loader image

Novel kita

Silent Wounds – Bab 20

Silent Wounds – Bab 20

Bab 20
82 User Views

 

Seolah ada alarm dalam kepalanya, Nala sudah melihat dan mengenali dua orang itu bahkan sebelum mereka menginjakkan kaki di luar restoran yang hendak dirinya dan Aska tuju. Pintu kaca restoran sangat jelas menunjukkan wajah mereka yang hendak keluar.

Seperti gerak refleks, Nala langsung berbalik dan bergegas pergi. Tampaknya Aska tak menyadari kepergiannya namun Nala sama sekali tak peduli. Dalam pikirannya dia hanya harus bergegas. Sejauh mungkin dari mereka.

Napas Nala tersengal saat ia akhirnya memelankan langkah lalu berhenti. Dia tak sadar bahwa tadi setengah berlari dalam usahanya menjauh dari sumber rasa sakit. Lalu tanpa bisa dicegah, matanya berkaca-kaca. Pedih di hatinya terasa menusuk dan seolah mengiris jantungnya.

Kamu sama sekali tidak berguna. Beban! Kenapa tidak mati saja sekalian?

Dasar anak tidak berguna! Daripada cuma hidup menyusahkan dan membawa sial seperti ini, lebih baik kamu mati saja!

Setetes air mata Nala menitik teringat ucapan menyakitkan Maura, Mama kandungnya. Dia selalu seperti itu. Saat Nala melakukan sesuatu yang menurutnya tak berguna dan hanya menyusahkan, dia selalu mengeluarkan kata-kata kasar yang amat menyakitkan. Seolah berita kematian Nala adalah sesuatu yang amat menggembirakan untuk Maura. Harapannya sejak Nala dilahirkan.

Nala menelan isakannya lalu menghela napas sejenak untuk menenangkan diri. Lalu dia buru-buru mengusap wajahnya untuk menghapus jejak air mata saat mendengar pertanyaan Boy.

“Anda baik-baik saja?”

Nala bersyukur Boy tak berusaha melihat wajahnya. Hanya bertanya dari belakang Nala. Buru-buru dia mengangguk sebagai tanggapan.

“Apa sebaiknya kita cari restoran lain? Anda harus makan siang.”

Nala terdiam. Makan sama sekali tidak masuk dalam pikirannya sekarang, Dia hanya ingin bergelung sendirian di suatu tempat dan menangisi nasib buruknya.

Padahal dirinya sudah berusaha melupakan semua. Berusaha melepas segala kesedihannya. Melupakan Aska… melupakan Mama kandungnya. Tapi mereka tetap hadir dan mengorek luka lama, bahkan seolah berusaha menciptakan luka baru seperti yang Aska lakukan.

“Atau sebaiknya kita kembali ke apartemen saja dan saya akan memesankan makan siang untuk Anda?” usul Boy lagi karena sebelumnya tak mendapat tanggapan.

Tak ingin membuat Boy bertanya-tanya lebih lama, Nala buru-buru mengangguk dan membiarkan Boy mencarikan taksi yang membawa mereka kembali ke apartemen.

***

Hujan tampak mengguyur di luar sana. Tidak begitu deras. Tapi berhasil membuat suasana hati Nala semakin muram. Padahal dia menyukai hujan. Tapi hujan kali ini seolah mengejek dirinya. Menggambarkan betapa muram dan pedih hatinya sekarang.

Nala berdiri di kamar yang ditempatinya sambil mengamati rintik hujan dari jendela kaca. Tetesnya seiring tetes air mata Nala saat ia membiarkan kenangan masa lalu menguasai hati dan pikirannya.

Ada lelaki baru lagi yang suka mengunjungi Mamanya. Nala yang saat itu masih berusia delapan tahun tak pernah suka dengan lelaki-lelaki yang kerap kali datang silih berganti. Seolah jiwa kanak-kanaknya sudah meneriakkan peringatan bahwa lelaki-lelaki itu bukan orang baik meski sering membelikannya makanan atau mainan tiap mereka datang.

Tapi kali ini berbeda. Tak sekedar mengunjungi Mamanya di rumah, lelaki ini sering mengajak mereka jalan-jalan keluar. Tapi sikapnya tak pernah pura-pura baik pada Nala seperti teman lelaki Mamanya yang lain. Jelas lelaki ini menjaga jarak dari Nala, bahkan sering menatap padanya yang Nala artikan pandangan tak suka.

Namun seperti biasa, kebaikan Nala bukan prioritas bagi Mamanya. Apa yang membuatnya senang akan dia lakukan meski Nala merasa terganggu. Karena itu Nala terbiasa menyimpan sendiri perasaannya. Terbiasa memendam kegundahan hatinya dan memilih berbicara dengan dirinya sendiri dalam hati.

Hari-hari berlalu, Nala menjalani hidupnya seperti biasa. Dia sekolah dengan diantar jemput becak. Sudah seperti ini sejak masih Taman Kanak-kanak. Hidup mandiri sudah menjadi kebiasaannya. Bahkan meski tak menemukan Mamanya sepulang sekolah, Nala tak pernah merasa takut. Yang mengganggu hanya rasa lapar jika Mamanya pulang malam dan tak ada apapun di rumah yang bisa dia makan.

Namun ada yang berbeda malam ini saat Mamanya pulang bersama lelaki itu yang Nala panggil Om Han. Begitu tiba di rumah, Mamanya memerintah Nala untuk membantu berkemas. Sambil marah-marah dengan suara pelan karena Nala tak bergegas.

Seperti biasa, Nala menelan berbagai pertanyaan dalam kepalanya. Hanya menuruti perintah Mamanya dan menerima saja segala omelan seolah itu hal yang biasa meski sebenarnya hatinya tetap berdenyut sakit.

Usai berkemas, Om Han mengajak mereka makan malam sejenak. Setelahnya mereka menuju rumah besar yang membuat Nala takut untuk menginjakkan kaki di dalamnya seolah dirinya kotor dan tak sepantasnya berada di sana.

“Mulai sekarang, kalian akan tinggal di sini.”

Ucapan Om Han tak lantas membuat Nala senang. Meski rumah ini jauh lebih besar dan lebih bagus dari rumah yang ditempati Nala dan Mamanya, tapi di sana Nala punya banyak teman. Para tetangga juga sangat baik padanya.

Tapi seperti biasa, Nala memilih diam. Apalagi saat melihat binar bahagia di mata Mamanya. Itu pertanda protes apapun darinya tak akan berarti. Hanya akan membuat Mamanya marah.

Lokasi rumah ini cukup jauh dari sekolahnya. Karena itu dia harus pindah dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru. Walau sedih, dengan mudah Nala bisa berbaur dan memiliki teman. Meski cenderung pendiam di depan Mamanya, Nala termasuk anak yang cerewet di depan orang lain hingga sangat mudah baginya mendapat teman.

Hampir setengah tahun tinggal di rumah besar itu, Nala tak juga merasa betah. Kerap kali dia masih merasa asing. Seolah itu bukan rumahnya.

Lalu lelaki itu… Om Han, sekarang Nala memanggilnya Papa. Panggilan yang seharusnya membuat mereka menjadi keluarga. Namun perasaan canggung yang Nala rasakan tak kunjung reda. Dia tetap merasa Han sangat asing dan tak menyukainya.

Hari ini Nala menghabiskan waktu di taman rumah besar itu ditemani Pak Kirto, si tukang kebun. Dia sangat pandai menggambar. Terutama gambar tanaman. Karena itu Nala suka menghabiskan waktu bersamanya apalagi saat ada PR menggambar.

“Wah, Nona Nala punya bakat melukis,” puji Pak Kirto saat melihat hasil gambar Nala. Saat ini mereka duduk beralaskan tikar di atas rerumputan. Tanaman dedaunan hias dan pohon tinggi melindungi mereka dari terik matahari.

“Tapi belum sebagus buatan Pak Kirto,” Nala mengerutkan kening melihat gambarnya. Padahal dia sudah menuruti arahan Pak Kirto. Tapi rasanya gambar yang dia buat tetap jelek.

“Nona cuma butuh lebih banyak latihan. Nanti pasti gambar Nona jadi lebih bagus dari gambar Bapak.”

Senyum Nala merekah mendengar kata-kata penyemangat itu. Dia mengangguk lalu melanjutkan gambarnya dengan riang.

Sepertinya belum terlalu lama sejak percakapan singkat mereka saat Nala mendengar suara-suara berisik dari arah rumah. Seperti suara orang bertengkar. Bahkan Pak Kirto buru-buru berdiri dan pergi setelah mengingatkan Nala agar tetap di tempat.

Tapi Nala tak bisa menahan rasa penasaran. Dia berdiri lalu memutuskan mengintip di antara rimbun tanaman dedaunan yang menyembunyikan tubuh kecilnya. Tampak dua orang asing di depan rumah. Nala tak bisa melihat wajah mereka karena membelakangi dirinya.

“Ya sudah kalau gitu.” Terdengar Mamanya berkata. “Itu resiko kalian. Kenapa masih mengganggu kami?”

Wanita yang duduk bersimpuh di atas bebatuan sama sekali tak menoleh ke arah Mama Nala. Tatapannya tertuju pada Om—err, Papa Han.

“Mas—”

“Ma, ayo pulang!”

Orang asing yang satunya berkata, memotong ucapan si wanita yang masih duduk bersimpuh. Lalu tanpa menunggu tanggapan dia berbalik dan melangkah cepat menuju gerbang utama rumah.

Sekilas Nala memperhatikan, lelaki itu tak setua Papa Han. Cukup muda untuk ia panggil Kakak. Tapi wajahnya yang menegang membuat Nala takut. Dia tampaknya sangat marah. Membuat Nala membeku di tempat dan sebisa mungkin berbaur dengan tanaman di sekitarnya agar lelaki itu tak melihat dirinya.

Tapi entah mengapa saat hendak melewati tempat Nala berdiri, lelaki itu berhenti seolah menyadari keberadaannya. Lalu dia menoleh, menatap Nala lama dengan tatapan menakutkan, seolah bertekad akan merobek jantungnya.

Kejadian itu berlangsung hanya sepersekian detik. Tapi Nala mengingatnya selama berhari-hari dengan rasa penasaran yang mengganggu. Siapa lelaki itu? Dan kenapa dia terlihat sangat marah?

Tapi tentu saja, Nala tak berani menyuarakan pertanyaannya. Sekali lagi dia menelan rasa penasarannya.

Bertahun-tahun kemudian, Nala baru mengerti siapa mereka dan apa yang telah Mamanya lakukan. Sang Mama merebut seorang suami dari wanita lain. Dia membuat istri pertama Papa Han dan anaknya diusir dari rumah besar itu hingga mereka bisa menempatinya.

Meski orang-orang tak ada yang berani mencela dirinya dan Mamanya, tapi Nala tetap merasa bersalah. Dia sudah lupa wajah lelaki—ah, lebih tepatnya pemuda itu. Jika diingat lagi, Nala yakin usianya masih belasan tahun. Nala sudah lupa wajah pemuda itu dan Mamanya. Tapi dia tak pernah melupakan sorot membunuh dalam mata itu. Dalam imajinasi liarnya, Nala bisa membayangkan pemuda itu menancapkan pisau lalu menyobek perutnya sambil tersenyum lebar.

Keberadaan Nala semakin tak terlihat semenjak Kaila lahir saat usia Nala sembilan tahun. Kaila menjadi kesayangan orang tuanya. Segala gerak-geriknya selalu diperhatikan dengan seksama.

Iri?

Yah, kadang. Nala tak pernah merasakan cinta sebesar yang diterima Kaila dari sang Mama. Menurut Mamanya Nala adalah kesalahan. Bukti kebodohan masa lalunya. Bahkan sang Mama tak pernah tahu siapa ayah kandung Nala. Dia hamil di luar nikah hingga akhirnya diusir dari rumah dan dikucilkan oleh orang-orang sekitar.

Seperti biasa, Nala tak pernah mengeluh. Dia selalu mensyukuri apa yang dia dapatkan. Dia bersyukur meski mungkin Mamanya sangat membenci dirinya, dia tetap mau merawat Nala hingga ia sebesar sekarang. Yah, apa lagi yang harus dirinya keluhkan?

Di usia dua puluh dua tahun, Nala lulus kuliah dengan nilai yang sangat memuaskan. Dia sudah bertekad melamar pekerjaan di perusahaan Papa Han. Berharap menorehkan prestasi yang bisa sedikit dilirik orang tuanya. Namun hal yang tak disangka terjadi.

Nala selalu tahu baik Mamanya maupun Papa han tak pernah benar-benar menyukainya. Tapi Nala tak menyangka mereka akan berusaha menyingkirkan dirinya. Mengirim Nala bekerja di perusahaan lain. Perusahaan rekan Papa Han. Dia bahkan tak pernah mengirim lamaran. Tiba-tiba saja semuanya sudah siap untuk Nala. Hanya menunggu dirinya datang dan bekerja.

Meski kecewa, Nala tetap menerima jalan yang dibuatkan untuknya. Dia pergi dari rumah besar itu untuk menjalani kehidupan barunya.

Seharusnya Nala senang waktu itu. Seharunya dia menjalani kehidupannya sebaik mungkin dan tak menoleh ke belakang lagi. Tapi kesadaran bahwa keluarga kandungnya berada jauh darinya membuat Nala tak sepenuhnya bisa terbiasa di tempat itu. Dia selalu ingin pulang. Bertekad berkumpul lagi dengan Mama, adik, dan Papa tirinya, meski kehadirannya tak pernah diinginkan.

Dan ternyata itu adalah keputusan terbodoh yang pernah dipilih Nala. Keputusan yang membawanya pada jurang penuh luka yang meninggalkan trauma hingga membuatnya kehilangan kemampuan bicara.

“Sudah berapa lama kau berdiri di situ?”

Refleks Nala berbalik, membuat tatapannya beradu dengan mata cokelat itu. Mata cokelat yang sama seperti yang mengganggu kesenangannya di bawah hujan. Membuat Nala sedikit linglung, apa yang di depannya kini masih ingatan masa lalu atau masa kini.


♥ Aya Emily ♥

Silent Wounds

Silent Wounds

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Trauma mendalam membuat Nala Olivia harus kehilangan kemampuan berbicaranya. Dia yang semula hidup normal berubah menjadi wanita bisu akibat luka hati yang terus dipendamnya sendiri. Suatu hari, Aska Faresta—lelaki dari masa lalunya—muncul di restoran tempat Nala bekerja. Dan anehnya lelaki itu marah saat Nala tidak bisa membalas ucapannya seolah lelaki itu masih peduli padahal dia termasuk salah satu penyebab Nala membisu. Lalu apa jadinya hubungan mereka ketika Aska menyeret Nala ke rumah ibunya dan mengakui Nala sebagai istri? Mampukah Nala menjelaskan yang sebenarnya pada wanita paruh baya itu bahwa dirinya bukanlah istri Aska?

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset