loader image

Novel kita

Silent Wounds – Bab 7

Silent Wounds – Bab 7

Bab 7
77 User Views

“Lo liat tadi dia kan?” tanya Aska pada Raffi dengan amarah yang memuncak. “Jalang itu memang tukang cari perhatian! Ngapain dia ambil dari tempat sampah kayak gitu? Sok melas!”

Raffi diam memperhatikan Aska yang mondar-mandir gusar di ruang tamu rumahnya. “Dia cuma kelaparan, Ka. Emang lo gak liat? Sampai kapan lo mau nyiksa dia terus? Apa sampai dia mati?”

Mendadak Aska menunjuk Raffi. “Nah, liat! Lo udah terpengaruh kelicikannya. Emang gitu tujuannya. Cari perhatian, bikin orang-orang iba. Lo kan juga tau kalo orang tuanya kaya?” Aska berdecak malas. “Sampe pura-pura bisu segala.”

Raffi menghela napas. Dia merogoh kantong celananya lalu meletakkan sobekan kertas di meja ruang tamu Aska. “Kenapa gak lo cari tau sendiri alasan Nala hidup kayak gitu padahal ortunya kaya?” Lalu Raffi menegakkan tubuh seraya angkat tangan. Dia berkata dengan nada tegas, “Gue gak mau ikut campur lagi urusan lo sama Nala. Silakan selesaikan sendiri!” Usai mengatakan itu Raffi berbalik dan langsung pergi tanpa permisi pada sang pemilik rumah.

Aska mengerutkan kening memperhatikan punggung Raffi yang menjauh. Tak biasanya Raffi lepas tangan dari apapun yang ingin dilakukan Aska. Dan kalau Aska tidak salah menebak, tampaknya Raffi menahan kesal padanya.

“Kenapa dia?” gumam Aska pada dirinya sendiri. Lalu matanya beralih pada sobekan kertas di atas meja. Ada sederet alamat di sana. Dan bisa Aska tebak itu adalah alamat baru Nala.

***

Nala duduk dengan lutut ditekuk di atas hamparan selimut yang dibawanya dari rumah kontrakan. Kedua lengannya memeluk kaki sementara dagunya ia tumpangkan di atas lutut.

Jelas kondisi Nala lebih menyedihkan dari sebelumnya. Dia tinggal di tempat kotor dan lembab serta bau. Padahal Nala sudah berusaha membersihkan tempat ini. Tapi tetap saja. Aroma tak sedap masih terus mengganggu indera penciumannya.

Namun bukan hal itu yang mengganggu pikiran Nala sekarang. Rasanya kondisi ini masih lebih baik dari gangguan Aska Faresta. Lelaki itu tampaknya tak akan berhenti terus mengusiknya. Entah sampai kapan.

Sebulir bening air mata Nala jatuh membasahi lututnya saat teringat amarah dalam mata Aska tadi. Nala sungguh tak mengerti cara berpikir lelaki itu. Kenapa rasanya semua yang dilakukan Nala tampak salah dalam penglihatan Aska?

Kau sedang apa? Kau pikir aku tidak lihat dari mana kau memungut sampah itu!

Andai tak mengenal Aska, pasti Nala akan berpikir lelaki itu mengkhawatirkannya. Tapi dia sudah cukup mengenal lelaki itu. Ucapan Aska seolah mempertegas betapa menyedihkannya Nala sekarang. Meskipun itu benar, Nala merasa sangat tersinggung karena lelaki itulah penyebab dirinya berada dalam kondisi ini.

Jemari Nala—yang saling mengait memeluk kaki—terbuka. Tangan kanannya terentang lalu mengepal. Dengan tangan itu tadi dia menampar Aska. Sebuah kekerasan fisik yang pertama kali dilakukannya. Membuat Nala sendiri kaget. Tak menyangka seorang pengecut seperti dirinya punya keberanian untuk menampar seseorang, apalagi orang yang pernah merenggut hatinya dan tak pernah dikembalikan lagi.

Air mata Nala kian membanjir dan dia membiarkannya mengalir begitu saja. Ini sangat menyakitkan. Karena orang yang terus melukai dan menginjak-injak dirinya adalah orang yang dia cintai.

Ya! Tak peduli seberapa keras Nala menyangkal, dia tetap tak bisa mengingkari faktanya. Dia masih mencintai Aska. Bahkan setelah semua perlakuan buruk lelaki itu, cinta di hatinya tak kunjung pudar. Ini yang membuat rasa sakitnya menjadi berkali-kali lipat.

Bukankah dirinya sangat menyedihkan? Atau bodoh lebih tepatnya. Seolah ia senang disakiti. Seharusnya ia membenci Aska hingga ke tulang. Tapi mengapa dia masih terus mencintainya dalam diam?

Nala semakin terisak. Wajahnya tenggelam di atas lutut dan dia terus menangis tanpa suara.

Lalu seolah langit pun turut bersedih untuknya, hujan deras dengan tiba-tiba mengguyur disertai kilat dan suara guntur yang mewarnai langit malam.

Nala semakin meringkuk memeluk diri. Lalu dia dikagetkan dengan tetes-tetes air yang berhasil menyelinap masuk di sela genting yang tak lagi rapat. Bahkan bukan hanya satu titik, hampir di seluruh bagian gubuk persegi itu terdapat tetes-tetes air yang masuk.

Nala buru-buru menyeret barang-barangnya ke area yang tak terjangkau hujan. Selimutnya pun ia tumpuk ke sudut bersama tas-tasnya yang tak seberapa karena dia memang tak banyak memiliki barang.

Nala duduk meringkuk dengan pandangan menyapu seluruh atap. Bahkan genting di atasnya juga posisinya tak terlalu benar karena bisa dibilang rumah ini nyaris rubuh. Jika dibiarkan dan hujan terus mengguyur sederas ini, hanya dalam beberapa jam dirinya pasti sudah basah kuyup bersama barang-barangnya.

Dengan tekad untuk menyelamatkan sedikit barang yang masih dimilikinya, Nala mengambil jas hujan lalu mengenakannya sebelum keluar rumah. Dia ingat ada tangga kayu di samping rumah. Lumayan tinggi. Cukup untuk mencapai genting.

Dengan susah payah Nala menyeret tangga itu mencapai sisi rumah. Karena posisi rumah atau lebih cocok disebut gubuk itu miring ke arahnya, Nala hanya perlu empat undakan lebar untuk mencapai genting yang hendak ia perbaiki. Hanya bagian tepat di atas barang-barangnya.

Nala tersenyum puas begitu genting yang bisa dijangkaunya sudah dalam posisi benar. Setelahnya dia berniat turun dari tangga. Namun hujan membuat anak tangga yang dirakit dari batang bambu utuh itu menjadi licin. Tak ayal lagi, Nala pun terjatuh menimpa tanah becek. Tapi bukan itu yang membuat dia ternganga ngeri. Rasa sakit di tubuhnya yang mencium tanah tak seberapa mengerikan dibanding pemandangan di depannya.

Mendadak gubuk yang memang dalam posisi miring itu bergerak semakin rendah ke arahnya diiringi suara retakan yang membuat bulu kuduk meremang. Di detik yang menegangkan itu, Nala dengan susah payah berhasil menyeret tubuhnya dalam posisi merangkak menjauhi gubuk yang hendak jatuh menimpanya. Namun begitu suara mengerikan bangunan roboh semakin keras dan dekat, Nala hanya bisa meringkuk bagai bola dengan tangis tanpa suaranya, menanti rasa sakit yang mungkin akan mengakhiri penderitaannya.

Ya, selama detik-detik terakhir itu, akhirnya Nala menyerah terhadap hidupnya.

***

Aska berusaha menghabiskan sepanjang hari dengan menyibukkan diri di dalam rumah. Ada banyak telepon dari Cintya dan pesan ajakan untuk bersenang-senang. Tapi Aska sedang malas keluar hingga memutuskan mematikan ponselnya.

Namun semua yang dilakukannya tak berhasil menghapus bayangan Nala dari pikirannya. Memorinya terus memutar ulang bagaimana Nala memakan dengan lahap nasi sisa yang sudah dibuang. Membuat dadanya kian nyeri dan pedih.

Brengsek!

Aska mengumpat sambil berjalan mondar-mandir di kamarnya. Dia terus mengutuki diri sendiri. Mengutuki rasa tak nyaman yang terus mengganggu hatinya.

Bukankah ini yang Aska inginkan? Melihat Nala menderita? Tapi mengapa saat keinginan terdalamnya menjadi kenyataan, hatinya terus dilanda rasa tak nyaman hingga dia sendiri pun gusar.

Sial! Sial! Sial!

Akhirnya dengan penuh amarah Aska menyambar jaketnya lalu bergegas keluar. Tiba di ruang tamu, dia membungkuk sejenak meraup sobekan kertas yang ditinggalkan Raffi lalu menyelipkannya ke saku.

Cukup lama berkendara, akhirnya Aska tiba di lahan kosong yang gelap. Keningnya berkerut saat memperhatikan sekeliling lalu kembali memeriksa dengan teliti alamat yang ditulis Raffi.

Ya, ini alamat yang tepat. Bahkan tadi Aska berhenti sejenak untuk bertanya pada warga yang ditemuinya. Tapi tak ada rumah di sini. Hanya bangunan-bangunan kayu yang tampaknya akan roboh dan dari bentuknya mungkin pernah digunakan sebagai kandang ternak. Bahkan baunya cukup menyengat dari tempat Aska berada, membuatnya buru-buru menutup seluruh kaca mobil rapat.

Dasar Raffi sialan! Sepertinya sahabatnya itu menjahilinya.

Dengan jengkel Aska mengeluarkan ponsel yang baru ia nyalakan. Mengabaikan banyak panggilan tak terjawab dan pesan masuk, ia mulai menghubungi Raffi. Bersamaan dengan itu, hujan lebat mengguyur bumi sekaligus mobilnya disertai kilat dan guntur.

Double brengsek! Awas lo, Raf,” kesal Aska seraya menunggu Raffi menerima panggilan teleponnya.

Namun sampai dering berakhir, Raffi tak kunjung menjawab telepon. Dan saat Aska hendak menghubunginya lagi, telepon Raffi sudah tidak aktif.

Aska ternganga dengan pandangan mengarah ke ponsel di tangannya. Apa Raffi benar-benar marah padanya? Dia salah apa? Mungkinkah berhubungan dengan Nala.

“Jalang itu bener-bener penyihir,” geram Aska. Menurut Aska, Nala sudah berhasil menjerat Raffi ke dalam tipu muslihatnya.

Dengan kekesalan yang memuncak, Aska berniat menyalakan mesin mobil dan meninggalkan tempat itu. Tapi urung saat dia menyadari ada gerakan-gerakan di dekat salah satu bangunan.

Kening Aska berkerut, memperhatikan area itu lebih seksama. Kegelapan menyulitkannya. Tapi jika diperhatikan dengan jelas, Aska baru menyadari ada cahaya remang yang menguar dari salah satu gubuk. Dan tampak jelas gerakan-gerakan tadi adalah seseorang yang susah payah menyeret sesuatu mendekati gubuk.

Aska terus diam memperhatikan. Posisi mobilnya yang sedikit mengarah pada bagian samping gubuk membuatnya leluasa memperhatikan yang dilakukan orang itu.

Tatapan Aska menajam. Menyadari orang itu memiliki fisik yang lemah seperti perempuan. Postur tubuhnya pun terbilang kecil. Tapi dengan nekat dia menyeret benda panjang dan berat yang disadari Aska merupakan tangga kayu mendekati sisi gubuk yang miring lalu menaiki anak tangga.

Tunggu dulu! Perempuan?

Mendadak mata Aska melebar. Dia menunduk kembali memperhatikan sobekan kertas di tangannya. Lalu sebuah kesadaran menyentaknya. Refleks Aska keluar mobil. Sedikit mual awalnya karena bau yang menyengat. Namun ia tahan perasaan itu dan tanpa memedulikan hujan deras yang mengguyur, Aska bergegas menghampiri wanita yang masih sibuk di atas tangga.

Mungkin jarak Aska dari wanita yang diduganya adalah Nala tinggal sepuluh meter lagi. Tapi selama sedetik Aska tertegun saat kaki Nala tergelincir dan tubuh wanita itu jatuh menghantam tanah becek.

DEG.

Rasanya jantung Aska lepas dari rongganya. Matanya melebar. Beruntung refleks tubuhnya lebih baik padahal otaknya serasa berhenti bekerja. Aska berlari sekuat yang ia bisa. Dan larinya semakin kencang dengan jantung yang berdegup kian kuat sekaligus menyakitkan saat matanya menangkap gerakan gubuk reyot itu yang pasti akan menimpa Nala.

“Nala! Lari! Menyingkir dari situ!

Namun teriakan Aska hanya bergema dalam kepalanya. Bagai gerakan lambat, dia melihat bagaimana Nala masih berusaha menyelamatkan diri dengan cara merangkak. Tapi kemudian wanita itu berhenti seolah pasrah, merelakan tubuhnya dihantam bangunan.

“Sialan, Nala!”

Itu menjadi umpatan terakhir Aska dalam kepalanya sebelum ia melompat lalu menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tameng untuk melindungi Nala. Lelaki itu membungkuk dalam posisi merangkak di belakang Nala yang meringkuk, mengatupkan bibir rapat menahan rasa sakit yang menghantam punggungnya bersamaan dengan suara roboh yang mengusik kesunyian malam.

Nala yang masih menangis mendadak tertegun menyadari tak ada rasa sakit yang menimpanya. Lalu seolah instingnya menjerit agar ia menoleh, dia pun menoleh dan ternganga melihat seseorang yang tak disangkanya menjadi tameng melindungi tubuhnya.

“Aska.”

Nala menyebut nama itu tanpa suara. Namun tak ada tanggapan yang ia dapat. Bahkan tak ada kilat penuh amarah yang biasa Nala dapati dalam mata itu. Aska hanya menatapnya tanpa ekspresi sebelum matanya terpejam lalu dia ambruk menimpa tubuh Nala.


♥ Aya Emily ♥

Silent Wounds

Silent Wounds

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Trauma mendalam membuat Nala Olivia harus kehilangan kemampuan berbicaranya. Dia yang semula hidup normal berubah menjadi wanita bisu akibat luka hati yang terus dipendamnya sendiri. Suatu hari, Aska Faresta—lelaki dari masa lalunya—muncul di restoran tempat Nala bekerja. Dan anehnya lelaki itu marah saat Nala tidak bisa membalas ucapannya seolah lelaki itu masih peduli padahal dia termasuk salah satu penyebab Nala membisu. Lalu apa jadinya hubungan mereka ketika Aska menyeret Nala ke rumah ibunya dan mengakui Nala sebagai istri? Mampukah Nala menjelaskan yang sebenarnya pada wanita paruh baya itu bahwa dirinya bukanlah istri Aska?

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset