loader image

Novel kita

Sebuah Perjalanan Bersama – Kirani (Chapter 2)

Sebuah Perjalanan Bersama – Kirani (Chapter 2)

Chapter 2
215 User Views

Jelas saja bukan, dia udah punya anak, itu artinya dia udah punya suami.

Tapi, yang menjadi aneh menurutku, kok suaminya gak menjaga istrinya yang sangat mempesona seperti ini sih? Aku mau geleng-geleng kepala, cuma takut wanita ini tersinggung. Wah, kalo aku jadi suaminya, sudahlah, aku gak bakal biarin dia keluyuran tengah malam gini. Buktinya Dini aja dulu waktu masih aktif kerja di Bank, setelah nikah 2 bulan aku memutuskan untuk menyuruhnya berhenti bekerja saja. Konsekuensinya tentu saja aku harus bekerja lebih ekstra lagi buat mengcover gaji istri yang di dapatkannya saat masih aktif bekerja.

Tiba-tiba saja aku mendapatkan ide. Malah aku sendiri lupa kalo tadi aku lagi lapar, lambungku sudah di kerumuni oleh cacing-cacing yang menggeliat di dalam sana buat memaksa di isi. Dan karena ide itulah, berubah menjadi solusi lain, sekalian iseng-iseng bertanya kepadanya mengenai statusnya secara tidak langsung.

“Maaf ibu kalo saya lancang,”

Dia mengangguk, masih menatapku. Karena sudah membuka suara, maka ku lanjutkan saja buat bertanya, sekedar buat memastikan, tak masalah. “Kenapa tidak dijemput suami?”

Apakah aku salah bertanya?

Karena tiba-tiba saja wanita ini, terdiam dan memilih untuk tidak menjawab. Lalu kemudian, ia menundukkan wajahnya.

Karena menurutku sudah terlanjur bertanya, sambil memandanginya tanpa berkedip. Melihatnya seperti sedang bersedih, aku lalu melanjutkan berucap “Eh maaf kalau saya salah ucap, bu.” ungkapku mengoreksi.

“Tidak apa-apa Pak, aku… a… aku” dia gugup. Berusaha untuk mengangkat wajahnya, berusaha untuk membalas tatapanku.

“Jika memang ibu tak ingin menjawab, tak perlu di jawab”

Wanita itu menggeleng, kemudian – meski masih gugup – dia akhirnya bisa membalas menatapku seraya berucap, “Aku… sudah tidak ada suami, pak. Sudah meninggal.”

Ohh begitu. Jadi dia janda yang di tinggal mati oleh suaminya.

Mendengar jawabannya itu, aku lantas menunjukkan ekspresi penuh maaf karena telah lancang bertanya yang tentu bakal membuka luka lama yang aku yakin, wanita ini berusaha untuk melupakan. Hanya menunjukkan sikap saja tidak cukup, maka aku pun berucap lagi, “Maafkan saya bu…. maafkan saya karena sudah lancang bertanya,”

Wanita itu mengangguk, lalu mencoba membuat wajahnya tersenyum.

“Saya turut berduka cita.” kemudian aku melanjutkan kalimatku yang sengaja ku jeda tadi, sekedar juga buat mencoba menghibur.

“Iya pak, terima kasih”

Jujur, sampai disini aku tiba-tiba saja merasakan perasaan simpatik padanya. Tak dapat ku bayangkan bagaimana kerasnya kehidupan yang di jalani wanita ini.

Meski aku belum tahu berapa usianya, tapi melihat bagaimana perawakan serta wajahnya yang terlihat itu, ku tebak jika wanita ini usianya masih muda. Dan karena usia yang masih muda itulah, menjadikan perasaan simpatik ini padanya.

Wanita yang kuat. Pikirku.

Di umurnya yang muda, serta ‘cantik dan mempesona’ tanpa dampingan suami tentunya, ia harus membesarkan anaknya sendiri.

Anehnya….

Kami masih belum beranjak sama sekali dari posisi kami sebelumnya. Aku masih berdiri dekat pintu mobilku, sedangkan dia, berdiri berjarak semeteran dariku, dan berdiri di sebelah mobil sedan yang sepertinya pemiliknya juga berada di rumah makan yang rencana, kan ku singgahi buat sekedar mencari pengganjal lambung malam alias dini hari ini.

Cukup lama sih, kami terdiam. Kalo aku diam, tujuannya lagi mencari bahan buat berbicara selanjutnya, atau mungkin lagi mencari solusi buat membantunya? Tapi solusi seperti apa yang bisa ku berikan lagi buatnya? Karena tak mungkin kan, aku malah yang mengantarnya pulang, sedangkan aku sedang rindu-rindunya dengan putri dan istriku di rumah.

Ataukah jangan-jangan? Aku tiba-tiba terpikir, atau lebih tepatnya mencoba menebak-nebak, apa sebenarnya tujuan wanita ini mendekatiku.

Apakah memang dia berharap aku memberikan solusi kepadanya? Sedangkan semua solusi sudah ku sampaikan padanya, tapi tetap saja mental. Atau kah justru wanita ini membutuhkan sebuah pertolongan dariku?

Lalu, pertolongan seperti apa yang ia harapkan?

 

Ahhhh…..

Begini nih, kalo namanya udah penasaran dan penuh tanya menyelimuti tempurung kepala, alhasil, aku harus mencari tahu jawabannya langsung. Maka dari itu, tanpa ku tahan lagi, aku mencoba memberanikan diri untuk menyinggungnya. “Err… Maaf Bu.”

Wanita itu akhirnya berhenti melamun, dia kembali menatapku. “Apa ibu berharap saya menolong ibu saat ini?”

Wanita itu akhirnya mengangkat wajahnya, menoleh dan menatapku dengan sendu. “aku tidak berani meminta Pak”

Mendengar itu, ku hela nafas panjang. Benakku langsung menyimpulkan, jika fix dia memang membutuhkan pertolongan dariku.

“Begini saja bu, saya tidak mungkin mengajak ibu kerumah saya. Bahaya bu, nanti bakal ada perang dunia ketiga hehe” aku menyampaikan tentunya sambil tersenyum. Dan semoga dia bisa menangkap makna candaan dari kalimatku ini. Serta semoga dia bisa memahami, jika statusku tak sama sepertinya, alias aku sudah berkeluarga dan memiliki istri dan anak di rumah.

Rupanya, candaanku di balas dengan senyumannya yang…. ah sial. Senyumnya manis banget.

Tak mau terhanyut, aku melanjutkan, “Tapi kalau ibu mau, saya bisa mengantar ibu sampai ke pintu tol Purwakarta…. atau mungkin bisa nganterin ke kota melalui pintu tol cikamuning, gimana?”

“Tapi pak… itu jauh” ia bergumam.

“Gak masalah, kan searah juga”

“Emangnya, bapak tinggal dimana?” tanyanya.

“Saya di Bandung…. nah setelah mengantarkan ibu ke Purwakarta, saya bisa langsung jalan aja melalui jalan biasa lewat padalarang aja”

“Ohhh gitu”

“Jujur…. saya sudah tak punya solusi lain saat ini, apalagi melihat ibu lagi terkena masalah sekarang, sepertinya amat sangat tega jika saya meniniggalkan ibu begitu saja sendirian di sini, sedangkan ibu benar-benar membutuhkan pertolongan….”

Aku mengambil jeda.

“Dan jujur, sekarang saya tidak tega melihat ibu menghadapi kesulitan sendirian.” ungkapku. Ku buat wajahku setulus mungkin, agar dia tidak berfikir jika aku hanya sekedar mengatakan itu tanpa berniat sama sekali membantunya.

Entah mengapa, aku jadi tersentuh aja. Dan ingin membantunya.

“Tidak Pak, aku tidak mau merepotkan. Aku terima saja saran bapak tadi untuk mencari penginapan di Purwakarta nanti saat udah ada bus.” ujarnya pada akhirnya.

Aku lalu melempar senyum kepadanya. “Apakah ibu yakin, bus masih ada?”

Dia menatapku.

“Maaf bu, tadi sebetulnya saya juga hanya jawab sekenanya saja tanpa memastikan kebenarannya, karena jujur, meski saya tinggal di Bandung tapi saya tidak pernah sama sekali menggunakan bus buat bepergian…”

“Ohhh…”

“Maafkan saya bu” ungkapku tulus. Aku melanjutkan lagi, tak ingin mengambil jeda terlalu lama, takut wanita ini malah bakal menolak keras pertolonganku. “Intinya, ibu tak perlu khawatir apabila saya pulangnya terlambat, karena saya juga sejujurnya sudah mengatakan pada keluarga di rumah, jika saya akan pulang ke Bandung besok… cuma tadi, karena gak ada urusan lagi di Jakarta makanya saya memutuskan saja malam ini langsung cabut ke Bandung, tanpa ngomong-ngomong lagi ama istri di rumah”

Wanita itu hanya diam saja. Tapi bisa aku lihat rasa cemas itu sudah sedikit hilang dari wajahnya.

“Bagaimana bu?”

“Eh….”

“Saya takut bu. Saya amat sangat takut memikirkan ibu sendiri di sini saat saya malah pergi meninggalkan ibu nanti”

“Tapi pak?”

“Gak usah banyak mikir bu…. masih muda, kalo kebanyakan mikir bisa cepet tua loh” ujarku berusaha untuk bercanda.

“Aku udah tua pak”

“Menurut ibu, tapi menurut saya…. ibu masih muda”

Dan….

Jenak berikutnya, setelah aku mengatakan itu, aku lihat ekspresinya berubah. Agak tersipu. Wahhhh, apakah dia tersanjung dengan perkataanku barusan?

“Tapi sebelum kita lanjut jalan, izinkan saya buat mencari makanan ringan buat pengganjal perut, gak apa-apa kan bu? Kebetulan tadi niatnya mampir di rest area buat nyari makan, cuma hehehe, akhirnya saya di pertemukan dengan ibu di parkiran ini”

“Maafkan aku pak”

“Gak masalah ibu…. mungkin, ini udah menjadi takdir. Atau mungkin saja udah jodoh”

“Eh pak….??” tatapannya agak gimana gitu, dan sejurus kemudian aku menyadari jika sepertinya, kata ‘Jodoh’ yang sebetulnya bagiku bukanlah arti yang sebenarnya, tapi sepertinya tidak dengan wanita ini. Dia seperti menangkap makna lain di dalamnya.

“Kan mikir lagi. Yuk bu…. lambung saya juga di dalam sana udah meronta-ronta”

Dia akhirnya tersenyum.

Dan pada akhirnya, tanpa memaksa lagi, wanita ini pun mengiyakan tawaranku buat mampir sebentar di rumah makan di depan.

Yang menjadi aneh menurutku, sampai sini, aku belum tahu nama wanita ini.

Hahahaha….

Tepok jidat!

Mungkin nanti saja aku tanyakan padanya, namanya, dan lain sebagainya.

 

Bersambung Chapter 3

Sebuah Perjalanan Bersama – Kirani

Sebuah Perjalanan Bersama – Kirani

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Tak ada kejadian yang tak di sengaja. Semua tentu datang karena niat. Well! inilah kisahku. Sebuah kisah perjalanan dan tanpa sengaja di pertemukan dengan sesosok wanita cantik berkerudung coklat, bernama Kirani.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset