Ada Hal yang Tak Pantas
“Kak Nara, Sifana min …” ucapan Taro terhenti bersamaan dengan langkahnya ketika melihat kakaknya berpelukan, pria kecil itu pun berbalik sambil menutup matanya.
Narada dan Alfi terkejut bersamaan, mereka melepaskan pelukan dan menjauh satu sama lain, wanita itu mengusap air matanya. Mereka berdua melihat Taro yang berbalik sambil menutup mata.
“Apa ada yang bisa kakak bantu, Taro?” tanya Alfi untuk menghilangkan gugup yang melanda.
“Sifana minta susu, kak. Maaf!” Taro yang merasa tidak enak memilih lari setelah mengucapkan hal itu.
“Ah, susu. Biar aku yang buat.” Narada menyingkir dari pria yang ada di hadapannya. Ia jelas tak berani melihatnya setelah apa yang terjadi.
Pria itu kebingungan, ia merasa canggung dan berdebar setelah kejadian hari ini. Pertama kalinya mereka berpelukan dengan penuh perasaan. Alfi memilih untuk keluar dari area dapur lalu pergi ke ruang keluarga.
Narada meletakkan botol susu dengan segera, setelah pria itu pergi. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding baru kemudian menghembuskan napas yang terasa begitu menyesakkan karena kegugupannya tadi.
Bayangan pelukan itu mulai menghiasi pikirannya sendiri, ia mulai menyesalinya.
“Kenapa aku bisa meluk dia? Oh Tuhan, aku harus gimana sekarang?” Wanita itu menggerutu dengan lirih, ia melanjutkan untuk membuat susu.
Mencoba menghindari pikirannya sendiri, ia pun membuat teh hangat untuk Taro, Alfi dan dirinya juga.
Beberapa menit berlalu Narada keluar membawa nampan berisi botol susu dan beberapa gelas teh hangat. Ia menyuguhkan minuman itu di meja ruang keluarga.
“Sifana, ini susunya. Kamu bisa minum teh hangat Taro. Dan ini … Silahkan diminum!” Tak seperti Taro dan Sifana ketika mempersilahkan Alfi untuk meminum teh, Narada tak berani menatapnya lama, nada ketos itu terdengar lagi. Narada memilih untuk duduk sedikit menjauh dan menikmati teh hangat yang ada di hadapannya.
“Makasih.” Tanpa berbasa-basi, Alfi pun mengambil teh hangatnya lalu menyerutup tehnya dengan perlahan.
Nara yang sudah meminum tehnya hampir setengah gelas, akhirnya beranjak dari tempatnya lalu mendekati fas bunga. Pria itu terus memperhatikan pergerakan Narada, ia penasaran apa yang sedang dilakukannya? Wanita berambut panjang itu menemukan sebuah kertas berisi nomor rekening, dengan nama pemilik rekening. Sudah pasti nomor di dalamnya adalah milikĀ Frederika.
Ia mengambil handphone dari dalam saku celananya kemudian membuka mobile banking, setelah pilihan terbuka ia mengetik nomor rekening tujuan dan nominal 500 juta di sana, lampu hijau sudah tersedia waktunya Narada mengetuk tombol tranfer dan menekan nomor pin. Tranfer pun berhasil.
Tak ada ekspresi tersenyum sedikitpun di sana, pria tampan itu masih terus memperhatikan calon istrinya dengan seksama. Ia masih tak paham kenapa wanita itu begitu begitu serius menatap gawainya sejak tadi.
Narada menangkap layar bukti transfer baru kemudian mengirimkannya ke tante Frederika.
Narada : Aku udah kirim uang 500 juta sesuai perjanjian. Tepati ucapanmu tante!
Frederika : Wow, kurang beberapa hari kamu sudah bisa melunasinya. Apakah kamu baru saja menjual tubuh cantikmu untuk pria hidup belang?
Narada : Jaga ucapan tante! aku bukan wanita seperti itu. Urusan kita sudah selesai jangan mencariku lagi!
Frederika : Okey, semoga kamu baik-baik saja keponakanku. Besok aku akan ke rumah untuk bertemu yang terakhir kalinya, setelah itu aku akan kembali ke Paris.
Narada : Baiklah.
Setelah percakapan selesai, Narada menghela napas sangat panjang. Ia lega sekaligus tertekan karena masalah yang satu selesei tapi masalah baru sudah akan dimulai.
Pria itu masih terus memperhatikannya kali ini sambil menggoda Sifana yang sedang asik bermain boneka.
Taro melihat pergerakan mata Alfi yang terus memandang kakaknya, lelaki kecil itu paham mungkin kak Alfi sedang mencari tahu apa yang dilakukan oleh Narada.
“Kenapa kak Alfi nggak mendekat ke sana. Bukannya capek ya lihatin terus dari sini?” Pertanyaan polos itu hampir saja di dengar oleh Narada tapi pria tampan itu sudah lebih dulu mengisyaratkan untuk memelankan suara.
“Kamu ini memperhatikanku ya dari tadi?” Alfi mengusap pelan rambut Taro.
Anak laki-laki itu hanya mengangguk.
“Aku cuma khawatir dengan kakakmu, apa kamu tahu, apa yang dipikirkan kakakmu saat ini? Kenapa dia butuh uang 500 juta dan kenapa dia seperti memikul banyak beban di pundaknya?” Alfi kembali menatap Narada yang masih bertahan duduk sambil memainkan gawainya.
“Kakak harus membayar 500 juta dalam waktu 2 minggu biar nggak ikut ke ParisĀ dan bisa mempertahankan rumah ini. Tanteku jahat kak, kata kak Nara tanteku bisa berbuat semena-mena kalau kita ikut ke Paris. Aku juga takut kalau suruh tinggal sama tante Frederika.” Penjelasan polos Taro yang mampu merekam ucapan kakaknya saat berbincang dengan Frederika, sekarang membuat Alfi mengerti. Jika memang bukan karena keadaan terjepit wanita itu tak mungkin mau menikah dengannya demi uang. Ia berkorban demi kedua adiknya, wanita yang berani mengambil resiko.
“Oh jadi gitu, ternyata kakakmu sangat menyangimu dan adikmu, ” komentar Alfi sambil mengangguk pelan memahami situasi yang terjadi.
“Aku nggak tega sama kakak, dia harus kerja, masih sambil kuliah, nanti kalau pulang masih ngurusin kita. Nggak ada waktu buat istirahat, kalau aku udah gede, aku pasti bantuin buat kerja juga. Biar kak Nara bisa istirahat.” Pikiran Taro terlihat sangat dewasa di usianya, pria tampan itu pun kagum dengan adik laki-laki calon istrinya yang satu ini.
“Aku yakin suatu hari kamu bisa jadi pria sukses, kamu akan jadi pria yang tangguh dan bertanggung jawab. Kamu anak yang hebat, Taro! Kak Alfi janji, selama Kak Alfi masih hidup, kakak nggak akan biarin kak Narada menderita. Kalau besok kakakmu nikah sama kak Alfi dia nggak akan hidup susah lagi. Kamu sama Sifana juga, yang penting sekolah yang pinter sampai kalian kuliah ya! Urusan kakakmu biar kak Alfi yang mikirin. Okey?” Pria itu mengusap sekali lagi puncak kepala Taro.
“Kak Alfi harus janji, Jangan pernah nyakitin kak Narada! Aku nggak akan biarin kak Narada nangis lagi.” Ancaman Taro semakin membuat pria tampan itu tersenyum, ia menyadari kasih sayang seorang adik sangat besar untuk kakaknya.
“Iya Taro, aku janji.”
Kali ini Pria itu mengecup puncak kepala adik laki-laki calon istrinya, ia merasakan betapa beratnya kehidupan keluarga Narada sepeninggalan orang tuanya. Tapi, ia cukup dibuat kagum karena kuatnya kasih sayang kakak-beradik ini, mereka juga cukup kuat di situasi ini.
Narada menyadari ada perbincangan intens di sebelah sana, sampai membuat Alfi mencium puncak kepala adik laki-lakinya. Dalam hati ia juga penasaran sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan?Kedua pria itu seperti membicarakan hal serius. Namun, Narada enggan untuk mengganggu mereka. Entah mengapa, tapi rasanya dia hanya ingin diam dan memperhatikan mereka berdua dari kejauhan.
Saat memperhatikan mereka, Alfi tiba-tiba berbalik menatap ke arah Narada. Wanita itu salah tingkah, ia membuang pandangan ke arah lain dan menabrak tempat sampah yang membuatnya tergelincir, pria bertubuh tinggi itu berlari sekuat tenaga untuk menangkap tubuh Narada yang hampir saja menghantam lantai.
Suara dentuman kecil terdengar membuat Taro menutup mata Sifana dan juga matanya sendiri karena ada sesuatu yang tidak pantas ia lihat di usianya.