Pesantren Al-Ahmad. Begitulah yang tertera di papan nama di pintu gerbang masuk. Aku masih belum bisa mikir banyak saat ini. Yang hanya bisa ku lakukan, hanya tetap diam dan mengikuti kemana mobil yang di kemudikan ayah akan berhenti. Dan aku yakin, tak lama lagi mobil akan berhenti di dalam sana.
“Jadi inilah tempat ayah menuntut ilmu dulunya, hingga membuat ayah menjadi seperti sekarang ini” ujar ayahku saat kami mulai memasuki gerbang masuk tersebut. “Dan sudah sejak lama, ayah memang mempunyai keinginan untuk mengajakmu menuntut ilmu di sini, Arga”
Aku hanya menghela nafas.
Bagaimana tidak….
Coba kalian bayangkan. Jir! Pesantren ini benar-benar udah kayak di tengah-tengah hutan euy. Mana, suara kicauan burung saling sahut menyahut, serta suara angin berhembus membuatku semakin yakin, hidup di sini tak ada enak-enaknya. Seakan aku akan di bawa oleh mesin waktu kembali ke masa lalu. Mungkin kembali di jaman purba kali ya?
“Kamu tau Arga? Dulu, kyai Ahmad mendirikan tempat ini berawal dari hanya sebuah tempat belajar ngaji aja. Namun seiring berjalannya waktu, Al-Ahmad akhirnya berkembang pesat, setelah hampir 25 tahun berdiri, mulai berdatangan orang-orang yang ingin menuntut ilmu keagamaan di sini. Santri laki laki dan perempuan beserta para ustad dan ustazahnya semakin kesini semakin banyak jumlahnya. Jadi kamu tak perlu khawatir jika kamu akan kesepian. Berbeda waktu jaman ayah dulunya, selama 7 tahun ayah di sini, di awal-awal ayah juga kesepian dan tidak kerasan berada di tempat ini…. tapi nyatanya, akhirnya ayah berhasil. Bahkan berhasil memberikan kalian hidup yang sekarang ini”
“Iya yah” aku akhirnya menyahut.
“Yang membuat ayah bangga menjadi lulusan tempat ini, adalah, ajarannnya. Serta bagaimana kyai Ahmad masih menjunjung tinggi nilai khas pesantren kami. Sempat beliau meminta pendapat pada ayah beberapa tahun yang lalu, menjadikan pesantren mengikuti perkembangan zaman. Cuma ayah menyarankan untuk tetap mempertahankan apa yang telah beliau bangun. Zaman semakin canggih, dan memang kita tak boleh ketinggalan. Namun demikian, akhirnya kyai Ahmad tidak menghilangkan ciri khas klasik – salafinya.”
Memang sih, sudah kerasa banget bagaimana aura kesederhanaan di tempat ini saat kami lalui. Banyaknya balai-balai terbuat dari bambu, pepohonan yang rindang serta sejuknya suasana di saat aku menyempatkan membuka kaca mobil untuk menghirup udara di sini. Satu kata yang langsung ku pikirkan, sejuk banget. Sumpah.
Belum lagi suara air yang mengalir di sungai yang terletak tak jauh dari tempat ini, yang juga sempat kami lalui tadi, memberikan kesan damai. Namun demikian, masih belum menghilangkan kekhawatiranku di dalam sana.
Ya sudahlah. Aku malas mendeskripkiskan lagi suasana di tempat ini. Silahkan kalian menilainya saja, karena menurutku rata-rata pondok pesantren di negara ini nyaris sama dengan yang ku datangi hari ini, bukan?
Well! Ku skip saja masalah pendeskripsian suasana tempat ini.
…
…
…
Rupanya kedatangan kami di sambut oleh beberapa orang di sana.
“Assalamualaikum….” ayahku yang lebih dulu turun, langsung memberi salam pada mereka.
Ku lihat ada 2 orang pria, dan 3 orang wanita. Para pria berpenampilan celana cantung, di dagu mereka pada bertumbuh jenggot panjang. Pakaian mereka juga serupa dengan pakaian para pendamba surga yang biasa ku temukan di jalan-jalan, maupun yang ku lihat di beberapa berita yang mengabari mengenai sosok teroris. Ups! Maaf, tapi memang seperti itulah penampilan dua pria itu.
Sama juga halnya dengan 3 orang wanita yang menyambut kedatangan kami. Ketiganya berpenampilan yang sama. Sama-sama memakai gamis besar, kerudung lebar serta wajah yang tertutupi selembar kain. Yang biasa kalian sebut ‘niqab atau cadar’.
Ahhh, bagusnya dimana nih?
Aku bakalan akan setiap hari melihat orang-orang berpakaian ninja seperti wanita-wanita itu. Gak ada keindahan yang akan ku lihat, yang kan memanjakan mataku nanti.
“Wa’alaikumsalam, ustad Haris.” salah satu pria yang langsung ku tebak, adalah kyai Ahmad karena hanya dialah yang sudah kelihatan kakek-kakek. Sedangkan pria di sebelahnya, kalo boleh ku tebak dia seumur dengan ayahku.
Ayah langsung menyalim tangan pria tua itu. Kemudian bersalaman dengan pria satunya lagi, lalu di susul bersapa dengan 3 orang wanita – yang ketiganya tidak saling menyentuh tangan dengan ayah, melainkan pada melipat tangannya di dada. Yah! Gak boleh bersentuhan langsung, bro. Bukan mahrom. Hahahahah!
“Arga… sini, kenalan dulu sama guru-guru kamu” ayah lantas memanggilku. Oh ya, ayah hanya sendiri mengantarkanku kesini, sedangkan ibu memang tak beliau ajak.
“Oh jadi ini yang namanya Arga…. wah, saya tidak mengira dia sudah sebesar ini, mana tinggi pula” ujar pak kyai, yang langsung ku salim tangannya, sama seperti yang ayah lakukan tadi.
“Ya begitulah Yai. Tapi, begalnya gak ketulungan.”
“Hahahaha… sudah biasa Ustad Haris.” oh iya, sampai lupa. Ayahku bernama Haris Pramudya. “Apalagi umurnya masih muda banget kan? Kalo saya tidak salah ingat, saya sempat bertemu dengannya waktu ke Jakarta 10 tahun yang lalu. Saat kami mampir di rumah kamu”
“Iya betul Yai. Dulu dia masih ingusan, tapi sekarang, justru dialah yang membuat teman-temannya keluar ingus. Tapi bukan ingus yang keluar tapi darah karena perbuatannya yang suka menghajar orang”
Aku hanya tersenyum masam saja, saat ayah menceritakan tentangku ke mereka.
“Insha Allah, setelah dari sini, Arga akan berubah… iya kan nak?” begitu ujar Pak Kyai. Aku sendiri hanya mengangguk meresponnya.
“Oh iya, kenalkan ini ustad Hendra, wakil yayasan Al-Ahmad,” pak Kyai lantas mengenalkanku dengan pria satunya lagi. Tak lupa aku menyalim tangannya.
“Semoga Arga betah di sini ya”
“Insha Allah….” balasku bersama ayahku.
“Nah kenalin juga ustazah-ustazahmu, Arga”
Aku pun melakukan hal yang sama seperti yang ayah lakukan, saling bersapa tanpa bersentuhan dengan ketiga wanita berpakaian ninja itu.
“Kalo dia istri pak Kyai, Arga. Namanya ustazah Nayla….”
Aku hanya mengangguk sopan. Ku perhatikan dari sebaian wajahnya yang terlihat, matanya lumayan sendu. Tapi aku belum bisa menebak, bagaimana rupanya di dalam sana.
“Nah kalo ini istri ustad Hendra, namanya ustadzah Ika” pak Kyai kembali menyebut nama wanita yang kedua. Sekali lagi kami bersapa sambil melipat tangan di dada.
“Kalo yang ketiga ini, hmmm”
“Istri muda Pak Kyai….” kini giliran ayahku yang menjawab.
Biji! Jadi pak Kyai poligami ya? Hahahaha!
“Ah kamu bisa aja, Ustad Haris”
Aku pun bergeser ke wanita yang ketiga. Di lihat dari matanya sih, sepertinya masih muda.
“Aisyah”
“Arga tan… eh ustazah” aku menyebut namaku.
“Dia seumuran denganmu, Arga” kata Pak Kyai.
Anjiirrr!
Wait! Ini aku tak salah dengan kan?
Gila…..
Pak Kyai yang sudah aki-aki, masih juga suka sama daun muda?
Wah, sepertinya ada yang tidak wajar nih.
“Ya sudah, mari kita masuk….”
Dan pada akhirnya, lamunanku buyar bersamaan ajakan pak Kyai untuk melihat-lihat seputaran pesantren, tempatku akan menjalani hidupku ke depannya.
Bersambung Bab 3