loader image

Novel kita

Silent Wounds – Bab 24

Silent Wounds – Bab 24

Bab 24
75 User Views

 

Nala naik ke ranjang di sebelah Aska. Seperti biasa, berusaha mengabaikan lelaki itu. Menganggap tak ada orang di sana. Biasanya itu bisa membuatnya tidur dengan cepat. Apalagi Aska tak pernah mengajaknya mengobrol di atas ranjang, seolah mengerti perasaan Nala dan berusaha membuatnya nyaman. Hanya di waktu-waktu tertentu saat lelaki itu penasaran akan sesuatu atau memaksa untuk memeluk Nala. Saat itulah Nala akan sulit tidur bahkan terjaga sepanjang malam. Dan sepertinya, malam ini akan menjadi salah satu malam yang akan membuatnya tak bisa memejamkan mata.

Aska yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang dengan buku di tangannya langsung mengalihkan perhatian begitu melihat Nala mulai berbaring membelakanginya. Buku ia letakkan di atas nakas namun dia sama sekali tak mengubah posisi duduknya.

“Apa kau sudah bertemu Raffi?”

Pertanyaan Aska membuat Nala menoleh sekilas ke arah lelaki itu. Lalu dia menggeleng seraya kembali membelakangi Aska dan memejamkan mata.

“Oh, sepertinya Raffi ingin aku yang menyampaikannya padamu.” Aska sengaja menunggu reaksi Nala. Tapi wanita itu tetap bergeming, membuat kekesalan Aska perlahan naik. “Kata Raffi, rencana kalian gagal karena aku lebih dulu tahu. Jadi dia harap kau tidak repot-repot menunggunya untuk melepaskanmu dariku. Dan omong-omong, mulai besok kau akan kembali diawasi Boy untuk menghindari hal semacam ini lagi.”

Aska tersenyum puas melihat tubuh Nala mendadak menegang. Meski dia tak bisa melihat wajah Nala, Aska tahu wanita itu cukup terkejut dengan informasi yang diberikannya. Semoga saja itu cukup membuat Nala berpikir seribu kali untuk membodohinya lain kali.

Jemari Nala meremas sprei dengan kuat setelah ia mendengar ucapan Aska. Rasa sesak di dadanya mulai terasa. Bahkan desakan untuk menangis membuat matanya terasa panas. Namun Nala tetap mempertahankan posisinya. Dia berusaha menelan gumpalan kesedihan yang terasa menyumpal tenggorokannya lalu memejamkan mata.

“Na, kau dengar yang aku bilang, kan?” kening Aska berkerut. Dia jadi ragu Nala mendengarnya karena wanita itu tak bereaksi apapun.

Semakin kesal karena tetap tak mendapat tanggapan, Aska memilih berbaring sangat dekat di belakang Nala hingga dadanya menempel di punggung wanita itu lalu memeluk pinggang Nala dari belakang. Ketegangan kembali terasa memenuhi tubuh Nala. Itu membuat Aska yakin Nala mendengarnya namun memilih diam.

“Kenapa kau terus berusaha lepas dariku saat aku ingin memperbaiki segalanya? Apa aku tidak berhak mendapat maafmu?” Aska berbisik pelan, dengan nada serak penuh emosi yang tidak pernah didengar Nala. “Beri aku kesempatan, Na.”

Jemari Nala semakin kuat meremas sprei. Rasanya dia ingin berteriak pada lelaki itu.

Apa kau dulu memberiku kesempatan? Ah, bukan. Yang kuinginkan hanyalah penjelasan. Alasan perlakuan burukmu. Tapi aku tidak pernah mendapatkannya. Hingga kini. Lalu kau ingin aku begitu saja menerima maafmu dan memercayaimu lagi?

Tapi seperti biasa, yang dilakukan Nala hanya diam menelan semuanya sendirian. Bahkan meski dia bisa bicara, Nala ragu dirinya akan mengungkapkan isi hatinya pada Aska.

Ruangan itu mendadak hening setelah kalimat terakhir Aska. Nala menunggu dengan sikap defensif kata-kata apa yang akan dilontarkan lelaki itu selanjutnya. Namun tak ada apapun. Dan meski Aska menempel begitu rapat di punggungnya, perlahan kantuk menyerang Nala. Mungkin karena letih, alam mimpi mulai membuainya. Dan sebelum dia benar-benar terlelap, kecupan ringan terasa lembut di puncak kepalanya dengan kalimat lirih yang Nala pikir berasal dari dunia mimpi.

“Aku mencintaimu, Na.”

***

Esoknya Nala sendirian di rumah besar itu. Ah, tidak benar-benar sendirian. Ada banyak pelayan di sana. Dan tentu saja, Boy. Membuat Nala sadar dirinya kembali menjadi tahanan.

Nala mendesah, mondar-mandir di ruang tengah dengan hati gelisah sekaligus bosan. Sambil bertanya-tanya apakah tawaran Raffi waktu itu memang benar atau ini hanya muslihat Aska untuk menguji dirinya? Mungkin saja kan Raffi menawarkan itu atas perintah Aska.

Hantaman rasa kecewa kembali menyerang Nala. Namun dia buru-buru menarik napas untuk meredakannya. Ini bukan apa-apa. Dibanding semua rasa sakit yang pernah menderanya, ini hanya cubitan kecil yang rasa sakitnya akan hilang dalam sekejap.

Nala kembali mondar-mandir lalu melihat sekeliling. Apa sebaiknya dia kembali mempertimbangkan opsi pertama? Langsung melarikan diri dari Aska sejauh mungkin? Kalau pun Aska berhasil kembali menangkapnya, biar itu jadi urusan nanti.

Seolah bisa membaca pikiran Nala, mendadak Boy muncul membawakan camilan dan minuman segar untuk Nala, menyadarkan wanita itu bahwa dirinya memiliki mata yang terus mengawasi gerak-geriknya. Nala mendesah, dan dia hanya mengangguk samar saat Boy mempersilakannya menikmati hidangan di atas meja.

“Nala.”

Panggilan itu membuat Nala menoleh. Sengatan rasa kecewa kembali mendera hatinya saat melihat siapa yang datang.

Raffi dengan setelan jasnya yang rapi berdiri di hadapan Nala. Ada sorot menyesal dalam matanya, membuat Nala seperti melihat sosok yang berbeda dari lelaki yang pernah berbicara kasar padanya itu.

“Mungkin Aska sudah memberitahumu. Tapi aku merasa harus menemuimu sendiri.” Lalu dia menghela napas seolah berat untuk memberitahu Nala. “Rencanaku gagal. Aska bahkan sudah tahu kalau aku berniat membantumu pergi sebelum aku mulai menyiapkan segalanya. Jadi aku datang ke sini hendak meminta maaf.”

Sejenak Nala hanya memperhatikan lelaki itu lekat. Mencari kebohongan dalam matanya. Namun tidak ada. Raffi tampak benar-benar menyesal dan merasa bersalah. Melihatnya seperti ini Nala jadi berpikir bahwa lelaki itu sebenarnya baik. Hanya saja terlalu setia pada Aska.

“Wajar kalau kau mungkin menganggapku hanya mempermainkanmu. Bahwa aku tidak serius hendak membantumu. Itu tidak apa-apa.” Raffi menghela napas. “Tapi aku bersungguh-sungguh, semoga kau bisa segera lepas dari Aska. Demi dirimu sendiri dan tentu saja demi Aska. Kalian hanya akan saling melukai saat bersama.”

Lalu Raffi pamit dan segera pergi dari sana tanpa menunggu tanggapan Nala. Nala bersyukur karena dirinya pun tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

Perlahan dia duduk di sofa dekatnya. Lalu tangannya terangkat mengusap wajah, menelan rasa kalah yang serasa menekan dadanya. Benar-benar tidak ada pilihan lain. Dirinya hanya harus mencari cara lepas dari Boy lalu melarikan diri. Ya, seperti itu.

***

Nala berdiri mematung beberapa meter di depan cafe milik Noval. Tempatnya dulu biasa menghabiskan waktu saat sedih menderanya begitu kembali pada keluarganya namun mereka sama sekali tak mengharapkan dirinya. Rasanya di tempat ini semua bermula. Pertemuannya dengan Aska dan Noval. Sampai akhirnya Nala menjalin hubungan manis dengan Noval sebagai sepasang kekasih dan berteman akrab dengan Aska.

Harusnya mungkin Nala membenci tempat ini. Kalau dia tidak pernah ke sini, mungkin dia tak akan pernah bertemu Aska. Atau tak akan pernah merasakan sakitnya dikhianati kekasih.

Tapi bukan itu yang Nala rasakan sekarang saat berdiri di sana, menatap bangunan yang tampaknya tak berubah meski sudah lebih dari dua tahun berlalu. Yang dia rasakan adalah kerinduan. Rindu ingin mengulang masa-masa manis itu. Saat dirinya pikir semuanya baik-baik saja.

Tanpa sadar air mata menitik tapi buru-buru diusapnya dengan punggung tangan. Sejenak ia menghela napas lalu melangkah mendekati pintu masuk. Rasa rindu yang menyesakkan kembali menekan dada Nala. Di dalam sana juga masih sama. Pengaturannya tak ada yang berubah. Ah, tidak. Sepertinya cat dindingnya sudah berbeda. Namun keseluruhan masih sama.

Nala menoleh lalu seulas senyum tak bisa ia tahan muncul di bibirnya. Tempat duduknya yang biasa juga masih sama. Kosong, seolah memang menunggu Nala untuk menempatinya kembali.

Nala berjalan ke sana lalu duduk sambil terus menatap sekeliling, mencari perubahan. Di sini, dari posisi yang sama, tempat Nala biasanya duduk dan menikmati pemandangan keluar. Dia melakukan hal yang sama seperti yang biasa dia lakukan dulu. Lalu matanya berbinar takjub menyadari ada lebih banyak bunga di taman luar sana.

“Mbak, mau pesan apa?”

Nala tersentak dan langsung menoleh ke arah pelayan wanita yang mengusik lamunannya. Sepertinya dia pelayan baru karena dulu Nala mengenali semua pelayan di sini.

Nala hanya tersenyum saat si pelayan mengulurkan buku menu. Tanpa kata Nala menunjuk salah satu gambar minuman.

“Makanannya? Mungkin Mbak mau coba hidangan utama hari ini?”

Nala hanya menggeleng dengan senyum yang masih bertahan di bibirnya. Setelah si pelayan pergi, dia kembali mengalihkan perhatian pada dinding kaca di sampingnya. Dan seketika matanya berbinar menyadari rintik hujan perlahan turun membasahi bumi dan menciptakan embun serta aliran tetes air di dinding kaca. Benar-benar seperti dulu.

Entah berapa lama Nala terus menikmati pemandangan itu. Rintik hujan tetap bertahan dalam ritme konstannya. Tak bertambah deras maupun mereda. Lalu mendadak keningnya berkerut merasakan tatapan yang terasa tajam mengarah padanya. Dan dia pun menoleh, lebih tepatnya mendongak ke arah siapapun yang memperhatikannya.

Di atas sana. Tatapan itu berasal dari dinding kaca lantai dua. Tempat yang diketahui Nala sebagai kantor Noval. Tempat Noval biasa berdiri memperhatikan para pelanggannya sementara yang dibawah tidak bisa melihatnya karena dinding kaca itu terlihat gelap dari luar.

Seketika jantung Nala berdegup kencang. Perasaan gugup menderanya. Sebenarnya dia tak bisa melihat siapapun karena hanya kaca gelap. Tapi Nala jelas merasakan tatapan seseorang dari sana. Dan dia gugup karena tidak tahu seperti harus bersikap jika itu benar-benar Noval dan lelaki itu datang menghampirinya.

Apa dirinya masih marah?

Atau masih merasa gugup seperti seorang gadis di depan kekasihnya?

Sadar, Nala. Kau hanya berkhayal. Tidak ada siapapun di sana.

Menghela napas, Nala menggeleng pelan lalu menyeruput minumannya. Lalu pandangannya kembali mengarah ke jendela kaca. Tapi rasanya hanya berlangsung beberapa detik karena mendadak seseorang sudah duduk di depannya. Dengan mata melebar tak percaya dan napas terengah seperti baru saja berlari.

“Nala.”

Sama seperti lelaki itu, mata Nala juga melebar kaget. Tapi hanya dua detik karena dia seolah sudah menebak kehadiran lelaki itu. Lalu bibirnya melengkung membentuk senyuman.

Senyum Nala menular. Bibir Noval juga melengkung dan ada kilat di matanya. Seolah dia ingin menangis haru.

“Aku… tidak percaya kau akan datang ke sini lagi.” Dengan malu Noval mengusap matanya dengan punggung tangan. “Aku mencarimu setelah—kejadian itu. Tapi aku tidak bisa menemukanmu.”

Yang bisa Nala berikan sebagai tanggapan hanya senyuman. Notesnya ada dalam tas kecil yang dibawanya. Tapi mendadak Nala malu jika Noval tahu bahwa dirinya kini bisu.

“Oh, maafkan aku. Sepertinya aku—” Noval salah tingkah dan ada setitik kesedihan serta kecewa dalam raut wajahnya. “aku pasti sudah mengganggumu. Kau pasti tidak mau bicara lagi padaku. Aku—”

Noval kehilangan kata. Lalu menyerah dan berhenti bicara, diam membalas tatapan Nala. Masih dengan raut sedihnya.

“Aku ingin bersikap tahu diri dan beranjak pergi,” ujar Noval kemudian setelah beberapa detik mereka hanya saling memandang. “Tapi aku tidak bisa. Tidak sebelum kau mengusirku.”

Nala masih diam.

Noval menghela napas, “Suruh aku pergi jika kau tidak ingin aku di sini.”

Namun Nala masih bergeming. Lalu tanpa bisa dicegah, tersenyum geli. Berpikir sikap Noval sangat menggemaskan.

“Hmm… apa itu artinya aku boleh tetap di sini?”

Nala mengangguk tanpa ragu. Masih diliputi sorot geli dalam matanya.

Noval menghembuskan napas lega dengan senyum melebar. “Senang rasanya dan—” Noval ragu. Tapi hanya sedetik. “aku merindukanmu. Sangat.”

Seketika kesedihan mendera hati Nala. Dia ingin membalas ucapan Noval. Mengatakan dirinya juga sangat merindukan lelaki itu. Tapi jelas itu mustahil. Dan sebelum dia sempat menanggapi, mendadak Boy berdiri di samping mereka,

“Nona, Anda harus segera pulang.”

“Oh,” Noval tampak kaget dengan kehadiran Boy. Lalu dia kembali menatap Nala. “Kau tidak bisa di sini lebih lama ya?”

Nala menggeleng seraya merogoh tasnya untuk mengeluarkan dompet.

“Tidak, tidak perlu membayar. Biar aku yang urus. Anggap saja ini traktiran.” Noval menggoyangkan tangan ke kanan-kiri untuk mencegah Nala mengeluarkan uang.

Nala menatap lelaki itu dengan ekspresi yang dia harap terlihat memohon.

“Aku serius. Simpan saja uangmu.” Lalu Aska memajukan tubuh sedikit dan berbisik, “Aku tidak akan bangkrut hanya karena kau tidak membayar segelas minuman. Tapi jangan sampai pelanggan lain dengar.”

Nala tertawa. Tanpa suara tentu saja. Tapi rasanya ini pertama kalinya dia tertawa lepas setelah sekian lama.

Nala kembali memasukkan dompetnya lalu berdiri seraya mengulurkan tangan pada Noval. Noval juga berdiri namun di luar dugaan Nala, lelaki itu tak menyambut uluran tangannya dan malah menenggelamkan kedua tangannya sendiri dalam-dalam ke saku celana kainnya.

“Sekali lagi senang bertemu denganmu.”

Noval tersenyum ramah. Tapi sebaliknya senyum Nala menghilang seiring dia menarik tangannya sendiri. Tapi itu tak mengganggu Nala terlalu lama. Dia kembali tersenyum lalu mengangguk.

“Oh, Na…”

Panggilan Noval membuat Nala urung berbalik dan kembali menatap lelaki itu.

“Aku berharap kau datang lagi. Aku akan menunggumu. Besok, lusa, atau besoknya lagi. Aku akan ada di sini menunggumu.”

Nala tertegun mendengar itu. Ketulusan Noval terdengar jelas hingga nyaris membuatnya menangis. Kapan terakhir kali dia mendengar seseorang berniat menunggunya?

Yang Nala lakukan kemudian hanya tersenyum samar lalu berbalik pergi. Tak berani menjanjikan apapun. Bahkan sekedar anggukan tanpa kata.


♥ Aya Emily ♥

Silent Wounds

Silent Wounds

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Trauma mendalam membuat Nala Olivia harus kehilangan kemampuan berbicaranya. Dia yang semula hidup normal berubah menjadi wanita bisu akibat luka hati yang terus dipendamnya sendiri. Suatu hari, Aska Faresta—lelaki dari masa lalunya—muncul di restoran tempat Nala bekerja. Dan anehnya lelaki itu marah saat Nala tidak bisa membalas ucapannya seolah lelaki itu masih peduli padahal dia termasuk salah satu penyebab Nala membisu. Lalu apa jadinya hubungan mereka ketika Aska menyeret Nala ke rumah ibunya dan mengakui Nala sebagai istri? Mampukah Nala menjelaskan yang sebenarnya pada wanita paruh baya itu bahwa dirinya bukanlah istri Aska?

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset