Ajeng mengadakan pesta di rumahnya. Banyak orang-orang penting yang hadir di pesta tersebut.
Saat berkeliling menyapa tamu-tamu yang datang, Ajeng melihat putra sulungnya berdiri gelisah di pojok ruangan.
“Haidar? Mana istri-istrimu?” Ajeng menoleh ke kanan dan kiri.
“Eng, itu, Ma, mereka …” Haidar gugup karena takut mamanya marah.
“Aku di sini, Ma.” Dayinta datang menghampiri mama mertuanya. Malam ini istri pertama Haidar itu memakai gaun berwarna merah menyala. Terlihat kontras dengan warna kulitnya yang putih. Ajeng sampai terpana melihatnya.
“Dayinta, kamu cantik sekali!” puji Ajeng tulus. Haidar pun juga sama. Matanya sampai tak berkedip saat memandang istri pertamanya tersebut.
“Terima kasih, Ma.” Dayinta merasa sangat senang karena ibu mertuanya menyukai penampilannya.
“Iya, Sayang. Seperti kata Mama, kamu cantik sekali. Seperti boneka.” Haidar mengeringkan sebelah matanya.
“Apa, sih, Mas? Ngegombal aja.” Dayinta senang karena suaminya juga memujinya. Tak sia-sia dirinya mempersiapkan semuanya sejak jauh-jauh hari.
“Loh iya. Sumpah!” Haidar mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.”
“Benar. Yang dikatakan Haidar benar, Dayinta. Kamu memang terlihat sangat cantik. Tak menyangka jika menantuku akan secantik bidadari.” Ramdan juga memuji penampilan Dayinta.
“Terima kasih, Pa.”
“Haidar, mana Naya? Sampai sekarang kenapa dia belum turun juga? Tamu-tamu sudah datang semua. Kita harus segera naik ke panggung untuk memberi kata sambutan,” tanya Ramdan.
“Sebentar lagi dia pasti turun, Pa.”
“Apa kamu sudah memastikan kalau istri keduamu itu tak akan membuat masalah lagi?” tanya Ajeng, membuat Haidar semakin gugup. Pasalnya dia tahu apa yang akan dilakukan oleh istri keduanya itu.
“I– iya, Ma. Mama tenang saja.”
“Awas saja kalau sampai Naya berbuat ulah. Aku tak segan untuk menghukumnya. Sudah berulang kali istri keduamu itu mempermalukan Mama.”
Baru saja Ajeng selesai bicara, tampak Naya sedang berjalan menuruni tangga. Wajah Haidar pias seketika.
“Haidaarrr!” geram Ajeng begitu melihat menantu keduanya itu memakai pakaian yang sama dengan Dayinta.
“I– iya, Ma. Aku akan segera mengatasinya.” Haidar berlari menaiki tangga dan menarik tangan Naya kembali naik ke lantai atas.
Sesampainya di dalam kamar, Naya segera menghempaskan tangan suaminya.
“Lepas!” Genggaman tangan Haidar seketika terlepas. “Apa maksudmu menarikku kembali ke atas, Mas? Aku juga ingin menikmati pestanya,” protes Naya tak terima.
“Naya, apa kamu sudah gila? Kenapa kamu tetap memakai baju yang sama dengan Dayinta? Aku kan sudah melarangmu.”
“Memangnya kenapa jika aku tetap memakai baju yang sama dengan Dayinta?”
“Apa kamu tidak lihat bagaimana reaksi Mama tadi? Mama sangat marah Naya.”
“Bodo amat!”
“Astaga, Naya! Tolonglah, jangan membuatku semakin pusing.” Haidar memegangi kepalanya yang mulai berdenyut nyeri.
“Kamu dan Mama memang tidak pernah adil.”
“Naya, bukan seperti itu. Kamu salah paham.”
“Salah paham apanya? Buktinya, aku memakai pakaian yang sama dengan Dayinta Mama langsung marah padaku. Kenapa gak marah ke Dayinta aja?”
“Ya karena kamu meniru Dayinta, Naya.”
“Lalu apa karena aku yang meniru itu berarti aku salah?”
“Tentu saja kamu salah, Naya.”
“Tuh, kan, benar? Kamu memang gak adil.” Naya melengos.
Haidar meraup wajahnya kasar. ” Ya Tuhan, Naya ….”
Ponsel Haidar berdering. Begitu melihat nama yang muncul di layar, Haidar segera mengangkatnya karena tak ingin sang penelepon semakin marah.
“Iya, Ma?”
“Kamu ngapain? Kenapa gak segera turun? Kita harus segera naik ke panggung.”
“I– iya, Ma. Sebentar lagi aku akan turun. Ini Naya masih berganti baju.”
“Suruh cepetan.”
“Iya, Ma.”
“Ingat, ya, Haidar, pokoknya Mama gak mau Naya memakai baju yang sama dengan Dayinta. Bikin malu saja.”
“Iya, Ma.”
“Jangan iya iya aja. Buruan!”
“Iya, Ma.”
“Bilangin ke istrimu itu, kalau masih tetap memakai pakaian yang sama dengan Dayinta, mending gak usah turun. Kurung saja dia di kamar dan kunci pintunya dari luar biar tidak membuat masalah. Mama tahu istri keduamu itu pasti tak mau berganti baju, kan?”
Haidar menatap Naya lalu menjawab lemah. “Iya, Ma.”
“Pastikan Naya ganti baju!”
“Iya, Ma.”
“Ya sudah buruan. Mama tunggu kalian di bawah.” Panggilan terputus. Haidar menatap ke arah istrinya.
“Nay, kamu sudah dengar sendiri kan apa yang Mama bilang?” tanya Haidar. Naya bisa tahu karena tadi Haidar mengaktifkan pengeras suara.
“Mamamu itu memang pilih kasih, Mas.”
“Kita bahas itu nanti, ya? Sekarang lebih baik kamu segera ganti baju. Biar Mama tidak semakin marah.”
“Kalau aku tidak mau?”
“Dengan terpaksa aku menuruti perintah Mama.”
“Tega kamu, Mas.”
“Aku sebenarnya gak tega. Tapi mau gimana lagi? Kamu sendiri juga gak bisa diajak kerja sama.”
“Memangnya aku salah, ya, Mas, kalau aku juga ingin terlihat cantik seperti Dayinta?” rajuk Naya dengan suaranya yang mendayu.
“Tentu saja tidak, Sayang.”
“Kalau begitu biarkan aku tetap memakai gaun ini, Mas. Aku merasa diriku sangat cantik jika memakai gaun ini.”
“Naya, pakai gaun apa pun kamu tetap terlihat sangat cantik. Gak harus menyamai Dayinta.”
“Tapi aku merasa beda jika memakai gaun ini, Mas. Tolong, ya, Mas! Biarkan aku tetap memakai gaun ini.”
“Tapi bagaimana dengan Mama? Mama gak mau kamu dan Dayinta memakai gaun yang sama.”
“Kamu suruh saja Dayinta yang ganti baju. Beres, kan?”
Haidar berpikir sebentar. Ini benar-benar pilihan yang sulit. Jika dia menyuruh Dayinta ganti baju, bisa dipastikan jika istri pertamanya itu akan sangat marah padanya.
“Gimana, Mas?”
“Nanti Dayinta pasti marah, Nay. Kamu saja yang ganti baju, ya?”
Bibir Naya mengerucut. “Gak mau. Aku tetap ingin pakai gaun merah ini.”
“Jangan keras kepala, Nay. Ini demi keluarga kita. Sekarang kamu ganti baju, ya?”
“Enggak.”
“Ay–”
Ketukan keras di pintu mengalihkan perhatian Naya dan Haidar.
“Naya, Haidar.”
“Aduh, itu Mama, Nay.” Haidar menjadi panik. Lelaki itu segera membuka pintu kamar.
“Mama.”
“Mana Naya? Apa dia sudah berganti baju?” Ajeng langsung masuk ke dalam kamar.
“Astaga, Naya! Kenapa kamu masih belum juga ganti baju?” tanya Ajeng murka karena melihat menantunya masih memakai gaun yang tadi.
“Aku gak mau ganti baju, Ma. Aku akan tetap memakai gaun ini.”
“Apa kamu sengaja ingin mempermalukan Mama, mempermalukan keluarga kita?”
“Apa masalahnya aku dan Dayinta memakai pakaian yang sama, Ma? Banyak keluarga konglomerat lain yang malah mereka memakai seragam keluarga saat ada acara.”
“Naya, jaga bicaramu! Jangan samakan keluarga Joyodiningrat dengan keluarga lain. Kami punya aturan sendiri.”
Naya melengos menatap suaminya yang kebingungan. Dia meminta dukungan dan juga pembelaan dari suaminya itu.
“Ma, tolong biarkan Naya tetap memakai gaunnya ini, Ma. Gak masalah meski Dayinta dan Naya memakai pakaian yang sama. Lagian, mereka kan juga sama-sama istriku, Ma. Jadi bagus ‘kan kalau kedua pendampingku memakai pakaian yang sama. Apalagi saat nanti kita berfoto bersama, akan terlihat sangat jelas jika kedua wanita cantik itu adalah istriku.”
“Gak bisa. Naya harus tetap berganti baju.”
“Baiklah, tolong beri aku waktu untuk membujuk Naya, Ma. Kalian naik panggung lah lebih dulu, tidak perlu menungguku.”
“Yang benar saja, Haidar? Bagaimana mungkin kamu membiarkan Dayinta naik sendirian tanpa suaminya? Kamu pikir Dayinta itu janda?”
“Baiklah baiklah, tolong beri aku waktu sepuluh menit. Aku akan membujuk Naya untuk berganti baju.”
“Oke, sepuluh menit. Tidak lebih.” Ajeng lalu keluar dari kamar Naya. Haidar menghela napas lega. Tapi sedetik kemudian wajahnya kembali gusar. Karena dia tahu akan sangat susah membujuk istrinya tersebut.