loader image

Novel kita

Silent Wounds – Bab 16

Silent Wounds – Bab 16

Bab 16
82 User Views

 

Aska kesal sendiri atas sikap bodohnya beberapa waktu lalu. Karena terlalu panik memikirkan kemungkinan Nala yang bunuh diri, dia sampai lupa bahwa dirinya mempekerjakan Boy untuk mengawasi Nala. Baru setelah keluarga korban wanita yang bunuh diri datang lebih dari satu jam kemudian, Aska bisa berpikir jernih dan teringat Boy.

Setelahnya yang memenuhi hati dan pikiran Aska adalah perasaan lega bercampur amarah. Amarahnya tentu ditujukan pada Nala. Wanita yang berhasil membuatnya bersikap tak masuk akal. Wanita yang berhasil membuatnya lari ke sana kemari seperti orang gila.

Sungguh, dirinya sama sekali tak menyukai hal ini. Nala membuatnya melakukan hal-hal di luar kebiasaannya. Membuatnya melakukan sesuatu yang tak dia rencanakan. Entah mengapa, Aska memiliki firasat buruk bahwa semua ini tak akan berakhir baik.

Kayaknya gak lama lagi lo harus jilat ludah lo sendiri.

Ucapan Raffi mendadak terngiang dalam benak Aska. Sepertinya dia mulai menebak apa maksudnya. Tentu ini berkaitan dengan Nala. Dan—sejujurnya—Aska tak bisa menyangkal hal itu. Jadi bagaimana sekarang? Bukankah lebih baik dia melepas Nala seperti saran Raffi? Demi dirinya sendiri. Karena jika Aska benar-benar terjerat, dia takut tak bisa memaafkan dirinya sendiri kelak.

Aska mondar-mandir di kamarnya. Seharusnya dia kembali ke kantor. Nala berhasil membuat kepalanya agak pening karena terlalu mengkhawatirkan wanita itu. Akhirnya dia memilih menyerahkan tugas ke tangan Raffi. Pekerjaan yang membutuhkan kehadirannya ditunda hingga besok.

Cukup lama Aska hanya merenung di kamarnya. Berganti-ganti posisi ke sana kemari. Saat peningnya kian tak tertahankan, dia memutuskan keluar kamar untuk mencari aspirin di kotak obat yang tersimpan di dapur.

Usai minum obat tanpa mengisi perut terlebih dahulu, Aska melirik jam di pergelangan tangannya lalu menoleh menatap kamar yang ditempati Nala. Sudah hampir pukul dua siang. Dirinya belum makan siang dan sama sekali tak merasa lapar. Memang, makan tak pernah menjadi prioritas Aska. Itu membuatnya kerap kali melewatkan waktu makan. Beruntung ada Mamanya, Raffi, atau sekretarisnya yang selalu mengingatkan.

Tapi kini, dengan pandangan yang tertuju pada pintu kamar yang tertutup, Aska memikirkan Nala. Memikirkan apa wanita itu sudah makan siang atau belum. Padahal dirinya masih sangat marah. Seharusnya membiarkan Nala kelaparan adalah hukuman yang sangat ringan.

Mendadak bayangan Nala memungut makanan sisa dari tempat sampah memenuhi benak Aska. Seketika rasa sakit berdenyut kembali memenuhi dada Aska hingga nyaris membuatnya sesak.

Dirinya dan sang Mama juga pernah berada di posisi serba kekurangan. Tapi tak pernah sekali pun mereka harus makan makanan sisa, apalagi dari tempat sampah. Itu membuat rasa sakit yang Aska rasakan berkali lipat hingga membuatnya terkejut, tak menyangkan bahwa dirinya bisa memiliki rasa iba yang sangat dalam pada Nala.

Tak mau terjebak dalam perasaan tak nyaman lebih lama, Aska mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Boy yang tadi ia bebas tugaskan untuk hari ini melalui Raffi.

Halo, Pak,” suara Boy terdengar begitu sambungan telepon diterima.

“Apa Nala tadi sudah makan?” Aska merasa tak perlu berbasa-basi.

Oh, belum. Nona Nala hanya berjalan-jalan.

Kening Aska berkerut. “Dia tidak makan apapun? Kau bilang kalian sudah pergi hampir tiga jam.”

Ya, tapi memang itu yang dilakukan Nona Nala. Hanya berjalan-jalan lalu berhenti di tempat yang menarik perhatiannya. Mengamati sekitar lalu berjalan lagi.

Kerutan di kening Aska kian dalam. Padahal Aska sudah memberi Nala kartu kreditnya. Apa wanita itu tidak tahu cara menggunakannya?

Apa seharusnya saya mengingatkan Nona Nala untuk makan siang?” Boy bertanya ragu karena Aska diam.

“Ah, tidak. Biarkan dia melakukan yang dia inginkan. Kau hanya perlu memastikannya aman dan tidak lepas dari jangkauanku. Hanya itu saja yang ingin kutanyakan. Nanti kuhubungi lagi.”

Setelah sambungan telepon terputus, Aska menghampiri kamar Nala lalu hendak membuka pintunya. Namun pintu itu terkunci hingga mau tak mau Aska harus mengetuk sambil mengertakkan gigi kesal. Besok akan kuminta Boy melepas pintu sialan ini sekalian.

Tok… tok… tok…

“Na! Keluar sekarang!” nada memerintah Aska terdengar seperti majikan yang memerintah pembantunya. Aska tak memedulikan itu dan memilih menunggu sambil bersedekap.

Tak sampai satu menit, pintu terbuka pelan, menampakkan raut wajah yang menatapnya dengan sorot benci. Ah, Nala memang ekspresif. Dia bisa memandang Aska dengan beragam sorot dan raut wajah. Kadang takut, marah, gugup, bahkan pernah pula, penuh cinta. Dan kini, Aska dihadapkan dengan ekspresi baru lagi. Karena seingatnya Nala tak pernah menatap dirinya dengan sorot benci seperti itu. Tapi Aska sama sekali tak peduli. Selama dia mendapatkan apa yang diinginkannya.

“Aku ingin makan siang di luar. Ayo ikut!”

Nala bergeming di tempatnya hingga kemarahan Aska yang sejenak tadi mulai reda kini kembali bangkit. Tapi dia menahan diri saat dilihatnya mata Nala agak memerah dan bengkak, menandakan wanita itu menghabiskan waktu di kamar untuk menangis.

“Aku tidak menerima penolakan,” desis Aska. Lalu tanpa permisi meraih jemari Nala dan menariknya keluar.

***

Makan siang berlangsung hening. Aska memilih restoran sederhana pinggir jalan yang menarik perhatiannya. Dan pilihan Aska tidak salah. Masakannya lezat, membuat Aska makan dengan lahap.

Namun sebaliknya, Nala hanya memakan sedikit dari piringnya. Dia sama sekali tak berselera. Padahal seharusnya dia mensyukuri makanan lezat di hadapannya setelah pengalaman menahan lapar dan memakan makanan sisa. Apa yang dialaminya beberapa hari terakhir serasa menguras tenaga dan emosi. Hingga sekarang Nala merasa sangat lelah dan hanya ingin tidur untuk waktu lama.

“Pernah merasakan lapar harusnya membuatmu bersyukur dan tidak menyia-nyiakan makanan.”

DEG.

Hanya satu kalimat sederhana. Dan luka di hati Nala kembali berdarah. Tidak tahukah Aska bahwa ucapannya menyakiti Nala? Atau sebenarnya dia tahu dan memang berniat membuat dirinya sakit. Seperti biasanya.

Nafsu makan Nala benar-benar menguap sekarang. Dia meletakkan sendok dan garpunya lalu mendorong piring ke tengah meja. Semua itu dilakukan tanpa melirik sedikit pun pada Aska. Lalu dia diam mematung sambil menatap keluar jendela yang tepat berada di pinggir jalan, menampakkan kesibukan di luar sana.

Bibir Aska menipis melihat Nala menyudahi makan karena komentar singkatnya. Meski tanpa mengucapkan apapun dan bahkan tanpa melihatnya, Nala jelas tengah melawannya.

“Nala…” geram Aska setengah mendesis. Namun Nala tetap bergeming. Sama sekali tak memedulikan Aska.

Jemari Aska mengepal. Andai yang di depannya adalah lelaki, sudah pasti dirinya tak akan menahan diri untuk menghajarnya sampai orang itu paham posisinya. Tapi Nala beruntung. Gender menyelamatkannya. Akhirnya yang dilakukan Aska hanya memanggil pelayan lalu membayar.

Kembali di mobil, Aska tak langsung menyalakan mesin. Mendadak dia malas kembali ke apartemen. Tak banyak yang bisa dilakukannya di sana.

“Kau ingin pergi ke suatu tempat?” tiba-tiba Aska bertanya, membuat Nala yang semula ingin mengabaikan lelaki itu refleks menoleh. Tapi begitu tatapan mereka beradu, Nala kembali memalingkan wajah, menatap lurus ke depan. Melihat itu Aska mendesah. “Aku sedang bosan dan sedikit sakit kepala.” Semua itu karenamu. “Jadi pasti menyenangkan pergi mencari hiburan ke suatu tempat. Jadi, apa ada tempat khusus yang ingin kau kunjungi?”

Nala tetap diam mematung.

Kemarahan Aska kembali tersulut. Berani-beraninya wanita ini! Dia sudah merendahkan diri dengan bertanya baik-baik. Tapi Nala malah hanya diam saja seolah Aska berbicara dengan patung.

“Kau tidak bawa notesmu ya?!” ada nada marah tertahan dalam suaranya. Lalu dia membuka laci dashboard dan mengeluarkan buku kecil serta pen yang memang selalu tersedia di sana dan meletakkan di atas pangkuan Nala tanpa permisi. “Nah, sekarang kau bisa menulis ingin ke mana.”

Sebagai tanggapan, Nala malah memalingkan wajah, menatap ke pintu samping mobil yang otomatis membelakangi  Aska. Kemarahan Aska kian memuncak dan rasanya kepalanya akan pecah sekarang. Rasa pening yang tadi agak berkurang kembali mendera.

“Perempuan sialan,” geram Aska. “Meski ingin, kau tidak akan pernah bisa mengabaikanku selamanya.”

Lalu tanpa kata dan bahkan sedikit kasar, Aska menyalakan mesin mobil lalu melajukannya dengan cepat membelah jalanan.

***

Tempat yang dituju Aska benar-benar di luar dugaan Nala. Itu adalah area parkir luas untuk mobil. Biasanya digunakan sebagai tempat istirahat bagi pengendara mobil yang menempuh perjalanan jauh. Sisi-sisinya hanya dibatasi pagar besi yang menampakkan pemandangan laut dengan ombak tenangnya. Namun tidak ada yang bisa mencapai pantai melewati area situ dan sekitarnya. Mereka hanya bisa memandang dari balik pagar tanpa bisa menghampiri.

Bukan karena tempat itu tak lazim digunakan untuk menghabiskan waktu santai yang membuat Nala terkejut. Tapi karena tempat ini amat familiar. Ke sini dulu Aska kerap kali mengajaknya hanya untuk memandang laut. Bahkan—Nala tercekat—di tempat inilah mereka pertama kali berciuman.

Bodoh! Kenapa masih saja teringat hal itu!

Nala tak mengerti apa Aska sengaja atau ini hanya kebetulan. Bisa saja Aska tak pernah ingat momen kebersamaan mereka. Meski penasaran, namun Nala tak membuang waktu untuk bertanya. Memilih bertahan dengan sikap bak patungnya.

“Pindah ke belakang!”

Tiba-tiba Aska memerintah seraya pindah melalui tengah antara kursi pengemudi dan penumpang di bagian depan. Nala yang mendengar itu menoleh menatap Aska bingung. Namun Aska tak memberinya kesempatan untuk melawan lagi. Tanpa permisi dia melepas sabuk pengaman Nala lalu menyentak wanita itu agar mengikutinya. Mau tak mau, dengan sikap waspada, Nala pindah lalu duduk di sisi terjauh. Menempel di badan mobil sambil memandang Aska dengan ekspresi kucing liar yang siap mencakar.

Awas saja kalau dia berani macam-macam—

Namun yang dilakukan Aska kemudian kembali membuat Nala tertegun. Aska berbaring, dengan kepala bertumpu di paha Nala. Satu kakinya terjuntai menyentuh lantai mobil sementara kaki lainnya menekuk.

“Kepalaku sakit sekali,” suara Aska pelan. Satu lengannya naik menutupi mata. “Aku sudah minum obat tapi sakitnya tidak hilang,” dia mengadu, seperti anak kecil di pangkuan ibunya. “Biarkan aku tidur sebentar.” Setelahnya hening. Aska tak mengatakan apapun lagi.

Nala membeku dengan jantung—yang tak bisa dicegahnya—berdebar cepat. Pandangannya menunduk, mengarah pada lengan Aska yang menutupi mata. Lalu beralih menatap rambut Aska yang agak panjang di pangkuannya.

Rasanya ingin sekali dia menurunkan jemari untuk membelai rambut itu. Merasakan helai halus di antara jemarinya sambil bertanya-tanya apa rasanya masih sama seperti dulu. Namun Nala menahan diri sekuat tenaga. Membiarkan akal sehatnya berperang dengan hatinya yang telah berkhianat untuk tetap memendam rasa pada Aska.

Dirinya tidak akan menyerah semudah ini, kan?


♥ Aya Emily ♥

Silent Wounds

Silent Wounds

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Trauma mendalam membuat Nala Olivia harus kehilangan kemampuan berbicaranya. Dia yang semula hidup normal berubah menjadi wanita bisu akibat luka hati yang terus dipendamnya sendiri. Suatu hari, Aska Faresta—lelaki dari masa lalunya—muncul di restoran tempat Nala bekerja. Dan anehnya lelaki itu marah saat Nala tidak bisa membalas ucapannya seolah lelaki itu masih peduli padahal dia termasuk salah satu penyebab Nala membisu. Lalu apa jadinya hubungan mereka ketika Aska menyeret Nala ke rumah ibunya dan mengakui Nala sebagai istri? Mampukah Nala menjelaskan yang sebenarnya pada wanita paruh baya itu bahwa dirinya bukanlah istri Aska?

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset