan? Mau gimana lagi. Pasti gue iyakanlah, karena…. ada ‘U’ di balik dada dan bokong. Hahaha…..

Oke skip aje.

Lenongan yang gak bermutu menurut gue.

Meski demikian gue gak mungkin nunjukin betapa antusiasnya gue buat ikutan nantinya. Toh, gue juga belom ngabarin ke Dinda kalo gue bakal ikut. Intinya tanpa Dinda sadari sebenarnya gue punya niat terselubung, dan berharap banget gue gak di tolak buat ikutan join. Hahaha, kadang kala emang butuh pencetus sih kalo mau ikutan kegiatan keagamaan kayak gini. Dan bagi gue, si umi Rahmi yang menjadi pencetusnya.

Umi Rahmi…..

Bagaimana bentuk tubuhmu di balik gamis besarmu itu. Bagaimana nikmatnya tubuhmu ketika gue dengan sadar menggaulinya. Ahhh, gue menegang sodara-sodara.

 

“Ayaaaahhhhh…. idihhhhh malah melamun, di suruh angketin jemuran di belakang, malah bengongggg bediri disini” ah iya, gue lupa, kalo pagi ini tengah di kerjain ama alam, buktinya tadi pagi-pagi tampak cerah, eh pas masuk jam 10an pagi mulai tuh, mulai menunjukkan tanda-tanda kalo bentar lagi bakal turun hujan.

“Hehehe. Iya iya.” Timpalku ke Dinda yang ngoceh barusan dari arah dapur.

Ada baiknya memang gue segera menepis bayang-bayang tubuh umi Rahmi yang begitu menggoda, dan melanjutkan kerjaan gue buat ngangketin jemuran, dari pada Dinda malah berulah kayak biasa.

 

 

============================

 

 

Seperti yang gue jelasin di awal-awal mengenai aktivitas gue selama ini, apa yang gue kerjain, bagaimana cara gue buat bertahan hidup, serta bagaimana gue menghidupi anak orang yang sudah berstatus jadi bini gue. Satu lagi, bagaimana gue ngangsur cicilan mobil, rumah gede yang sekarang gue ma Dinda huni. Hahay.

Tentulah bukan perkara mudah di awal-awal gue mutusin buat ninggalin status gue sebagai budak korporat, meninggalkan gaji 5jutaan yang rutin masuk di rekening gue tiap bulannya dengan memutuskan untuk fokus menjadi konten kreator.

Karena gue punya basic komunikasi skill yang mumpuni, serta penampilan gue yang – hmm, gue gak mau sombong sih, karena kata bini gue mah, gue itu ganteng cuy. Tapi ganteng saja kan gak cukup buat menjadi konten kreator, melainkan harus punya skil dan smart. Dan itulah gue.

Paling kalian nganggep gue ngibul, bukan?

Hoho….

Gak mungkin gue gak masuk kategori tersebut, kawan, wong si Dinda yang cantiknya kebangetan banget, yang juga dulu menjadi rebutan kokoh-kokoh tajir, di tunjang juga kerjaannya yang seorang pegawe bank, masa iya mau tertarik sama cowok yang buruk rupa. Yang gak punya skil SSJ (Speak-Speak Jahannam) ? Hahahaha. Mana mungkin, bray.

Ya! Dinda dulunya kerja di salah satu bank swasta, dan akhirnya memutuskan untuk ikut menanggalkan status budak korporatnya itu, karena setelah berjalan 3 bulan kegiatan ngonten gue itu, pada akhirnya hasil yang gue dapetin amat sangat ‘Alhamdulillah’ bro.

Buktinya. Dinda punya honda Brio yang lagi markir di garasi. Gue sendiri? Hoho, gue punya CRV Turbo yang kesemuanya bisa gue beli setelah gue menjadi cukup terkenal baik itu di youtube, di Tik-tok dan FB. Sedangkan waktu masih status budak korporat, nyicil avanza aja sulitnya ampun-ampun, alhasil baru ngangsur 4 bulan udah kena tarik ama debt kolektor brekele pas gue lagi di jalan pulang.

Pun, menjadi salah satu masalah juga di kos-kosan dulunya dengan si Dinda. Dia ngambek, karena mobil gak gue bayar. Bagaimana mau di bayar, wong gaji gue aja tipis setipis daleman umi Rahmi. Alhasil, mau gak mau, gue balik lagi pake N-Max kesayangan, Dinda sih, emang sejak dulu udah punya mobil, Cuma mobil tahun lama pake banget sih. Cuma Vios gitulah, pun, belinya second ex Taxi. Bukan gue yang beliin, karena gue kenal dia udah bermobil, coeg!

Setelah keuangan gue udah mantap banget, barulah semua yang pernah gue gunakan bareng Dinda gue jual-jualin, ganti ama yang baru. Berani meninggalkan rumah kontrakan yang gue huni bersama bini sedari awal nikah, belum habis masanya – udah pindah ke rumah baru yang kami KPR-kan.

Dan yahhh….

Disinilah kami berdua hidup dengan nyaman dan tentram.

Meski…. kami terhitung masih penganten baru, dan masih belum di hadiahin ama sang khaliq sesosok dedek bayi di rumah, Cuma gue ma Dinda masih fine-fine aja. Masih belum mikirin bangetlah. Intinya kami tetap berusaha, biarkan sang khaliq yang menentukan.

Anjay. Panjang banget cuap-cuap gue buat pembukaan chapter kali ini ya. Baiklah, mari kita lanjutkan cerita gue yang gak ada bagus-bagusnya ini. Cekidot!

Kebiasaan bangun siang, meski sebelumnya gue pun sempat bangun di pagi hari tapi kembali lanjut tidur, apalagi suasana hujan yang mendukung, bukan sebuah perkara dalam kehidupan rumah tangga gue ma Dinda.

Dinda mah, udah bangun sejak tadi. Udah masak, udah siapin apa yang gue butuhin buat ngisi lambung ini pas gue bangun. Dan kebiasaan dia, setelah selesai tugasnya sebagai istri di pagi hari, dia pasti bakal nyibukin diri di ruang tengah buat nyantai, buat sibuk dengan smartphone bobanya itu.

Gue kebangun dari mimpi mesum di pagi ini, membuat si komeng menegang maksimal di bawah sana. Karena kebelet oleh desakan air seni di dalam sana, memaksa gue mau gak mau harus ikhlas buat beranjak dari ranjang empuk di kamar pribadi gue ma Dinda. Di kamar tentulah gak gue temukan keberadaan Dinda di sini. Pasti kalo gak lagi rebahan nyantai di sofa baru kami di ruang tengah, paling dia lagi di dapur.

Beres masalah buang air kecil di kamar mandi dalam kamar. Gue dengan malas, belum pengen mandi juga, mulai keluar dari kamar buat nyariin keberadaan bini.

Begitu keluar kamar….

Samar gue mendengar suara obrolan para wanita di luar sana. Sepertinya arah suara tersebut dari ruang tamu. Hmm, itu artinya Dinda kedatangan tamu.

“Eh itu suami aku udah bangun,” aku mendengar suara Dinda. Meski belum nunjukin diri di luar sana, karena masih terhalang oleh tembok pembatas ruang tamu dan ruang keluarga, tapi sepertinya Dinda sempat dengerin suara langkah kaki gue.

“Bun…. siapa yang datang?” gue berucap sembari menunjukkan diri melewati tembok pembatas yang gue maksud.

Begitu gue udah nunjukin diri. Gue lumayan kaget, karena……

 

Pasti kalian nganggep di sana, di ruang tamu yang tengah bersama Dinda, pasti si umi Rahmi, bukan? Hahay, kalian salah kawan. Terlalu mudah di tebak kalo itu mah. Lagian kan, sekali lagi gue pengen tekenin kalo cerita ini murni cerita jalan hidup gue doang. Bukan jalan hidup orang lain.

Nahhh, yang bikin gue lumayan kaget itu. Karena Dinda, dan dua wanita berkerudung lainnya menatap serentak ke arah gue. Kalo cuma natap biasa mah, gak mungkin gue kaget, bukan?

Tapi…..

Cara mereka natapin gue ini yang bikin gue kaget. Ketiganya membelalak, apalagi si Dinda. Wajahnya langsung memerah. Ada apa sih sebenarnya?

Detik berikutnya, belom juga gue berfikir atas apa yang salah dengan gue – sampe-sampe mereka natapin gue udah kayak natapin setan mesum yang muncul di siang bolong, tiba-tiba Dinda tereak gak jelas.

“AYAHHHHHHHHHHHH IDIIIIIHHHHHHH…….. ituuuuu……. Itunyaaaaa ayah bediriiiiii ihhhhhhh ayaaahhhhhhhhhhh, malu-maluiin bundaaa”

 

Wadawwwww…..

Sial. Sial….

Begitu selesai mendengar teriakan Dinda, spontan gue melirik ke arah bawah. Jangkrreeeekk…. si komeng buat ulah.

Dan jenak berikutnya, baru gue sadari juga, ternyata ketiga wanita berkerudung itu bukan menatap ke wajah gue, melainkan ke arah si komeng yang ketegangannya maksimal banget. Mana gue cuma berkolor boxer doank tanpa cede. Alhasil di bawah sana, membentuk sebuah tenda yang lumayan mencolok.

Bukannya gue kabur, ini gue malah melempar senyum ke mereka bertiga sembari berucap, “elah. Udah biasa ini mah, namanya juga laki-laki. Kalo baru bangun tidur pasti kayak gini. Kayak yang gak pernah kawin aja sih kalian”

“Ayahhh udah sana. Pergiiiii….” Dinda semakin geram melihat tingkah gue yang masih nyantai berdiri di sini.

“Iya…. iya”

Alhasil, mau gak mau gue pun segera meninggalkan mereka dan kembali masuk ke kamar.

 

 

=============================

 

CHAPTER 4

 

Apakah gue malu karena tadi, selain Dinda. Ada dua wanita berkerudung yang juga gue kenal, melihat si komeng yang lagi menegang?

Tidak kawan. Yang ada, si komeng sialan di bawah sana makin tegang. Malah bikin gue agak sulit buat bernafas saking tegangnya. Bagaimana tidak, imagi gue langsung liar kemana-mana. Pertanyaan demi pertanyaan mesum mulai menggeliat di tempurung kepala gue.

Oh iya. Baideway, nama kedua perempuan tadi. Yang duduk di sofa single bernama Tita, bini seorang pelaut, yang lebih dulu aktif di MKTI buat menyelamatkan dirinya dari fitnah di luar sana selama lakinya lagi bertugas di tengah lautan. Sedangkan yang duduk di sofa double bareng Dinda, namanya Mia. Janda tanpa anak yang udah di tinggal lakinya karena di rebut pelakor tak beradab. Ketiganya cukup akrab. Dan kenapa gue tahu tentang mereka? Yah, pastinya Dinda yang bocor pasti demen banget buat bercerita saat kami lagi di kamar. Hal biasa terjadi, ketika kami ingin tidur, cerita-cerita tentang apa yang terjadi seharian menjadi bumbu pengantar tidur.

 

Apa yang kedua wanita berkerudung itu pikirin ya, pas tadi ngeliat si komeng lagi bangun? Apakah deg-deg an? Apakah penasaran buat melihat sepenuhnya, membukanya, mengeluarkannya dari sarang boxer tipis yang gue kenakan? Atau malah biasa-biasa saja, karena udah biasa ngeliat komeng lain di luar sana?

Setengah jam lebih gue cuma males-malesan di kamar, sembari mencoba meredakan birahi yang tiba-tiba hadir tanpa gue undang, kamar di buka dengan lumayan kencang.

“Ayah…. ihhhh kenapa sih tadi maen nyelonong keluar. Kan bunda jadi malu” rupanya Dinda masuk kamar dan langsung ngomel gak jelas.

Gue gak gubris. Gue langsung bangkit dari ranjang, dengan cepat gue deketin Dinda, menarik tangannya dan menyeretnya ke tempat tidur.

”Eh… eh…. ayah…. apa-apan sih ini?” dia protes, tapi tidak menolak. Karena kalo menolak, itu artinya dia bakal menambang dosa baru. Yah, setidaknya begitulah yang ia pelajari selama ini dari majelisnya.

Posisi Dinda sekarang udah di ranjang, udah dalam kuasa penuh gue. Tak bisa lagi kabur dari sini. Dan menurut gue, pasti kedua temannya tadi udah pulang, buktinya, dia udah masuk ke kamar. Dan gak mungkin dia ninggalin kalo keduanya masih ada di luar, bukan?

Tanpa basa-basi lagi, gue segera nyosor ke bibirnya yang tipis dan indah itu.

Gue dengan bringas mulai menjilat bibirnya. Meneroboskan lidah gue ke dalam rongga mulutnya. Meski masih bingung, karena mungkin belom siap, dia tetap membalas dengan penuh gairah.

Saat tangan ini bergerak merambahi buah dadanya, dia juga ikutan dengan meraih kejantanan gue yang sudah tegak maksimal di balik boxer dan mulai mengocoknya.

“Ihhh ayah. Padahal kan bunda belom selesai, lagi pengen ngomel.”

“Udah aja. Ayah lagi pengen banget. Lagian pasti si Tita dan Mia udah pulang kan?”

“Hu um…. tapi. yaaaah, kok tiba-tiba gini sih?” tanyanya di saat gue mulai mencari kaitan branya, begitu dapet gue langsung menariknya lepas.

Setelahnya, gue menyingkap kaosnya ke atas hingga tampaklah buah dada Dinda yang bulat dan putih mulus. Dengan gemas, gue mulai meremas-remas benda bulat empuk itu dan mencucupi putingnya berkali-kali.

“Ahhhh ayahhh” Dinda sekejap, langsung mendesah sambil menggelinjang. “Ohhh.. Ayah!” tubuh sintalnya melenting ke depan, bikin gue makin leluasa menjilati putingnya yang terasa mulai sedikit mengeras.

“Yah, geli!” rintihnya lagi saat tangan gue mulai menjalar meraba paha mulusnya, dan terus naik hingga masuk ke balik celana dalamnya.

“Sumpah…. ayah udah gak tahan lagi sayang”

Untuk alasan kenapa gue sampai se-bergairah seperti ini, tentu saja tidak bisa gue jelasin dengan kata-kata. Apakah karena Dinda sendiri, atau malah karena pikiran gue yang sejak tadi liar kemana-mana. Atau malah, bergairah karena membayangkan umi Rahmi?

Perjuangan gue buat naklukin Dinda akhirnya berbuah hasil. Buktinya celananya sudah mulai membasah oleh cairan kewanitaannya. Di tandai juga dengan tak sabarnya ia menanggalkan kaos yang melekat di tubuh gue.

Saat sudah telanjang dada, ia langsung mencium dan menjilati puting gue. Lalu terus ke bawah ke perut. Kemudian Dinda mulai berlutut dan dengan tangannya yang lentik berbulu halus, dia merogoh ke dalam boxer yang gue kenakan ini. Detik selanjutnya, terbebaslah wahai engkau si komeng sialan yang sejak tadi menyiksa.

Mana ketegangannya teramat sangat dahsyat. Bahkan saat gue meliriknya, urat-urat di batangnya bener-bener menunjukkan bagaimana ia amat sangat haus sekarang.

“Ohh.. ayahhhh…. ternyata sudah ngaceng rupanya. Besar sekali, Yah. Bunda suka.” komennya sambil mengagumi kejantanan gue dari dekat. Meski sudah sering melihat dan menikmatinya, tapi Dinda masih saja tetap terpesona dibuatnya.

Dinda tidak melanjutkan lagi kata-katanya karena mulutnya yang mungil itu kini sudah melahap dan mengulum penis gue.

“Hmph.. Hmph..” matanya melirik nakal ke gue, sementara tangannya sibuk meremas-remas dua biji zakar gue.

“Ohh bun…. bunda sayang. Isep terus sayang….. oughhh enakkksh” asli. Nikmat banget isepan Dinda. Meski gue sering merasakannya, tapi sensasinya tetap saja bikin gue cenat-cenut.

Tidak tahan, segera kutarik tangannya agar berdiri. Gue memposisikan diri buat tidur telentang di kasur, sementara Dinda naik ke atas gue.

Dia menyibak rok dan celana dalamnya hingga vaginanya kelihatan, dan menaruhnya tepat di atas penis gue yang sudah menjulang dahsyat penuh gairah. Pelan, Dinda menurunkan tubuhnya hingga batang kemaluan gue pun menerobos masuk ke liang vaginanya yang masih sempit seperti biasanya.

“Ough… ayahhhh…. gemukkk banget. Sesekkk ah” jeritnya tertahan.

Gue yang sudah tak sabar segera memegang pinggangnya dan menggerakkannya naik-turun hingga kemaluan gue dengan nikmat mulai keluar masuk menjelajahi liang nikmat bini gue yang cantiknya kebangetan ini.

Sambil terus menggoyang, tak lupa gue juga menggerakkan tangan ini untuk memberikannya tambahan stimulasi, dengan meremasi buah dadanya yang bergoyang-goyang indah saat ia bergerak turun naik.

Sesekali juga gue menarik badannya sehingga buah dadanya yang seger itu jatuh tepat di depan wajah. Dengan penuh nafsu, gue menghisap dan mencucupinya.

“Oughhhhh… Yah! Enak banget!” Dinda semakin mendesah gelisah, sambil terus menggoyang-goyangkan badannya naik turun, dengan menerima hujaman tusukan kemaluan gue di dalamnya.

 

Setelah beberapa menit, gue akhirnya menurunkan tubuh Dinda.

Setelah itu, Dinda yang nurut aja, mulai menungging atas keinginan gue yang tak terucap, hanya sekedar memberinya kode saja, sambil berpegangan pada tepian tempat tidur.

Kembali gue menyibakkan roknya hingga tampak pantatnya yang putih mulus menggairahkan. Tak ingin ada pengganggu dalam prosesnya, akhirnya gue putusin buat menanggalkan celana dalamnya yang sudah miring ke samping, melewati dua tungkai kakinya yang juga di bantu oleh empunya, hingga vaginanya tampak jelas kelihatan dari belakang. Dan segera saja gue mengarahkan si komeng perkasa gue ini ke dalam liang kenikmatan Dinda.

 

Bleshhh!

“Ohhh ayah”

“Ohh sayang” seperti ko’or, bersamaan kami berdua mendesah ketika proses menanamkan kemaluan gue ini ke liang kedalamannya.

Begitu gue rasa udah pas, dan mentok, akhirnya gue mulai bergerak maju mundur, sambil berpegangan pada jilbabnya yang panjang. Dengan semangat juang, gue kembali menyiksa Dinda, dengan menggenjot tubuh sintalnya.

Dinda langsung merintih-rintih sambil merem-melek keenakan, ”Yah, Ohhhhh… Terus, Yah… lebih keras! Terus! Lebih cepat! Oh… Ayah!” racaunya.

Semakin kesini, semakin cepat pula ritme genjotan gue.

Proses keluar masuknya penis gue di vagina Dinda pun, semakin kuat dan dalam. Tak habis akal, biar Dinda pun merasa semakin nikmat, maka gue pun tak mendiami sepasang payudaranya itu yang terbebas. Tangan ini mulai memegangi payudaranya dari belakang, yang menggantung indah di depan dadanya. Gue meremas- remas benda bulat padat itu sambil terus menusukkan penis gue kuat-kuat.

“Ohh… Yah, aku hampir sampai! Hampiiirrr sampaii ayah. Dikit lagi…. Ough…” jeritnya.

“Iya bun…. ayah juga hampir sampai.” Bisik gue manja di telinganya. Apalagi gue juga ngerasain bagaimana kaku dan berdenyut-denyutnya penis gue di dalam liang vagina Dinda.

Setelah berulang-ulang proses genjotan gue dari belakang ini, pada akhirnya, gue dan Dinda pun menunjukkan geliat yang sedikit lagi tiba pada titik puncak kenikmatan yang sesungguhnya dari sebuah persetubuhan, yaitu puncak orgasme.

“Oughhh ayaaah, bundaaaaaa sampeeee…. ahhhhhhhhhh” lolongan panjang Dinda barusan, menandakan jika ia lebih dulu nyampai di tujuan. Orgasmenya baru saja ia capai, di tandai dengan tubuhnya yang mengejang, dinding-dinding kemaluannya seperti berkedut, memeras penis gue di dalam sana.

Yang akhirnya, bikin gue pun tak lagi mampu menahan desakan larva putih di dalam sana. Batangnya terasa gatal, kantung zakar gue pun mulai terasa menggeliat, seperti sedang memompa agar larva putih yang akan keluar, bisa maksimal.

“Ahhhh bunda…. ayah juga keluaaaaar.”

Gue menghujam dalam-dalam vagina Dinda, mendiamkannya di dalam, menyemprotkan larva putih andalan gue di kedalamannya. Tubuh gue pun menggeliat, mengejang, menikmati proses ejakulasi dahsyat di hari ini.

Tak tinggal diam, biar sempurna prosesnya. Kedua tangan gue pun sibuk meremas-remas buah dadanya yang bergoyang- goyang menggemaskan. Ada beberapa kali gue rasain, penis gue menyemprot sperma di dalam vagina Dinda yang hangat.

Doa dan harapan gue, ialah, semoga saja kali ini jadi. Hahahaha!

Setelah proses orgasme kami yang nyaris bersamaan mulai mereda. Pada akhirnya, kami berdua pun tergolek lemas, di atas permukaan ranjang empuk ini. Posisi Dinda masih membelakangi gue, dan gue peluk ia dari belakang.

 

Singkat cerita….

 

Setelah beres, Dinda mulai mencabut penis gue.

“Ahh ayah. Enak banget yang tadi” komentarnya. Ia beranjak, rupanya dia bukan ingin pergi meninggalkan gue yang masih rebahan di atas ranjang, melainkan, kini ia mulai mengulum penis gue yang ketegangannya mulai mereda. Dinda mengemut dan menjilatinya hingga bersih.

“Terima-kasih, Bun. Ayah puas sekali,” kata gue sejujur-jujurnya. Karena memang, beginilah bini gue. Setiap selesai bersetubuh, ia tak akan pernah lupa untuk membersihkan kemaluan gue dengan menggunakan mulut mungilnya itu.

“Sama-sama, Yah. Bunda juga puas sekali.” sahutnya sambil bergegas membetulkan pakaiannya kembali. “Astagfirullahhhhhhh”

“Eh ada apa bun?” tentu saja gue kaget melihat perubahan sikap Dinda yang secara tiba-tiba saja kaget dan seperti baru saja mengingat sesuatu.

“Astagaaaa bunda lupa”

“Lupa apa sayang?” tanya gue penasaran.

“Itu…. ternyata bunda lupa, kalo umi Rahmi ternyata tadi ada di sini, lebih dulu datang sebelumnya dari Tita dan Mia. Pas tadi ayah keluar, dan sebelum Tita ma Mia datang, sebetulnya Umi Rahmi lagi pinjem kamar tamu buat mandi karena basah banget pakaiannya habis nganter anaknya ke sekolah, terkena hujan pagi tadi…. ah mungkin beliau ketiduran di kamar tamu”

“Astagaaaa….”

Tapi, yang gak gue keluarin, Bunda…. kalo umi Rahmi ternyata tadi curi nguping persetubuhan kita berdua, bagaimana dong?

“Aihhh ini gegara ayah nih, maen nyosor aja tadi. Tau kalo bininya gak bisa nahan kalo udah di grepe-grepe, malah lupaa kalo masih ada orang lain di dalam rumah…. ihhhhh ayah.”

Dinda bergegas benar-benar membetulkan posisi pakaiannya biar gak berantakan hasil perbuatan gue pas tadi sedang bertempur. Setelah merasa beres, ia pun lanjut melangkah keluar. Mungkin ingin menemui umi Rahmi di kamar tamu.

“Bunda keluar dulu ah”

“Hmm….” gue Cuma berdehem doang buat menjawabnya.

Karena sejujurnya.

Pikiran gue, mulai kembali bergerilya, mulai berpetualangan liar-liar kemana-mana.

 

Sembari masih berbaring kelelahan di atas tempat tidur. Merasa puas sekaligus penasaran. Apakah persetubuhan gue ma Dinda barusan, sempat di denger umi Rahmi? Apalagi tadi, Dinda benar-benar mengeluarkan suara erangan dan desahan yang lumayan keras. Dan gue yakin, kalo ada orang lain yang berada di dekat dinding di luar kamar, pasti bakal mendengar suara Dinda.

Apa yang bakal ia pikirin ya, kalo emang ia sempat mencuri nguping kejadian di dalam kamar ini?

Dan satu lagi….

Senikmat apakah rasa tubuh Risma?

Ahhhh. Gue harus menahannya dengan sabar untuk mengetahui jawabannya.

Apalagi….

Dua hari lagi, bini dan rombongan majelis MKTI nya bakal bepergian ke Sukabumi. Dan harapan gue cuma satu. Semoga saja, mereka mengizinkan gue buat ikut.

 

BERSAMBUNG CHAPTER 5

Sahabat-Sahabat Istri di Majelis

Sahabat-Sahabat Istri di Majelis

Score 10
Status: Completed Type: Author: Artist: Released: 2024
Setelah istri aktif pada kegiatan keagamaan itu, pada akhirnya mulai merubah perjalanan hidup kami. Bagaimana tidak. Sahabat-sahabat baru istriku itu, meski pada berhijab, Namanya juga Wanita-Wanita soleha yang aktif di majelis, malah membuat hari-hari ini mulai menyenangkan. Dan mulai menimbulkan niat ‘Jahannam’ dalam diri ini buat menaklukkan sahabat-sahabat istriku itu satu persatu.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset