Ghavin yang baru saja selesai menelpon mamanya berniat untuk kembali ke ruang tamu. Namun begitu berbalik, dirinya terkejut karena mendapati bibinya sudah berdiri di hadapannya.
“Bi– Bibi? Apa Bibi sudah lama berdiri di sini?”
“Iya, Vin.”
“Apa Bibi juga mendengar pembicaraanku dengan Mama?”
“Iya. Bibi rasa apa yang mamamu katakan itu benar. Kamu tidak akan nyaman berada di sini.” Raut wajah Farida tampak sedih. Matanya pun berkaca-kaca.
“Apa Bibi marah atas perkataan mamaku?”
“Untuk apa Bibi marah? Yang dikatakan mamamu itu memang benar, Vin.”
“Bibi, aku minta maaf atas nama mamaku.” Ghavin meraih kedua tangan Farida dan menggenggamnya erat. Raut wajah tak enak hati tersirat jelas di wajah lelaki itu.
“Bibi gak apa-apa, Vin. Kamu tak usah khawatir.”
“Tapi–”
“Sungguh, Bibi beneran gak apa-apa. Sekarang kamu kemasi barang-barangmu. Biar Sasa yang mengantarkanmu ke hotel.”
“Tidak, Bi. Aku tidak akan pergi.”
“Ghavin, nanti mamamu marah kalau kamu tidak pergi.”
“Bibi, dengarkan aku.” Ghavin meraih pundak bibinya. “Memang benar kamar hotel yang sudah dipesan oleh mamaku tidak boleh disia-siakan. Tapi Bibi jangan khawatir. Nanti biar koperku saja yang menempati kamar hotel tersebut, sedang aku akan tetap berada di sini, tinggal bareng dengan Bibi. Bagaimana? Apa Bibi senang?”
Farida menatap keponakannya tak percaya. Air mata menetes membasahi pipinya. Lalu setelahnya ia tertawa bahagia. Keponakannya itu memang paling pandai membuat hati orang gembira. Meski caranya terlihat nakal.
“Kamu memang bandel, Vin. Kalau mamamu sampai tahu, bisa dimarahi kamu.”
“Tenang saja, Bi. Mama gak akan pernah bisa marah lama padaku. Dia itu sangat memanjakanku. Iya kalau Papa, marahnya bisa lama dan gak main-main.”
“Hahaha, dasar. Ya sudah, ayo masuk. Malam sebentar lagi datang.” Ghavin dan Farida masuk ke dalam rumah sambil berangkulan seperti ibu dan anak.
***
Malam pesta kembang api telah tiba, Sasa bersiap untuk pergi bertemu dengan Zafran. Farida dan Ahmad mengizinkan asal perginya ditemani oleh Lala dan Ghavin. Meski sebenarnya keberatan karena harus ada Ghavin, Sasa terpaksa menyetujuinya. Daripada acara kencannya batal.
Sasa memakai gaun terbaiknya, dengan rambut panjang yang terurai, gadis itu terlihat sangat cantik dan mempesona.
“Waahh, Kakak cantik sekali!” puji Lala begitu Sasa keluar dari kamarnya. Ghavin yang sedang duduk di ruang tamu mulutnya sampai terbuka saking terpesonanya.
‘Ya Tuhan, kenapa dia cantik sekali? Apa benar dia Sasa? Atau bidadari yang kesasar di bumi?’
Ghavin menepuk pipinya agak keras. “Aku mikir apaan, sih?”
“Ayo berangkat,” ajak Sasa.
“Ayo, Kak,” jawab Lala.
“Kita pamitan dulu sama Bapak dan Ibu,” ajak Sasa lagi.
Lala dan Sasa pergi ke ruang tengah untuk berpamitan pada orang tua mereka. Sedang Ghavin tetap menunggu di ruang tamu.
“Hati-hati. Jangan pulang terlalu malam,” pesan Farida. Meski ada Ghavin yang menjaga putri-putrinya, tapi tetap saja yang namanya orang tua merasa khawatir.
Farida ikut keluar. “Ghavin, Bibi titip Sasa sama Lala, ya?”
“Iya, Bi.”
“Jangan pulang malam-malam.”
“Tenang saja, Bi. Aku pasti akan menjaga mereka.”
“Iya, Vin. Bibi percaya padamu.”
“Ayo berangkat.” Ghavin berjalan mendahului Sasa dan Lala.
“Kak Ghavin, memangnya Kakak tahu di mana tempat pesta krmbang apinya?” tanya Lala.
“Tahu, dong. Kan tadi siang aku sudah pergi ke sana untuk melihat lokasinya.”
“Waahh, Kak Ghavin memang hebat,” puji Lala antusias. Sasa memutar mata jengah.
“Dih, gitu aja dipuji. Siapa pun juga bisa melakukannya.”
“Iri bilang, Bos,” sahut Ghavin.
“Siapa juga yang iri? Cuman dipuji gitu aja.”
Mereka bertiga sengaja berjalan kaki. Tempat pesta kembang api tak terlalu jauh dari rumah mereka. Jika naik kendaraan, yang ada nanti malah kesulitan lewat karena terjebak macet.
Sesampainya di tempat tujuan, Sasa segera mencari Zafran mereka sudah janjian akan bertemu di dekat air mancur. Setelah beberapa lama mencari, Sasa bisa melihat sosok Zafran yang melambaikan tangan padanya.
Sasa segera menghampiri. “Sudah lama menunggu?”
“Enggak, baru saja nyampek.”
“Syukurlah. Aku pikir aku sudah terlambat.”
“Hahaha, kamu sama sekali tidak terlambat. Yang ada kita malah yang terlalu cepat datang. Kita janji ketemu pukul tujuh tepat, tapi lihat! Jamku masih menunjukkan pukul setengah tujuh.”
Sasa tersipu malu. Ketahuan sekali jika dia sangat antusias dengan pertemuan ini.
“Tak perlu malu, aku juga sama denganmu. Sangat tak sabar ingin segera berjumpa.” Zafran melemparkan senyumnya. Hati Sasa terasa meleleh. Senyum Zafran manis sekali.
“Sa.”
“Iya.”
“Kamu cantik sekali malam ini. Beruntung sekali aku yang bisa menikahimu nanti.” Zafran menyilakan anak rambut Sasa ke belakang telinga. Sasa makin dibuat salah tingkah karenanya.
Beruntung suasana tampak temaram, jika tidak, Sasa pasti akan merasa lebih malu lagi karena pipinya yang memerah akan kelihatan.
Lala dan Ghavin berdiri tak jauh dari tempat Sasa dan Zafran berada. Mereka terus menatap ke arah pasangan sejoli yang baru saling suka itu.
“Itu, ya, tunangannya Sasa?” tanya Ghavin sedikit berteriak di telinga Lala. Pasalnya tempat itu sangatlah ramai pengunjung yang ingin melihat pesta kembang api.
“Iya, Kak. Namanya Kak Zafran. Orangnya sangat tampan dan baik. Dia salah satu orang terkaya di desa kami.”
“Beruntung sekali kakakmu dilamar orang kaya. Padahal wajah kakakmu itu gak cantik.”
“Hei, pacarnya kuntilanak! Bisa-bisanya kamu bilang aku gak cantik. Matamu itu buta, ya?”
“Dasar hantu, gak ada suara gak ada apa, tahu-tahu muncul aja. Suka bikin orang jantungan.”
“Iya, nih, Kak Sasa. Tanpa suara tiba-tiba saja hadir.”
“Heh kalian berdua, bukan aku yang tiba-tiba saja hadir. Tapi kalian yang terlalu asyik bisik-bisik sampai gak tahu kalau aku datang ke mari.” Sasa tak mau disalahkan.
“Udah kencannya, Kak?” tanya Lala.
“Iya. Dia ditelepon ibunya disuruh pulang. Ada tamu penting katanya,” jawab Sasa lemah.
“Ish, gak asik banget, sih? Anak mama,” cibir Ghavin.
“Malah bagus yang begitu. Dia anak yang baik dan berbakti karena nurut sama ibunya. Sudah pasti cowok yang kayak begitu itu pasti akan sayang sama istrinya juga.”
“Dasar naif. Justru cowok yang terlalu nurut sama ibunya itu yang bahaya. Iya kalau ibunya baik, kalau enggak, bisa menderita seumur hidup kamu.”
“Menderita seumur hidup itu kalau kamu suaminya. Kalau Zafran aku jamin siapa pun yang jadi istrinya pasti akan bahagia.”
“Terserahlah. Dibilangin ngeyel.”
Tepat pukul sepuluh pesta kembang api dimulai. Semua orang bersorak-sorai menyaksikan indahnya kembang api yang meledak di angkasa.
“Ya Tuhan, bagus sekali.” Ghavin yang biasanya tak peduli akan hal seperti ini jadi ikutan takjub. Motif kembang api yang terbentuk di angkasa benar-benar sangat indah.
Di luar negeri banyak kembang api yang jauh lebih bagus daripada ini. Tapi Ghavin merasa jika di sini terasa lebih istimewa.
Selepas pelepasan kembang api, Sasa, Lala dan Ghavin memutuskan untuk pulang. Mereka sudah berjanji pada Farida jika akan pulang cepat.
Namun, di tengah perjalanan, sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan ketiganya. Pintu terbuka, dua orang bertopeng turun dari dalam mobil tersebut lalu menarik tangan Sasa dan memaksanya masuk ke dalam mobil. Ghavin yang tak sempat mencegah karena kejadiannya berlangsung sangat cepat segera berlari mengejar mobil tersebut.