Aska masih kesal karena Nala pergi begitu saja padahal Aska sudah berbaik hati memberinya kesempatan untuk menjawab rasa penasaran yang pasti tengah bersarang dalam kepala wanita itu. Kekesalannya tampak jelas dari sikap diamnya sepanjang hari. Bahkan Greya pun menyadari bahwa suasana hati Aska sedang buruk.
“Apa kalian bertengkar?” tanya Greya saat Nala membantunya menyiapkan makan malam.
Wanita itu sangat cekatan, membuat Greya kagum. Padahal setelah sarapan yang terlambat tadi, Greya sudah memaksanya istirahat. Namun Nala memilih tetap di luar dan melakukan apapun untuk membantu Greya.
Nala hanya meringis sebagai tanggapan. Dia sudah bersiap jika Greya menumpahkan amarah padanya karena telah membuat putranya dalam suasana hati buruk. Namun reaksi Greya di luar dugaan Nala. Wanita paruh baya itu malah terkikik geli.
“Hebat sekali kamu bisa bikin Aska sampai cemberut begitu. Dia susah dibuat kesal. Hmm… atau lebih tepatnya pandai menyembunyikan emosi.” Greya mengedipkan mata pada Nala. “Tampaknya dia bisa lepas kendali jika bersamamu.”
Nala hanya tersenyum kecil sebagai tanggapan. Tapi dalam hati dia tak bisa menahan diri untuk menggerutu.
Susah dibuat kesal apanya? Seingat Nala Aska orang yang mudah meledak marah. Hal kecil saja bisa membuatnya langsung menyemburkan api seperti naga. Tapi—apa sikap pemarahnya hanya ditujukan pada Nala? Kalau benar begitu, pasti cara berpikir Greya sangat aneh. Apa hebatnya bisa memancing amarah Aska dengan mudah? Yang ada hidup Nala kian menderita.
“Arghh!”
Pekik tanpa suara dari bibir Nala disertai darah yang mengucur dari jari telunjuknya. Karena melamun, kegiatan sederhana seperti mengiris sayuran menjadi sangat berbahaya. Dia berhasil melukai jarinya sendiri cukup dalam. Buru-buru Nala menuju wastafel cuci piring untuk membersihkan darah dari jemarinya.
“Jangan terlalu diambil hati jika Aska sedang dalam mood seperti itu. Dia memang—” Mendadak Greya terdiam saat pandangannya menangkap tetes darah di atas meja tempat Nala tadi memotong sayuran. Lalu dia buru-buru menyusul Nala. “Astaga, kamu pasti kelelahan. Kan Mama sudah bilang lebih baik istirahat. Bibi! Tolong ambilkan obat!”
Greya heboh sendiri sampai membuat semua orang kewalahan. Nala juga sudah menggeleng-geleng sambil berusaha mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi Greya mengabaikannya dan hanya fokus pada luka di jari Nala.
“Ma, ada apa?” tanya Aska yang mendengar keributan di dapur.
“Lihat, Nala terluka! Darahnya banyak sekali!” seru Greya.
Aska memutar bola mata. “Dia tidak akan mati hanya karena luka kecil begitu, Ma.”
Sontak Greya berbalik seraya melempar spons cuci piring yang tepat mengenai dada Aska. “Pergi saja sana kalau tidak mau bantu!” Greya melotot lalu kembali menatap jemari Nala yang terluka dan tengah ia obati seraya bergumam. “Sebaiknya nanti malam tidak perlu beri jatah. Biar tahu rasa.”
Pipi Nala memerah. Dia bukan anak kecil yang tidak paham maksud ucapan Greya. Dan begitu hal itu diungkit, Nala baru sadar dirinya akan tidur sekamar dengan Aska nanti malam. Seketika jantungnya berdebar kencang dengan napas tercekat. Bukan karena gugup seperti pengantin baru yang memikirkan malam pertamanya. Tapi perasaan Nala didominasi rasa takut penuh teror. Kengerian akan bayangan masa lalu.
Saat Nala melihat Aska bagaikan monster tanpa hati.
“Sudah!” seru Greya beberapa saat kemudian lalu menatap Nala serius. “Sekarang pergi ke kamar lalu istirahat. Masih butuh waktu untuk menyiapkan makan malam. Jadi kamu bisa tidur sejenak. Atau sekedar berbaring. Pokoknya istirahat. Tidak ada bantahan!” Greya berkata tegas, membuat Nala hanya bisa mengangguk sebagai tanggapan.
Tiba di kamar, Nala tergerak mengunci pintu rapat-rapat karena bayangan masa lalu masih menghantuinya. Tapi dia memutuskan tidak melakukan hal itu. Aska tidak akan bersikap kejam di rumah Mamanya, kan?
Perlahan Nala duduk di sisi ranjang dengan pandangan yang masih tertuju ke pintu. Dia belum bisa mengenyahkan perasaan waswas di hatinya. Tapi setelah menunggu satu menit penuh dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Aska, Nala mulai bisa bernapas lega.
Rasa letih yang ia abaikan sebelumnya mulai menyerang. Dengan ragu, Nala membaringkan diri di ranjang. Berbanding terbalik dengan keinginannya untuk tetap terjaga, mata Nala terpejam semakin rapat lalu ia pun jatuh dalam tidur yang nyenyak.
***
Nala duduk di tepi ranjang dengan gugup layaknya pengantin baru. Sesekali bibirnya melengkung membentuk senyum penuh antisipasi hingga Nala harus menggigit bibir bawahnya agar dia tak tampak konyol dengan tersenyum sendiri.
Klek.
Suara pintu terbuka membuat debar jantung Nala meningkat tajam. Dia semakin menunduk dengan jemari terjalin erat di pangkuan. Gaun yang dikenakannya masih gaun pernikahan. Dia belum sempat berganti pakaian. Setelah pesta pernikahan megah di salah satu ballroom hotel berbintang, Aska langsung membawa Nala ke rumahnya. Pelayan di sana langsung menyambut Nala dan mengantarnya ke kamar utama di lantai atas.
Dan di sinilah Nala sekarang. Masih dengan dandanan pengantin lengkap, duduk dengan perasaan gugup yang kian memuncak seiring suara langkah yang mendekat. Dia bahkan tidak berani mendongak. Wajahnya terasa panas memikirkan bagaimana mereka akan menghabiskan malam pertama.
Klontang!
Nala tersentak mendengar kunci mobil dilempar ke atas meja nakas. Sepertinya dia terlalu gugup. Hingga suara semacam itu saja bisa membuatnya kaget luar biasa. Tapi—Aska memang melempar kunci mobilnya dengan keras ke meja. Apa lelaki yang baru menjadi suaminya itu sengaja karena tahu dia sangat gugup? Dasar Aska!
Nala menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Kali ini dia bertekad tidak akan terkejut lagi tak peduli sekeras apa Aska berusaha menjahilinya.
Selama beberapa saat, suasana kamar hanya dipenuhi suara gesekan kain saat Aska melepas pakaian pengantinnya. Jantung Nala kian bertalu. Biasanya dia bisa berbincang bebas dengan Aska. Tapi malam ini lidahnya berubah kelu.
“Buka bajumu!”
Nala kembali tersentak. Bukan karena Aska bersuara keras. Tapi karena nada asing yang belum pernah didengarnya. Penuh perintah dan sedikit—kejam.
Ragu, Nala mendongak hingga pandangannya beradu dengan mata cokelat Aska. Lelaki itu sudah bertelanjang dada. Kedua tangannya di pinggang. Menatap tajam Nala dengan kilat aneh yang tampak seperti—kebencian?
“Kau tidak dengar?” desis Aska dengan nada tajam. “Aku menyuruhmu melepas pakaian.”
Nala tersenyum ragu. Dia tahu ini malam pertama mereka dan dirinya sadar akan kewajibannya. Tapi—haruskah Aska berbicara dengan nada kasar nan asing seperti itu?
“Aku—aku akan mengganti pakaian di kamar mandi,” putusnya kemudian seraya buru-buru berdiri. Tapi belum sempat melangkah, sikunya dicekal Aska lalu tubuhnya didorong dengan kasar hingga jatuh ke ranjang dengan kaki menjuntai. “Arrgghh!”
Tanpa memberikan Nala kesempatan untuk melarikan diri, Aska bergerak menindih tubuh wanita itu dengan raut dingin yang tak Nala kenal.
Ada apa? Apa dirinya melakukan kesalahan? Di hotel beberapa waktu lalu Aska masih bersikap manis seperti biasa. Bahkan dia tampak begitu bahagia dengan pernikahan mereka. Apa Nala salah melihat semua itu?
“Aska… tidak lucu….” Nala masih berusaha tersenyum, meyakinkan diri bahwa Aska hanya sedang menakutinya. Jemarinya terangkat mendorong dada Aska. Namun lelaki itu bergeming.
“Aku sudah memberimu kesempatan untuk melepaskan pakaianmu sendiri,” geram Aska. “Apa ini artinya kau lebih suka aku yang melepaskannya?”
Senyum Nala memudar. Ketakutan yang nyata menyelusup dalam hatinya. “Apa ada yang salah?”
Sama sekali tak ada senyum di bibir Aska. “Kau milikku sekarang. Itu artinya kau harus menuruti semua perintahku.”
Nala buru-buru mengangguk. “Aku—aku tidak bermaksud menolakmu. Aku hanya berpikir untuk ganti di—”
“Aku tidak menyuruhmu berpikir!” mendadak Aska membentak dengan suara tinggi, membuat mata Nala melebar ketakutan. “Hanya lakukan apa yang kukatakan!”
Perlahan, air mata Nala menggenang lalu mengalir di sudut matanya. Dia sungguh tidak mengerti. Mengapa Aska berubah hanya dalam hitungan jam.
Pandangan Aska tertuju pada air mata Nala lalu bibirnya melengkung membentuk senyum mengejek. Bukannya iba, dia malah menegakkan tubuh lalu meraih gunting di atas nakas yang tidak Nala sadari keberadaannya. Lalu tanpa kata, menggunting gaun pengantin Nala kasar hingga ujung gunting sedikit melukai kulit Nala yang rapuh.
“Ugh!” Nala meringis dengan air mata yang mengalir semakin deras. Kedua tangannya tak lagi mendorong dada Aska, melainkan meremas sprei dengan kuat.
Begitu Aska puas mengoyak gaun pengantin mahal yang dikenakan Nala, dia melempar gunting dengan kasar ke dinding. Lalu tanpa peringatan jemarinya meremas dada Nala yang terbuka dengan kasar. Sama sekali tak menghargai tubuh sang istri dan tampak jelas ingin menyakiti.
Niat Nala untuk menyerah dan menurut seketika memudar. Dengan tangis yang kian pecah, dia memberontak. Mendorong kasar tubuh Aska agar menyingkir dari atasnya. Namun Nala jelas kalah tenaga dari Aska. Dengan satu tamparan kuat yang mengarah ke pipinya, pemberontakan Nala pun melemah. Tak cukup sampai di situ, Aska mencengkeram rambut Nala lalu menariknya kuat, membuat Nala mengerang kesakitan dengan air mata yang memburamkan pandangannya.
“Dasar jalang! Berani sekali kau melawanku!” geram Aska di depan wajah Nala. “Akan kubuat kau sangat menderita. Ingat saja ucapanku.”
Lalu malam bulan madu yang dibayangkan Nala sangat indah berubah menjadi mengerikan. Aska menelanjanginya dengan kasar lalu menuntaskan nafsunya seolah Nala tak lebih dari tubuh tanpa jiwa.
***
Aska memasuki kamarnya untuk memanggil Nala karena makan malam sudah siap. Tiba di dekat ranjang, dia malah termenung dengan pandangan mengarah pada Nala yang tertidur pulas. Ingatannya melayang pada gubuk di area bekas kandang yang ditempati Nala. Lalu berubah menjadi ingatan saat Nala makan sisa nasi dari tong sampah.
Rasa tak nyaman seolah dadanya dicubit kembali melanda Aska. Hal itu membuatnya berdecak kesal. Padahal dulu dia sanggup menyakiti Nala dan tak merasakan apapun seolah hatinya mati rasa. Tapi kenapa pandangan Nala makan nasi sisa dan tinggal di antara kandang sapi membuatnya merasakan sakit yang aneh?
Menghela napas, Aska memilih duduk di sisi ranjang dekat pinggul Nala. Jemarinya sudah terulur hendak mengguncang tubuh wanita itu. Tapi mendadak dia berhenti saat tubuh Nala bergerak-gerak gelisah.
Salah satu alis Aska terangkat melihat air mata mengalir di sudut mata wanita itu. Dia menggeleng-geleng menolak sesuatu. Kedua jemarinya meremas sprei ranjang dengan kuat.
Nala menangis. Bahkan terisak tanpa suara. Dan nyeri aneh di dada Aska semakin menggila.
Sial!
“Hei, bangun!” Aska mengguncang lengan Nala kasar. Tak mau terjebak terlalu lama dalam perasaan aneh yang ditimbulkan wanita itu.
Namun Nala seolah terjerat sangat dalam pada mimpi buruknya. Guncangan dan panggilan Aska tak berhasil menariknya ke alam nyata.
Aska berdecak tak sabar. Dia mengubah posisi menjadi membungkuk di atas Nala dengan kedua tangan memegang bahu wanita itu lalu kembali mengguncangnya.
“Nala, bangun! Jangan sampai kesabaranku habis atau aku akan mengguyurmu dengan air es!”
Entah karena ancaman, guncangan, atau suara Aska yang meninggi, perlahan kelopak mata Nala terangkat lalu mata hitam itu terbelalak saat pandangannya beradu dengan mata cokelat Aska.
Refleks Nala memberontak dari sentuhan Aska hingga lelaki itu membeku kaget. Air mata Nala semakin deras. Dia bergegas mengubah posisi menjadi duduk lalu mundur hingga punggungnya menempel di kepala ranjang. Tatapan penuh teror masih menghiasi mata Nala. Dan Aska mulai menyadari rasa takut itu ditujukan padanya. Sorot mata Nala sama persis seperti saat Aska kerap menyiksanya baik secara fisik maupun batin setelah mereka menikah.
“Kau bermimpi buruk. Sepertinya berhubungan denganku,” tebak Aska tepat sasaran.
Mata Nala mengerjap. Sekali… dua kali…. Dia seperti baru sadar bahwa apa yang dialaminya beberapa saat lalu hanyalah mimpi. Kini dia kembali ke alam nyata. Dengan lelaki yang sama seperti di mimpinya.
Sejenak Nala mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Kerongkongannya kering. Lalu tanpa permisi dia turun dari ranjang, menyembunyikan sisa rasa takut yang masih menguasai hatinya.
Aska tak mencegah meski dia tak menyukai Nala lagi-lagi mengabaikannya. Dia sangat yakin tebakannya benar. Nala memimpikannya. Jelas bukan mimpi yang indah dilihat dari teror yang masih tersisa dalam matanya.
Perlahan dan kian terasa, perasaan asing lain merasuki dada Aska. Perasaan yang sama sekali tak ia harapkan. Perasaan yang membuatnya merasa lemah. Yaitu rasa bersalah yang semakin membengkak di dadanya. Aska tahu, dia harus meminta maaf dengan benar untuk menenangkan hatinya sendiri. Kira-kira, akankah Nala menerima maaf darinya?
♥ Aya Emily ♥