Meski tidur di ranjang empuk yang biasanya hanya menjadi mimpi terpendam Nala, wanita itu sama sekali tak bisa lelap lebih dari tiga puluh menit. Matanya otomatis terbuka tiap setengah jam seolah ada alarm yang mengagetkannya. Lalu butuh waktu lebih lama lagi agar ia bisa tertidur kembali hanya untuk terjaga setengah jam kemudian. Begitu terus hingga fajar mulai menyingsing menghalau langit malam.
Nala mendesah lalu hati-hati mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Tanpa bisa dicegah, matanya yang berhasil ia jaga sepanjang malam kini melirik ragu ke sisi ranjang yang lain.
DEG.
Jantung Nala mulai meliar. Dia tak pernah menyangka momen ini akan hadir dalam hidupnya. Melihat wajah damai Aska yang masih lelap. Bibirnya sedikit terbuka. Dia berbaring miring menghadap sisi Nala sambil memeluk guling erat.
Pernikahan mereka sudah menjadi bencana bahkan di malam pengantin mereka. Selanjutnya terasa lebih menyakitkan. Aska hanya mendatanginya saat ingin menuntaskan nafsu. Tak pernah sekalipun lelaki itu tidur di samping Nala. Seolah dia akan tertular penyakit mematikan jika melakukannya.
Kini masa-masa yang dulu hanya berani Nala impikan benar-benar terjadi dalam hidupnya. Namun tak ada yang berani ia lakukan. Jangankan membangunkan Aska dengan lembut seperti mimpi terpendam Nala, bergerak saja ia tak berani. Takut mata itu akan terbuka lalu semua ini akan berubah menjadi mimpi buruk yang sama seperti dua tahun lalu.
Seketika bulu kuduk Nala meremang terbayang kekerasan yang diterimanya dari Aska. Refleks dia turun dari ranjang lalu bergegas menuju kamar mandi untuk menyembunyikan diri.
***
Aska tak juga terbangun sampai Nala selesai berpakaian dan kini menuju dapur. Sejujurnya dia lebih bersemangat hari ini. Tapi juga takut. Dia berencana untuk memberitahu Greya bagaimana hubungan antara dirinya dan Aska. Namun hati kecilnya terus mempertanyakan apa akibat kejujurannya pada Greya dan kesehatannya. Bagaimana kalau sesuatu yang sangat buruk menimpa Greya karena penjelasan Nala?
Di sisi lain, jiwa gelapnya mendesak untuk mengungkapkan pada Greya yang sebenarnya, tak peduli bagaimana hasilnya nanti.
Sudah cukup kau bersikap baik selama ini. Saatnya sedikit bersikap egois dan mengutamakan dirimu sendiri, begitu jiwa gelap Nala terus berbisik.
Ya, hubungan dirinya dan Aska sudah berakhir dua tahun lalu. Bukankah bodoh jika dirinya kembali terperangkap di penjara yang sama padahal dia bisa memilih untuk lepas? Aska memang tak memberinya pilihan. Namun Nala bisa menciptakan pilihan untuk dirinya sendiri.
Dengan tekad bulat di hati, Nala akan sabar menunggu beberapa jam sampai Aska berangkat bekerja. Setelah itu dia akan menceritakan semua pada Greya.
Sarapan kembali dipenuhi celoteh heboh Greya begitu mendapati masakan Nala yang tersaji di meja. Dia terlihat begitu bangga dan terus memuji wanita itu.
Nala trenyuh melihat reaksi Greya. Sesuatu yang tidak pernah diterimanya dari ibu kandung sendiri. Bagi ibunya, kehamilan Nala adalah kesalahan. Melahirkan lalu membesarkan Nala adalah siksaan terburuk yang dia alami. Pasti sang ibu berpikir kepergian Nala malam itu adalah suatu berkah yang tak ternilai.
Nala menarik napas saat sesak kembali menghimpit dada. Mengingat ibunya selalu menciptakan sakit yang sama, membuat Nala harus menutup hati dan pikiran rapat-rapat untuk tidak memikirkan wanita yang telah melahirkannya itu.
“Nala, rencana kamu hari ini apa?”
Pertanyaan Greya yang tiba-tiba membuat Nala mendongak menatap wanita itu. Buru-buru dia menggeleng sebagai tanda bahwa dia tidak memiliki rencana apapun.
“Bagus sekali!” seru Greya senang. “Mama sudah buat janji temu sama EO yang akan mengurus pesta pernikahan kalian nanti. Jadi kamu bisa temani—”
“Nala harus pergi bersamaku, Ma.”
Belum reda rasa terkejut Nala mendengar rencana Greya, dia sudah dikejutkan dengan ucapan Aska yang tiba-tiba.
“Mama butuh pendapat Nala untuk konsep pestanya.” Greya melotot pada Aska.
“Kami harus mengurus hal lain. Kalau Mama kesulitan mengurus pesta kami, lebih baik tidak perlu. Yang penting kami sudah menikah.”
Ucapan santai Aska langsung dihadiahi jeweran di telinganya.
“Aduh… aduh… Ma…!”
“Jangan halangi Mama untuk mengadakan pesta pernikahanmu. Mama sanggup mengurus semuanya sendiri.”
Aska nyengir. “Aku tahu Mamaku yang cantik memang bisa diandalkan.” Lalu dia menoleh ke arah Nala. “Na, kau sudah selesai? Cepat ganti baju.”
***
Sepanjang perjalanan, Nala terus memalingkan wajah dari Aska. Sama sekali tak ingin menatap lelaki itu. Dia paham betul Aska sengaja tak membiarkannya berduaan dengan Greya. Pasti lelaki itu sudah bisa menebak apa yang direncanakan Nala.
Sepanjang perjalanan yang tak Nala ketahui arah tujuannya itu mereka lalui dalam keheningan. Lebih dari empat jam kemudian, Aska melambatkan laju mobilnya saat memasuki basemant sebuah gedung apartemen. Nala mengerutkan kening seraya menatap sekeliling, menyadari bahwa dirinya sangat asing dengan bangunan ini.
Yah, kenapa harus heran? Bukankah ia sama sekali tak mengenal Aska. Jadi mana mungkin dia tahu apa saja properti milik lelaki itu?
“Ayo!”
Nala melirik Aska yang sudah keluar dari mobil. Ragu, dia melakukan hal yang sama lalu berdiri bingung sambil mengedarkan pandang pada sekitarnya.
“Iya, aku sudah tiba di apartemen,” gumam Aska dengan ponsel melekat di telinga. “Apa mereka semua sudah datang?”
Nala sedikit menggeliatkan tangan saat lagi-lagi Aska berniat menggandengnya. Lelaki itu seolah sudah terbiasa melakukan hal ini padahal jantung Nala seolah akan lepas tiap kali lelaki itu menggenggam tangannya.
Biasanya Aska akan melotot lalu mencengkeram tangan Nala kuat jika Nala mulai memberontak. Tapi kali ini dia membiarkannya dan memilih jalan lebih dulu karena informasi di seberang telepon membuat suasana hatinya jadi buruk.
“Kenapa masih belum bisa?”
“…”
“Bajingan itu sangat pintar menjaga aset-asetnya.”
“…”
“Coba langsung bicara dengan Raffi. Aku sudah mengutarakan beberapa rencana.”
“…”
“Dia tidak akan bertahan. Lihat saja. Akan kubuat dia dan istri jalangnya jadi gelandangan.”
Nala tidak mengerti apa yang Aska bicarakan. Dia hanya membuntuti lelaki itu yang sudah masuk ke lift di basement. Tapi entah mengapa kalimat terakhir Aska berhasil membuat bulu kuduk Nala meremang. Seolah ancaman penuh kemarahan itu ditujukan pada dirinya.
Usai menutup telepon, lift sudah bergerak menuju lantai atas. Lagi-lagi mereka dilanda keheningan. Hingga akhirnya pintu lift terbuka di lantai delapan.
Klek.
Pintu kamar di ujung ruangan terbuka setelah Aska memasukkan serangkaian kode keamanan. Lalu dia masuk sementara Nala membuntuti di belakangnya dengan ragu.
“Aku harus menginap di sini selama sekitar empat hari untuk mengurus cabang perusahaan.” Lalu lelaki itu berbalik menatap Nala. “Dan selama itu kau harus di sini. Bersamaku.”
Perlahan Nala mendongak menantang mata cokelat di hadapannya. Sungguh, dia sama sekali tak mengerti jalan pikiran Aska. Apa yang sebenarnya lelaki itu rencanakan dengan melakukan semua ini?
“Kau bebas keluar-masuk. Kode keamanannya tanggal, bulan, dan tahun kelahiranku. Kau masih ingat?”
Sama seperti sebelum-sebelumnya, Nala tak merespon. Dia hanya terus memandang mata cokelat itu dengan sorot tak mengerti.
Lalu entah karena Aska paham arti tatapan Nala atau dia hanya sekedar ingin memberitahu wanita itu, Aska melangkah mendekat, berdiri menjulang di hadapan Nala dengan kedua tangan tenggelam dalam saku.
“Aku sudah memperkenalkanmu pada Mamaku. Dia sangat senang dan antusias untuk menyiapkan pesta pernikahan kita. Lalu ditambah fakta bahwa kita memang belum pernah bercerai, jadi kupikir tidak ada salahnya kali ini benar-benar menjadikanmu istriku. Anggap saja ini juga penebusan dosa atas kesalahanku di masa lalu.”
Ucapan Aska membuat bibir Nala terbuka dengan sorot tak percaya di matanya. Tapi bukan tersanjung atau perasaan romantis yang ia rasakan sekarang. Melainkan rasa kecewa yang lebih dalam dari sebelumnya.
Pernahkan, sedikit saja, Aska melihat dirinya seperti manusia yang memiliki kehendak? Kenapa lelaki itu memperlakukan dirinya bagai boneka yang bisa dimainkan sesuka hati? Penebusan dosa. Hanya itukah arti dirinya di mata Aska saat ini?
Mata Nala terasa panas mendengar itu. Dan sebelum air matanya menitik, buru-buru dia berbalik menuju pintu masuk yang hanya berjarak beberapa langkah darinya. Namun sebelum dia sempat meraih handle pintu, Aska berhasil mencengkeram lengannya lalu membalikkan tubuh Nala seraya mendorongnya. Dalam sekejap tubuh Nala terjebak. Terhimpit antara daun pintu dan tubuh Aska.
“Mau ke mana?” nada mengejek dalam suara Aska terdengar jelas. “Bukankah sudah kubilang, aku selalu mendapatkan yang ku mau, Na. Kenapa kau belum mengerti juga?”
Nala tahu percuma berusaha mendorong Aska dari pengalamannya dulu. Jadi dia memilih diam membeku sambil berusaha keras meredakan gumpalan tangis di tenggorokannya.
“Turuti saja semua ucapanku dan jadi anak baik. Maka aku akan memastikan semua kebutuhanmu terpenuhi.”
Setelahnya Aska mundur. Melepaskan Nala dari kungkungan tubuhnya. Lalu dia berbalik dan menghilang dari pandangan Nala dibalik salah satu ruangan.
Jemari Nala mengepal dengan pandangan yang terus mengarah ke tempat perginya Aska. Lagi dan lagi Aska berhasil mengoyak hatinya. Tidakkah ini sudah cukup menjadi alasan untuk memudarkan cinta di hatinya?
Nala menghela napas. Setelah merasa lebih tenang, dia kembali berbalik lalu membuka pintu apartemen. Aska sungguh meremehkan dirinya. Dengan tenang lelaki itu meninggalkan Nala di dekat pintu seolah sangat yakin Nala tak akan melarikan diri. Tapi Aska salah. Dia sudah bertekad untuk—
Duk!
Nala terdorong mundur saat keningnya membentur punggung keras seseorang yang berdiri tepat di depan pintu. Refleks orang itu berbalik sementara Nala mendongak menatapnya bingung.
“Nyonya Nala?” tanya orang itu dengan suara berat dan kasar.
Tubuhnya yang tinggi besar membuat nyali Nala menciut hingga tanpa sadar dia melangkah mundur.
“Nama saya Boy. Saya ditugaskan Pak Aska untuk menjaga Anda.”
Seketika Nala tahu. Lelaki di depannya bukan sekedar penjaga. Dia semacam sipir penjara yang akan mengawasi dengan ketat napi dalam tahanan. Aska tak benar-benar memberinya kebebasan. Lelaki itu memang bersungguh-sungguh bertekad membuat Nala tetap terkurung di sampingnya.
***
BRAK!
Aska tersentak saat tumpukan dokumen dilempar dengan kasar ke atas meja kerjanya. Begitu mendongak, tatapannya beradu dengan mata hitam Raffi yang melotot dengan kedua tangan di pinggang.
“Napa lo?” sembur Aska kesal.
“Lama-lama gue bakal jadi gila kalo terus kerja sama lo!” Raffi membalas dengan nada kesal yang jauh lebih tinggi.
Aska mengerutkan kening tak mengerti. “Lo udah lama kerja ke gue dan kelihatannya baik-baik aja.”
“Tau gak? Gue udah stres mikirin kelakuan lo yang seenaknya bawa Nala ke rumah Nyokap lo. Trus tadi ditambah jantung gue kayak mau lepas waktu lewat di jalan raya deket apartemen lo.”
“Emangnya napa?”
“Rame banget di sana kayak ada kecelakaan. Gue udah panik banget, mikir macem-macem.” Lalu seolah kemarahannya perlahan reda, Raffi menghembuskan napas keras seraya duduk di kursi seberang Aska. Tanpa permisi dia juga meneguk segelas air putih milik Aska di depannya.
“Terus? Beneran ada kecelakaan?”
“Bukan,” sahut Raffi setelah menandaskan airnya. “Ada yang bunuh diri.”
Seketika bulu kuduk di tubuh Aska meremang. Pikiran Aska langsung terpusat pada Nala.
“Masih sempet gue mikir lo yang bunuh diri gara-gara kerasukan setan penunggu apartemen. Gue baru ngerasa lega setelah tanya sama satpam di sana dan ternyata yang bunuh diri cewek.” Raffi geleng-geleng kepala. “Gila! Gue udah panik banget. Jantung gue rasanya mau copot.”
“Cewek? Siapa?” perasaan panik mulai merambati dada Aska. Tapi dia masih berusaha tenang, meyakinkan diri bahwa itu tidak mungkin—
“Gue gak tanya namanya. Toh gak bakal kenal juga. Cuma si satpam cerita tuh cewek lompat dari lantai 8 trus langsung jatuh—”
Brak.
Refleks Aska melompat berdiri hingga kursi yang didudukinya terdorong keras. Tanpa menjelaskan apapun pada Raffi yang menatapnya bingung, Aska berlari keluar ruangan.
♥ Aya Emily ♥