Usai makan malam, Deska masuk ke kamarnya. Dia melirik ke arah ponselnya sebentar dan mendapati Dinda mengiriminya pesan beruntun. Deska langsung teringat bahwa dia belum selesai mengetikkan balasan pada Dinda. Segera dia buka pesan dari Dinda.
“Dih! Kok langsung off, sih?” Deska heran. “Padahal, tadi gue liat masih mode mengetik. Kenapa sekarang tetiba hilang tanpa kabar?”
“Nih anak hobi banget sih bikin penasaran orang,” duga Dinda di seberang sana.
[Deska! Lo udah tidur?]
Deska segera membalas pesan Dinda.
[Sorry baru bales. Tadi makan malam dulu.]
[Oke. Kali ini aja gue maafin. Sekarang lanjutin yang tadi!]
[Kita telponan aja yuk! Bakalan panjang kalau gue ngetik di sini.]
Saat bunyi telepon sudah terangkat, Dinda langsung bertanya, “Jadi gimana rasanya makan malam sama keluarga yang komplit?”
“Reseh lu, ya!” balas Deska. “Yang ada malah enek gue sama Mak Lampir itu,” curhatnya pada Dinda.
Deska mencurahkan semua isi hati dan kekesalannya saat makan malam bersama keluarganya di ruang makan. Termasuk menceritakan rencana ayahnya yang akan langsung mengumumkan kandidat pemilik perusahaan selanjutnya. Yaitu, Deska.
“Wow, keren tuh! Apa semua kolega-kolega Papamu hadir di sana besok malam?” Dinda menanggapi cerita Deska.
“Katanya sih gitu. Entahlah! Ada yang lagi gue pikirin sih saat ini. Dan itu bikin kepala gue muter tujuh keliling,” keluh Deska.
“Apaan tuh? Lo nggak mau cerita ke gue?” desak Dinda.
“Gue harus pura-pura pacaran sama si mahasiswa abadi reseh itu,” ujar Deska dengan nada panik.
“Lo bayangin deh! Gue nggak sengaja keingetan sama dia pas bokap gue mau jodohin gue sama anak pengusaha temannya. Gue disuruh milih cowok, tadi itu. Gilaaa … udah kayak gue milih barang aja tahu nggak,” cerocos Deska tanpa henti.
Dinda terkejut mendengar cerita Deska yang satu itu. “Lo nggak bercanda, kan, Des?” Dinda berusaha tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. “Sama Radit maksud lo?” dia memastikannya lagi.
“Suwer! Gue nggak bercanda, Din. Ketimbang bokap gue jodohin sama orang yang nggak gue kenal. Gue terpaksa pilih dia. Lagian bokap minta gue bawa pacar ke acara pesta perusahaan besok. Gue nggak ada pilihan lain, Din,” jelas Deska.
“Oke. Berarti, lo nggak bisa ikut gue jalan-jalan besok. Gimana kalau kita cari cowok buat jadi pendamping lo di pesta nanti? Lo nggak harus datang sama Radit si reseh itu, kan? Cowok di kampus masih banyak, Des. Cari yang lebih mendingan ketimbang dia,” Dinda menyarankan.
“Soalnya, bokap gue udah pernah liat dia tadi sore,” ungkap Deska.
“Tadi? Sebentar!” Dinda menggaris bawahi ucapan Deska terakhir, barusan. “Emangnya, ada kejadian apa tadi sore lo sama Radit?” tanyanya ingin tahu.
“Aish! Ceritanya bakalan panjang. Intinya, dia nganterin gue pulang karena hujan dan bokap gue nggak sengaja lihat Radit.”
“Terus, gimana caranya lo ngomong ke Radit soal pesta perusahaan itu?” tanya Dinda ikut cemas.
“Gini! Gue ada rencana. Karena selama ini dia ngejar gue mati-matian, gue bakalan manfaatin dia buat jadi cowok gue. Cuma sehari. Sampai besok. Gue butuh dia buat nemenin gue di pesta itu doang.”
“Habis itu? Lo jadian sama dia?” sela Dinda.
“Enggaklah. Ngapain? Siapa juga yang mau jadi pacar dia beneran. Ngarang lu! Ogah banget gue,” bantah Deska.
“Des, sebagai sahabat lo. Gue mau nasihatin lo nih.”
“Nasihatin apa?” Deska tak sabaran.
“Awas lu! Nanti lu jatuh cinta beneran sama Radit,” bisik Dinda sambil terkekeh. Hah?
***
Setelah semalaman bergelut dengan dirinya sendiri, Deska akhirnya memantapkan diri pergi ke kampus. Kali ini tidak dengan menghindari Radit, tetapi justru mencarinya.
Sesampainya di kampus, Deska gelisah. Karena tanda-tanda keresehan Radit belum muncul. “Apa Radit belum datang, ya?” batin Deska masih berusaha mencari sosoknya.
Dinda menepuk bahu Deska pelan hingga membuatnya menoleh. “Jadi, udah beneran mantap, nih?” godanya sembari menyikut lengan Deska.
Deska mengangguk pelan. Pasrah dengan keadaannya. “Mau gimana lagi, Din?”
“Ya udah. Apapun keputusan lo, gue dukung, Des! Tapi, ingat! Resikonya lo yang tanggung sendiri, ya. Gue nggak mau ikut-ikutan. Bantu dukungan sama doa aja gue ke lo,” ujar Dinda mulai sedikit tertarik untuk menggoda sahabatnya lagi.
“Iya, iya. Bawel lu! Lama-lama lu jadi kayak si mahasiswa abadi reseh itu tahu nggak,” keluh Deska yang dibalas lelehan oleh Dinda.
Beberapa jam kemudian, kelas pun berakhir. Sementara, Deska masih belum menemukan sosok Radit. Kira-kira, ke mana lagi dia akan mencarinya? Masa iya, Deska harus mencarinya di antara kerumunan teman-teman gengnya? Gengsi dong!
Kalau terpaksa, mau gimana lagi. Itu bisa jadi alternatif pilihan terakhir yang dipilih Deska. Toh, dia masih memiliki banyak waktu sebelum pesta penobatan pewaris tunggal perusahaan Leon Group dimulai nanti malam.
“Des, gue cabut dulu, ya!” pamit Dinda setelah kelas usai.
Deska mengangguk dan membalas lambaian tangan sahabatnya itu. Dia mulai menjelajahi setiap penjuru kampus. Dia masih gencar mencari Radit.
Mulai dari tempat tongkrongannya bersama gengnya, di kantin kampus, sampai ke taman dekat gedung perpustakaan. Sial! Masih belum ditemukan juga dia, Deska mendengus kesal.
“Aish, orang itu ke mana sih? Nggak dicariin nongol mulu sampe bikin kesel. Giliran dicariin malah hilang nggak ada jejaknya sama sekali,” gerutu Deska. Seraya melihat-lihat sekitarnya. “Apa dia itu hantu? Yang datang tak dijemput pulang tak diantar?” gerutunya agak keras.
“Nyariin siapa Neng?” tanya seseorang dari arah belakang.
“Nyariin Radit,” balas Deska dengan nada kesal.
“Eh, tumben nyariin. Kangen, ya?”
Deska yang baru menyadari sosok yang dicarinya adalah orang yang mengajaknya bicara dari belakang langsung terkejut. “Eh, Kak Radit.”
Radit terkekeh. “Tadi, aku ada bimbingan dulu sama dosen. Baru kelar ini. Ada apa nyariin?” Radit beralasan sambil senyum-senyum sendiri memerhatikan raut wajah Deska. Wajah cewek mungil itu mulai memerah karena panik setengah mati dilihatin Radit dari dekat.
“Itu … tentang tawaran Kak Radit sebelumnya,” ungkap Deska sedikit takut.
“Tawaran yang mana? Emang aku pernah ngasih kamu tawaran apa?” tanya Radit masih belum mengerti keadaan.
“Aku mau Kak Radit jadi pacar ….” Belum sempat Deska menyelesaikan perkataannya, Radit sudah kegirangan.
“Eh, yang bener? Asik! Akhirnya ….” Radit hampir melompat saking girangnya.
“Aku belum selesai ngomong, Kak!” seru Deska.
“Oh, oke-oke. Silakan dilanjut dulu!” balas Radit. ‘Apapun permintaannya bakal gue turutin asal dia mau jadi pacar gue,’ sambungnya dalam hati.
“Aku mau Kak Radit jadi pacarku untuk malam ini saja. Tapi, hanya pura-pura. Hanya pura-pura aja, Kak,” tegas Deska memperingatkan Radit.
Deg!
Jantung Radit terasa berhenti sebentar. Apa yang Deska katakan barusan? Nggak salah dengar kan? Batin Radit syok.
“Pacar pura-pura?” Radit memastikannya lagi.
“Iya. Untuk pesta di perusahaan papaku malam ini. Hanya semalam. Ya anggap aja kayak jadi bodyguard gitu.” Deska agak canggung mengatakannya.
Radit tertegun. “Apa-apaan ini? Maksudmu apa, Des?” Suara Radit mulai meninggi.
Radit tak habis pikir dengan tawaran konyol Deska. Jadi pacar semalam? Gila. Yang benar saja. Sontak saja, Radit tidak terima dengan keputusan Deska.
Deska merasa takut untuk mengatakannya. Tetapi, dia harus memberanikan diri. “Loh kenapa? Bukannya Kak Radit ingin jadi pacarku? Aku sudah mengabulkannya, kan? Meski cuma jadi pacar semalam,” timpal Deska berusaha terlihat tidak dapat ditindas.
‘Jadi, ini permainan yang kamu rancang selama ini, ya?’ batin Radit. ‘Licik sekali cewek culun satu ini. Untungnya dia cantik dan kaya raya,’ geramnya.
“Baiklah. Kalau itu yang kamu mau. Akan aku penuhi keinginanmu.” Radit tersenyum licik. Jika Deska punya rencana, dia juga sudah menyiapkan antisipasinya.
‘Eh, semudah itukah Radit menyanggupinya? Nggak salah, nih?’ tanya Deska curiga dalam hati.
“Oke, kalau gitu aku tunggu Kak Radit di taman dekat gedung Leon Group jam 8 malam. Pakai pakaian resmi nanti kita masuk ke gedung bersama,” tukas Deska menjelaskan.
Radit mengangguk. Keduanya telah sepakat.