Alfi membawa Narada ke rumah besarnya yang terletak tidak jauh dari lokasi hotel.
“Kamu ingin membawaku ke mana?” Narada terlihat kebingungan melihat mobil itu sudah masuk ke area sebuah rumah yang sangat besar.
“Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan kepadamu dirumahku.” Pria itu memarkirkan mobil tepat di depan rumahnya, ia turun lalu membukakan pintu mobil untuk Narada. Sekali lagi pria itu menggandeng tangan kanan Narada kemudian mengajaknya masuk ke rumah besar miliknya.
“Ini sudah malam, aku seorang wanita, ini tidak baik untuk kita berdua. Aku juga belum menjadi istrimu. Sebaiknya, kamu antarkan aku pulang sekarang!” Narada ingin memberi batas, ia pun malas untuk melakukan sesuatu, wanita itu memang terlihat begitu kelelahan. Ia juga memikirkan keadaan kedua adiknya di rumah Leri.
“Bukankah kamu sudah diberi tahu Leri, jika hari ini kamu tidak akan pulang?” Pria itu menjawab sambil menarik Narada untuk mengikutinya menaiki sebuah tangga berlapis marmer yang menjuntai indah menuju ke lantai dua.
“Apa maksudmu tidak pulang? Sepertinya kesepakatan ini sudah selesai, tidak ada lagi yang akan kita lakukan, ak … ” Tiba-tiba kata-kata wanita itu terputus bersamaan dengan langkah Alfi yang berubah pelan lalu berhenti, pria itu berbalik menoleh ke arah Narada.
“Pernikahan kita sebentar lagi, waktunya juga tidak banyak. Apakah kamu bisa mengerti? Jangan khawatir, aku tak akan pernah berbuat macam-macam padamu sebelum waktunya tiba. Aku menghormatimu sebagai seorang wanita, aku mohon percayalah padaku dan tinggalah malam ini!” Nada lembut dengan penuh perasaan terlontar dari mulut Alfi, tak ada gertakan bahkan emosi, ia benar-benar membuat mulut Narada terbungkam, bukan karena wanita itu takut tapi ia cukup heran, kenapa Alfi bisa sebaik ini kepadanya? Apakah benar cinta itu memang membuat mata kita buta?
Setelah penjelasan itu, Narada hanya bisa diam sepanjang perjalanan menuju lantai dua, tangannya masih digenggam erat oleh Alfi. Ia sendiri tak bisa berspekulasi apa yang akan dilakukan pria ini. Tiba-tiba Alfi membuka pintu besar dilantai dua menuju sebuah balkon yang sudah dipenuhi lampu-lampu kecil, di sana ada sebotol anggur merah dengan dua gelas piala di atas meja, dua kursi juga tersedia. Di kanan dan kiri ada sebuah fas bunga besar, tampak jelas langit malam yang dipenuhi dengan banyak bintang.
“Tunggulah di sini! Aku ingin mengambil sesuatu, ” ucap Alfi sembari berjalan pergi meninggalkan wanita itu di balkon.
Narada berkeliling sembari menunggu Alfi yang entah sekarang pergi ke mana, ia menikmati suasana balkon yang terasa begitu romantis, tangannya menyentuh botol anggur dan gelas piala secara bergantian, kemudian berpegangan pagar balkon dan melihat ke atas langit.
“Ayah … Ibu … maafkan aku karena mengingkari janjiku untuk tidak berpacaran sampai aku lulus kuliah. Bahkan sekarang aku akan menikah, Ayah … Siapa yang akan menggandeng tanganku ke depan Altar?Ibu … Siapa yang akan memakaikan aku gaun pengantin dan menilai riasanku bagus atau tidak? Aku merindukan kalian berdua.” Narada berbicara sendiri sambil meneteskan air mata. Dari kejauhan Alfi mendengar ucapan wanita kesayangannya itu. Ia merasakan kesedihan yang teramat sangat dari calon istrinya.
Narada menyeka air mata yang ada di kedua pipinya. Alfi mulai berjalan mendekati Narada yang masih melihat ke atas langit, tiba-tiba tangan Alfi mengalungkan sebuah kalung dan memasangkannya di leher Narada. Wanita itu jelas terkejut, matanya melihat kilau emas dengan bandul bertuliskan namanya.
“Kalung ini aku simpan sangat lama, aku memesannya jauh-jauh hari sebelum aku mengungkapkan perasaanku waktu itu. Entah mengapa aku enggan membuangnya, aku masih berharap kamu bisa jadi pendampingku kelak, walaupun semua terasa mustahil.” Pria itu berdiri di samping Narada dengan posisi sejajar melihat ke atas langit.
“Apakah seserius itu kamu menyukaiku?Bagaimana perasaan mendiang istrimu? Kamu masih menyimpan barang untuk wanita lain, itu pasti sangat menyakitinya?” Apa yang diucapkan Narada memangĀ realistis, siapa wanita yang akan baik-baik saja ketika suaminya masih menyimpan perasaan untuk wanita lain?
“Aku juga membuat kesepakatan, hidupku selalu berjalan tak sesuai dengan yang aku mau. Baru kali ini, aku merasa mendapatkan apa yang aku mau. Narada … apakah kita bisa seperti dulu? Berbicara dengan santai tanpa bahasa formal seperti ini? Bahasa formal, seperti memberikan jarak diantara kita?” Pelan-pelan pria itu memang sedang berusaha untuk memotong jarak diantara mereka, ia paham wanita itu memang belum mencintainya.
“Kamu pemilik uang 500 juta, kamu juga yang membuat kesepakatan. Aku hanya seorang wanita yang bisa menurut, terserah kamu. Jika kamu ingin melakukannya, Lakukanlah! Aku sama sekali tidak peduli,” Narada memang tidak berniat untuk menikah atau menjalin hubungan dengan siapapun saat ini, pernikahan ini seperti jebakan untuknya. Dia pun tidak mudah bersikap baik terhadap siapapun.
“Baiklah, aku nggak akan memberimu ruang untuk bersikap formal padaku. Meskipun itu dikantor, anggaplah aku sebagai keluargamu, suamimu dan juga sahabatmu. Kita hanya berdua dan sama-sama nggak punya orang tua. Jadi–“
“Aku sama kamu berbeda, jangan samakan status kita ataupun keadaan kita. Itu nggak akan sama, aku nggak pandai untuk mengucapkan maaf tapi aku bisa mengucapkan terimakasih karena kamu mau menberiku uang 500 juta.” Penjelasan Narada memang sedikit tak enak didengar sepertinya itu sudah biasa untuk Alfi. Dia hanya tersenyum mendengar ucapannya.
“Okey, kita berbeda, aku nggak akan maksa. Melihatmu disisiku saja itu udah cukup!” Pria itu tiba-tiba mengambil sebuah kotak dari dalam sakunya, ia membuka kotak itu di depan Narada.
“Walaupun aku menikah denganmu karena kesepakatan. Setidaknya cincin ini akhirnya tersemat di jarimu, Narada.” Pria itu langsung memasangkan cincin di jari manis Narada.
“Kalau aku bertanya, ‘Apakah kamu mau menikah denganku?’ jawaban dalam hatimu pasti nggak mau. Jadi, aku nggak akan menanyakan apa yang jawabannya cukup jelas aku terima.” Setelah cincin itu tersemat di jari manisnya, ia memutar lingkaran cincinnya dan ada tulisan kecil yang menyematkan namanya di sana.
“Apa kamu juga–” Narada menoleh ke arah Alfi yang raut wajahnya tampak sendu dihiasi sedikit senyuman.
“Aku menyiapkannya juga sebelum aku mengungkapkan perasaanku. Aku berencana melamarmu setelah kamu sebulan menjadi pacarku. Tapi … ah semuanya nggak penting, apa yang aku beli sekarang sudah kuberikan kepada pemiliknya. Akhirnya, aku nggak perlu menyimpannya lagi,” Sangat terlihat seberapa hancurnya seorang pria ketika ditolak, ia bahkan menyimpan luka itu sendirian. Ia rela menunggu bertahun-tahun hal yang tak pasti, sepertinya pria itu sudah benar-benar buta, bahkan pintu hatinya benar-benar terkunci untuk wanita manapun. Narada merasa hal ini juga memukul sedikit nuraninya, namun keadaannya saat itu tak bisa menolong apa-apa. Ia harus patuh kepada kedua orang tuanya, setidaknya ketika mereka tiada, ia sudah membuat mereka bahagia dengan mengikuti keinginan mereka.
Narada menuangkan setengah gelas anggur merah ke dalam gelasnya dan juga gelas Alfi. “Ayo kita minum! Lepaskan luka yang aku buat untukmu, aku yakin kamu terluka karena ucapanku waktu itu.” Wanita itu mengangkat gelas miliknya dan memberikan gelas yang satunya kepada Alfi.
Mereka bersulang, lalu meminum anggurnya sampai habis. Mereka terluka dengan masalah masing-masing, mereka pun menuangkan lagi anggur merah ke dalam gelas mereka. Sekali lagi Anggur itu ditegak habis oleh keduanya. Wajah memerah di pipi Narada sangat terlihat, ini memang pertama kalinya ia minum. Berbeda dengan Alfi, ia terlihat belum begitu mabuk. Ia menatap ke arah Narada yang sudah mulai sedikit sempoyongan. Tubuhnya mulai terhuyung ketika anggur di dalam botol sudah tidak tersisa.
Pria itu menangkapnya, memegang pinggangnya yang ramping. Narada menatap jelas sosok Alfi, kemudian ia tersenyum, mulai bertingkah diluar kesadaran. Tangan kanannya menangkup pipi Alfi yang sebelah kanan.
“Kamu pria yang kuat, harusnya kamu mencintai wanita yang juga mencintaimu. Hidupku udah berantakan, aku pingin ngarepin kamu tapi aku sadar diri, aku udah nyakitin kamu. Kalau kamu ingin balas dendam sama aku, silahkan! Aku pantes dapetin itu,” Narada tersenyum dengan banyak beban, Alfi melihat bahwa wanita ini memang tak sedang baik-baik saja. Tiba-tiba air matanya menetes
“Maafin aku Fi, seharusnya aku nggak mempermainkan pernikahan ini dengan uang 500 juta. Apa kamu sadar? Aku udah melukaimu dua kali, aku terpaksa nglakuin itu. Tolong maafkan aku!Aku akan membalas semua kebaikanmu dengan semua yang aku bisa, walaupun aku nggak tahu, apakah aku bisa mencintaimu atau nggak. Aku nggak punya apa-apa untuk membalasmu, mungkin aku bisa membayarmu dengan hal ini!”
Tiba-tiba Narada berjinjit menautkan bibir mungilnya untuk meraih bibir pria tampan dihadapannya. Kedua mata Alfi membola seketika, saat sesuatu yang hangat berhasil membuatnya menahan dengan sekuat tenaga hasrat yang tiba-tiba muncul merasuki pikirannya. Bola matanya mulai terpejam ketika wanita itu berhasil membungkamnya dengan kelembutan, ia merasa kenangan pahit perlahan mulai sirna, ketika wanita yang sangat ia sayangi akhirnya berada di dalam pelukannya.