Langit mulai menghitam yang menandakan matahari telah terbenam. Siang pun berganti menjadi malam. Clara masih bersimpuh di lantai ruang kerja ayahnya dengan berbagai beban di pikirannya. Menyadari terlalu lama dia berdiam diri, akhirnya dia menyadari bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerima kenyataan ini.
Dia melangkah menuju kamar. Dia kemas beberapa pakaian dan memasukannya ke dalam sebuah ransel. Ya, dia telah memutuskan untuk menuruti keinginan ayahnya yaitu pergi meninggalkan rumah ini.
Setelah membawa serta semua barang yang diperlukan, dia pun menuju dapur untuk membawa Cliff bersamanya.
Hatinya berdenyut nyeri ketika dilihatnya kondisi Cliff yang masih dalam keadaan terikat seperti terakhir kali dia melihatnya tadi siang. Beberapa pegawai ayahnya masih menjaganya dengan ketat. Sedangkan Cliff sendiri tengah menundukan kepala tanpa melakukan gerakan apa pun.
Para pegawai itu terhenyak ketika melihat sosok Clara memasuki dapur. Tanpa kata dia berjongkok di hadapan Cliff dan mencoba melepaskan tali yang mengikat tubuhnya.
“Apa yang anda lakukan, Nona?” Salah seorang dari pegawai itu tampak heran sekaligus terkejut melihat tindakan Clara yang melepas tali yang mengikat Cliff tanpa seizin mereka. Clara tak mengatakan apa pun, dia tetap melepaskan tali yang mengikat putranya.
“Anda tidak boleh melepaskan tali itu, ini perintah dari Tuan Besar.”
“Aku dan putraku akan meninggalkan desa ini. Itulah yang diinginkan ayahku.” Hanya jawaban itu yang diberikan Clara. Dia tetap fokus melepaskan tali bahkan dia mengabaikan Cliff yang tengah menatapnya intens.
“Hei, tanyakan ini pada Tuan Besar,” titah salah seorang pegawai pada pegawai Harry yang lain, yang tentu langsung dituruti. Clara sudah berhasil melepaskan ikatan tali yang mengikat Cliff, namun mereka masih belum bisa meninggalkan rumah karena para pegawai Harry itu sama sekali tidak mengizinkan mereka pergi dan terus menghalangi jalan mereka.
“Tuan Besar menyuruh kita untuk membiarkan mereka pergi.” Barulah setelah kalimat itu terucap dari pegawai yang tadi menemui Harry, akhirnya Clara dan Cliff bisa melangkahkan kaki mereka meninggalkan rumah megah kediaman keluarga Huston.
Ketika mereka sudah berada di luar rumah, Clara menghentikan langkah dan sejenak menatap rumah megah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya bersama kedua orangtuanya. Banyak kenangan indah di dalam rumah itu yang ketika mengingatnya membuat air mata Clara menetes dengan sendirinya.
“Ibu kenapa menangis?” Clara segera menghapus air mata dengan jari-jari tangan ketika mendengar pertanyaan putranya. Dia menatap putranya dan tersenyum tipis tanpa mengatakan apa pun padanya. Dia menggenggam tangan Cliff erat dan membawanya pergi dari area rumah itu.
“Bu, kenapa kita tidak kembali ke pondok kita?”
“Mulai hari ini pondok itu bukan lagi tempat tinggal kita.” Cliff terhenyak mendengarnya tapi dia memutuskan untuk tidak banyak bertanya dan memilih mengikuti ke mana pun ibunya itu membawanya pergi.
Langkah demi langkah mereka arungi dalam kesunyian karena tak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah gubuk kecil yang terlihat tua dan tidak terawat. Tanpa ragu Clara membuka pintu gubuk itu yang memang dalam keadaan tidak terkunci. Clara masuk ke dalam gubuk mengabaikan keadaan gubuk itu yang kotor, penuh debu serta dipenuhi sarang laba-laba. Cliff tertegun di depan pintu, dia menatap heran ibunya yang berjalan mantap memasuki gubuk yang tidak layak untuk dihuni menurut Cliff.
Sedangkan bagi Clara, dia tidak mungkin melupakan gubuk ini karena tempat inilah yang menjadi saksi bisu awal dari penderitaannya. Meski saat itu Clara kehilangan kesadaran, tapi dia sangat yakin bahwa pria yang telah menodainyalah yang membawanya ke dalam gubuk ini. Clara duduk di lantai dan menyandarkan tubuh ke dinding. Tatapannya tampak kosong, tak ada semangat untuk melanjutkan hidup sama sekali.
Cliff memasuki gubuk itu dengan menutup hidung, dia hanya tidak tahan mencium aroma pengap khas tempat berdebu yang menurutnya membuat indera penciumannya tidak nyaman.
“Bu, apa kita akan tinggal di sini?” Tanya Cliff setelah berdiri tepat di hadapan Clara.
“Ya,” jawab Clara singkat tanpa menatap ke arah Cliff.
Cliff mengedarkan tatapan ke segala penjuru ruangan. Bagi Cliff ruangan itu jauh lebih menyedihkan dibandingkan pondoknya. Ruangan ini lebih kecil dan sempit dibandingkan tempat tinggalnya dulu. Tidak ada kamar mandi bahkan tempat tidur pun tidak ada. Hanya ada sebuah meja di dalam ruangan ini, tidak ada benda apa pun lagi selain itu.
“Bagaimana mungkin kita bisa tinggal di tempat seperti ini? Lagi pula, tempat ini sangat kotor.”
“Tidak ada tempat lain lagi yang bisa kita jadikan tempat tinggal selain tempat ini. Ruangan yang kotor ini bisa kita bersihkan.” Cliff mengernyit tak suka mendengar jawaban ibunya. Sang ibu bahkan berbicara tanpa menatapnya sedikit pun.
“Aku tidak mau tinggal di sini!!” teriaknya yang membuat Clara mendongak menatap Cliff detik itu juga. Clara menggertakan gigi tampak kesal mendengar teriakan putranya. Dia bangun dari posisi duduk dan kedua mata mereka kini saling berpandangan.
“Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi anak yang manja. Kita harus tinggal di sini karena kita sudah tidak punya rumah!!” Clara kehilangan kendali atas dirinya, dia bahkan tak peduli meski harus membentak Cliff. Merasa tidak terima dimarahi oleh ibunya, Cliff pun mulai tersulut emosi.
“Kita bisa pergi ke tempat ayahku, kan? Sebenarnya di mana ayahku? Aku akan menemuinya.”
“Berapa kali sudah ibu katakan padamu. Jangan pernah membahas tentang dia!!” bentak Clara lagi. Bayangan pria yang menjadi penyebab semua penderitaannya ini membuat amarahnya semakin memuncak. Tak dipungkirinya, dia memang sangat membenci pria itu. Pria yang bahkan belum pernah dia lihat wajahnya tapi dengan berani dia memberikan semua penderitaan ini padanya. Kira-kira begitulah yang ada di benak Clara saat ini. Kebenciannya pada ayah Cliff begitu besar dan seumur hidupnya dia tidak akan pernah memaafkan pria itu.
“Kenapa ibu selalu menolak untuk membahas tentangnya? Aku berhak mengetahui siapa ayahku. Tidak mungkin aku tidak memiliki seorang ayah, kan, Bu? Aku mohon beritahu siapa ayahku?” Clara menutup telinga dengan kedua tangan serapat mungkin. Dia tidak tahan lagi mendengar Cliff yang terus menanyakan pria yang dibencinya itu.
“Ibu!!”
“Cukup, Cliff! Jangan membicarakan lagi tentangnya. Ibu sangat membencinya, dia adalah pria yang menyebabkan semua penderitaan ini. Jangan lagi menyebut tentang pria brengsek itu. Kau paham, kan?!!” Cliff membelalak tak percaya mendengar ucapan ibunya. Baru kali ini dia mendengar bahwa ibunya itu sangat membenci ayahnya. Cliff bertanya-tanya di dalam hati, memangnya apa yang sudah dilakukan ayahnya hingga ibunya begitu membencinya seperti ini?
“Jangan menanyakan tentang ayahmu lagi, anggap saja dia sudah mati!!” Cliff mengepalkan tangan erat, dia sungguh marah mendengar perkataan ibunya ini.
“Ibu egois. Ibu hanya memikirkan diri sendiri. Ibu tidak pernah memikirkan perasaanku sedikitpun.” Cliff berlari meninggalkan Clara setelah kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Tanpa dia ketahui, kata-katanya itu sangat menyakiti hati Clara. Clara merasa tubuhnya sangat lemas hingga membuatnya jatuh terduduk.
Entah untuk keberapa kalinya dia menangis karena ulah pria yang menurutnya brengsek itu, dan kini dia kembali menangis karenanya. Sekarang Clara merasa hidupnya benar-benar hancur terutama karena tidak ada lagi sosok ibunya yang akan menguatkannya seperti dulu. Sikap Cliff yang mulai membangkang pun tak ayal membuatnya semakin frustasi. Tapi lebih dari itu semua, Clara tidak tahu lagi bagaimana cara untuk membesarkan Cliff. Dia sudah tidak bisa lagi membawakan darah hewan untuk Cliff. Clara benar-benar putus asa sekarang, dia bahkan mulai memikirkan mungkin saja kelak dia akan mati di tangan putranya sendiri karena dia akan dijadikan santapan olehnya. Berlebihan memang tapi itulah yang ditakutkan Clara saat ini. Pemikiran itu memenuhi kepalanya, dia merasa telah sepenuhnya kehilangan semangat untuk melanjutkan hidup.
Dia menatap ke arah ransel yang tergeletak tidak jauh darinya. Dia raih ransel itu dan mengambil sebuah benda yang selalu dibawanya. Sebuah gunting kecil namun cukup tajam kini berada dalam genggamannya. Gunting itu biasanya dia pakai untuk memotong benang jika dia sedang merajut pakaian untuk Cliff. Selama ini untuk mengisi waktu luang, dia selalu membuatkan pakaian untuk Cliff dengan tangannya sendiri.
Entah apa yang direncanakan Clara tapi kini dia meraih buku kecil dari dalam ransel beserta sebuah bolpoin. Terlihat dia menuliskan sesuatu di secarik kertas. Setelah selesai, dia meletakkan kertas itu tidak jauh darinya. Kini atensinya kembali pada gunting kecil yang sudah berada di dalam genggamannya lagi.
“Ibu, maafkan aku. Aku tidak bisa meneruskan hidupku ini. Kepergianmu membuatku rapuh,” gumamnya pelan dengan air mata yang sudah menganak sungai di wajahnya. Dia menempelkan bagian paling tajam pada gunting itu tepat di atas urat nadi tangannya. Dia sempat ragu untuk melakukan hal bodoh ini ketika wajah Cliff berkelebat di benaknya. Tak dipungkirinya betapa dia sangat menyayangi putranya. Dia tentu tidak tega jika harus meninggalkan putranya hidup sebatang kara di dunia ini. Tapi secara bersamaan, dia pun tidak tahu lagi harus membesarkan Cliff dengan cara apa. Bayangan wajah Cliff memudar dan digantikan dengan semua ingatan kelam di dalam hidupnya.
Dia mengingat bayangan pria di hutan terlarang, tidak lain pria yang memberikan semua penderitaan ini padanya. Dia pun mengingat kebencian Maxy padanya, pernikahan mereka yang gagal serta semua kata-kata hinaan yang pernah dilontarkan Maxy padanya. Dia pun mengingat peristiwa ketika warga Desa Tussand mengabaikannya, menganggapnya tidak ada dan bukan bagian dari warga desa. Yang paling menyakitkan baginya adalah ketika mengingat kemarahan ayahnya hingga dengan kejam dia mengusirnya seperti ini. Terakhir yang membuat Clara memantapkan untuk melakukan tindakan gila ini, ketika dia mengingat melihat jenazah ibunya. Mengingat sumber kekuatan yang membuatnya sanggup bertahan menjalani kehidupan, kini sudah tidak ada lagi di dunia ini.
“Ibu, aku akan menyusulmu,” gumamnya lirih, lalu akhirnya dia mengiris urat nadinya dengan gunting itu, tangannya robek dan darah mengalir dengan deras. Seketika Clara merasakan sakit dan perih yang tak terkira tapi baginya rasa sakit itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sakit di dalam hatinya.
Sedangkan di luar gubuk, Cliff yang sejak tadi berjongkok dengan isakan tangis bangkit berdiri ketika mencium bau anyir darah. Namun, dia yakin bau itu berasal dari dalam gubuk. Dia bergegas masuk ke dalam gubuk dan betapa terkejutnya dia ketika melihat tangan ibunya yang berlumuran darah. Seketika dia merasakan hasrat yang kuat untuk menghisap habis darah itu. Beruntung akal sehatnya masih mampu meredam keinginannya untuk meminum darah itu. Dia tahu betul ibunya berada dalam bahaya saat ini. Dengan susah payah Cliff mencoba mendekati ibunya, walau bagaimana pun bau anyir darah itu sangat menyiksanya.
“I-Ibu … apa yang terjadi? Kenapa tangan ibu berdarah?” Tidak ada jawaban dari Clara, tapi Cliff bisa menebak apa yang terjadi ketika dia melihat gunting yang berada di dalam genggaman ibunya.
“Kenapa ibu melakukan ini? Ibu ingin meninggalkanku?” Sebenarnya Clara ingin mengatakan banyak hal pada Cliff tapi banyaknya darah yang keluar dari urat nadi membuatnya mulai kesulitan bernapas. Dia bahkan merasa tubuhnya sangat lemas dan kehilangan semua tanaganya. Dengan susah payah Clara menunjuk ke arah secarik kertas yang tergeletak di lantai. Menyadari isyarat dari ibunya itu, Cliff pun mengambil kertas itu dan membaca tulisan yang tertera di sana.
Cliff … maafkan ibu. Ibu tidak bisa menemanimu lagi. Ibu merasa telah gagal mendidikmu, ibu telah gagal menjadi ibu yang baik untukmu. Kau benar, ibu sangat egois selama ini. Ibu hanya memikirkan diri sendiri dan mengabaikan perasaanmu. Maafkan ibu, Nak. Mungkin banyak alasan yang membuatmu tidak mempercayai ibu lagi, ibu memahaminya. Tapi satu hal yang harus kau percaya, ibu sangat menyayangimu.
Kau selalu bertanya tentang ayahmu, maaf karena ibu tidak pernah menceritakan tentangnya padamu. Jika kau ingin bertemu dengan ayahmu, pergilah ke hutan yang berada di dekat gubuk ini. Kau akan bertemu dengan ayahmu di sana.
Sekali lagi maafkan ibu, ibu sangat menyayangimu sepenuh hati ibu.
Air mata Cliff mengalir deras membaca tulisan itu atau bisa dikatakan tulisan yang dibacanya adalah pesan terakhir dari ibunya.
“Ibu, maafkan aku. Aku juga menyayangimu.” Cliff menghamburkan diri dalam pelukan Clara. Bau anyir darah ibunya yang menyiksa pun, dia hiraukan. Dia hanya ingin memberitahu sang ibu bahwa dia sangat menyayanginya.
Melihat kedua mata ibunya yang terpejam dengan napas yang terengah, Cliff merasakan ketakutan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Dia sadar tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan ibunya. Yang bisa dilakukannya hanyalah meminta bantuan pada orang lain untuk menyelamatkan ibunya. Tanpa pikir panjang lagi, Cliff berlari meninggalkan gubuk.
Ketika dia melihat hutan yang dimaksud sang ibu dalam tulisannya, tanpa ragu Cliff berlari sekencang yang dia bisa memasuki hutan yang tidak lain merupakan hutan terlarang. Harapannya hanyalah dia bisa bertemu dengan seseorang yang bisa menyelamatkan ibunya.
Ketika dia telah berada di dalam hutan, dia masih berlari dengan tatapan yang berkeliling menatap sekitar. Meski keadaan hutan ini sangat gelap tapi beruntung kedua matanya masih bisa melihat keadaan di sekeliling.
“Tolong! Siapa pun tolong aku!!!” teriaknya kencang sekali. Keadaan hutan yang memang sepi itu, membuat suara teriakan Cliff terdengar menggema di dalam hutan.
“Aku mohon siapa pun tolong aku. Selamatkan ibuku!!!” Dia terus berlari sambil berteriak. Sejauh matanya memandang tidak ada seorang pun di dalam hutan itu. Tapi dia tidak ingin menyerah, dia tetap yakin bahwa dia akan bertemu seseorang di dalam hutan yang mampu menyelamatkan nyawa ibunya.
“TOLONG AKU!!!!!” Teriakannya paling kencang itu benar-benar nyaring memenuhi hutan. Dia berhenti berlari, berusaha mengatur napas yang terengah. Lalu dia terlonjak ketika merasakan angin berhembus dingin menerpa kulitnya. Bersamaan dengan itu, matanya menangkap sesuatu bergerak dengan cepat. Tapi dia tidak tahu apa itu karena matanya tidak mampu menangkap dengan jelas sesuatu yang bergerak dengan cepat tadi.
“Apa yang dilakukan bocah sepertimu sendirian di dalam hutan?”
Sebuah suara tertangkap telinga Cliff, dia mendongak ke arah pohon yang tepat berada di belakangnya. Kedua matanya membulat sempurna ketika dia melihat sosok seseorang sedang duduk di atas salah satu cabang dengan punggungnya bersandar manis pada batang pohon. Kegelapan di dalam hutan itu membuat Cliff tidak bisa melihat sosok orang itu dengan jelas, hanya kedua mata sosok itu yang menyala berwarna merah yang bisa dilihatnya dengan jelas.
Wusshhh
Orang itu turun dengan cepat dari atas pohon dan kini berdiri dengan gagah tepat di depan Cliff. Dalam pandangan Cliff, seseorang yang berdiri di depannya itu adalah seorang pria muda yang dia perkirakan berusia sekitar 20 tahunan. Iris mata yang berwarna merah itu entah mengapa mengingatkannya pada dirinya sendiri. Cliff selalu heran ketika melihat pantulan dirinya di cermin, dia heran kenapa iris matanya berbeda dengan ibu maupun neneknya. Tapi kini seorang pria asing berdiri di depannya dengan iris mata yang sama persis dengannya. Mengabaikan rasa penasarannya, akhirnya Cliff merasa memiliki harapan. Dia yakin pria itu bisa menyelamatkan nyawa ibunya.
“Tuan, tolong selamatkan ibuku,” pintanya dengan sendu, sedangkan pria itu tidak mengatakan apa pun. Tatapannya intens tertuju pada Cliff.
“Ibuku berada dalam bahaya. Aku mohon selamatkan dia.” Lagi-lagi pria itu mengabaikan Cliff, tatapannya masih tetap tertuju ke arah Cliff tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Merasa kesal melihat kediaman pria itu, Cliff memberanikan diri untuk memegang erat tangan pria itu. Lalu dia menariknya paksa agar mengikutinya. Beruntung pria itu tidak menolak dan hanya berjalan mengikuti Cliff. Dia bahkan tidak menepis tangan Cliff yang masih erat memegangnya. Cliff mengajaknya berlari dan pria itu hanya diam mengikuti.
Ketika akhirnya mereka tiba di gubuk tempat Clara berada. Cliff langsung menerjang tubuh sang ibu ketika dilihatnya kedua mata ibunya masih terpejam dengan erat. Dia guncangkan tubuh ibunya berkali-kali berharap akan kembali membuka kedua matanya.
Clara yang sudah di detik-detik hembusan napas terakhirnya masih merasakan guncangan yang disebabkan oleh putranya. Suara tangisan pilu putranya pun samar-samar masih bisa dia dengar. Dengan susah payah, dia membuka kedua mata sayunya.
“Ibu lihatlah, aku membawa seseorang bersamaku. Dia akan menyelamatkan ibu. Tuan, tolong lakukan sesuatu untuk menyelamatkan ibuku,” ucap Cliff penuh semangat, dia lega melihat ibunya membuka sedikit matanya. Clara menatap ke arah depan, meski dengan penglihatan yang mulai buram dia masih bisa melihat sosok pria berpakaian serba hitam berdiri tepat di depannya. Dia mengedipkan mata perlahan agar penglihatannya bisa lebih jelas. Ketika tatapannya kini tepat tertuju pada wajah pria itu, Clara tahu betul siapa pria itu.
Di tengah-tengah kesadarannya yang nyaris hilang, ingatan di dalam hutan terlarang 12 tahun silam tiba-tiba berkelebat di kepalanya. Dia ingat sempat melihat sosok pria berpakaian serba hitam saat itu, dan dia yakin pria yang saat ini tengah berdiri di hadapannya adalah pria yang ditemuinya di dalam hutan terlarang. Terutama melihat wajah pria itu yang sangat mirip dengan Cliff membuat Clara semakin yakin bahwa pria itu memanglah pria yang selama ini selalu dibencinya. Pria itu tak mengeluarkan suara, dia hanya menatap Clara dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
Sebenarnya Clara ingin mengungkapkan semua kebenciannya pada pria itu. Namun, di relung hatinya yang terdalam dia merasa lega karena keinginannya untuk melihat wajah pria yang menodainya meski hanya sekali saja, kini menjadi kenyataan. Pria itu sedang berdiri tepat di depan matanya. Dalam pandangan Clara, pria itu sangat tampan dan mempesona. Selain itu, dia terlihat sangat muda jika dibandingkan dirinya. Padahal selama ini dia selalu membayangkan pria itu adalah pria tua mata keranjang yang dengan kejam telah merenggut kesuciannya.
Seharusnya dia memasang wajah penuh amarah pada pria itu, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Clara tersenyum dalam hembusan napas terakhirnya. Sebuah senyuman yang menandakan tidak ada lagi yang dikhawatirkannya. Dia merasa lega karena Cliff sudah bertemu dengan seseorang yang tepat, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkannya. Dia sudah siap meninggalkan putranya.
Cliff terlonjak ketika melihat kedua mata ibunya kembali terpejam, bahkan napasnya yang sejak tadi terlihat lemah kini sudah tidak ada lagi. Menyadari sang ibu telah meninggalkannya untuk selamanya, Cliff memeluk ibunya erat dengan air mata yang sudah menganak sungai di wajahnya.
“Ibu!! Jangan tinggalkan aku. Aku mohon buka matamu!!” teriaknya sambil mengguncang-guncangkan tubuh ibunya kencang. Sedangkan pria yang masih berdiri dengan tenang itu hanya menatap adegan mengharukan antara ibu dan anak itu tanpa melakukan apa pun. Dia melihat secarik kertas tergeletak di lantai, dia mengambil kertas itu dan membaca tulisan yang tertera di sana.
“Apa ibu marah padaku karena aku selalu bertanya tentang ayah? Maafkan aku, Bu. Aku janji tidak akan membicarakan lagi tentangnya jadi aku mohon bukalah matamu. Jangan menghukumku seperti ini. Jangan tinggalkan aku. Aku hanya punya ibu di dunia ini. Jika ibu meninggalkanku, ke mana aku harus pergi?” Cliff semakin terisak, dia tak henti mengguncang tubuh ibunya.
Sedangkan pria itu kini tengah menatap ke arah tangan Clara yang sedang menggenggam sebuah gunting, melihatnya membuat pria itu menyadari apa yang telah dilakukan Clara. Dia memang sengaja mengakhiri hidupnya sendiri.
“Ibu! Bangun, Bu!”
“Ibumu sudah mati,” ucap pria itu akhirnya setelah sejak tadi hanya diam membisu. Cliff menatap nyalang padanya tersirat amarah yang begitu meluap di dalam dirinya.
“Ibuku belum mati, dia hanya sedang tidur. Kenapa Tuan tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan ibuku? Kenapa anda hanya berdiri diam di sana? Padahal aku membawa anda kemari berharap anda bisa menyelamatkan ibuku,” ujar Cliff, dia lontarkan semua kemarahannya pada pria itu.
“Tidak ada yang bisa menghentikan kematian. Ini memang sudah kodratnya,” ucapnya dingin yang membuat Cliff semakin merasa kesal. Mengabaikan kekesalannya, Cliff lebih memilih kembali memeluk ibunya. Namun, Cliff tersentak ketika pria itu tiba-tiba mengangkat tubuh ibunya dan memangkunya.
“A-Apa yang anda lakukan? Turunkan ibuku!!” Pinta Cliff sambil berusaha membebaskan ibunya dari dekapan pria itu.
“Dia sudah mati, kita harus menguburkannya.”
“Tidak!! Biarkan ibuku tetap di sini. Aku akan menjaganya, aku tidak akan pernah meninggalkannya.” Pria itu mengabaikan perkataan Cliff dan mengabaikannya yang terus memberontak berusaha mengambil kembali tubuh ibunya. Dia terus berjalan membawa Clara dalam pangkuannya.
Sedangkan Cliff terus meronta meminta tubuh ibunya diturunkan bahkan ketika pria itu menggali tanah untuk tempat ibunya dimakamkan, Cliff masih setia memeluk ibunya sambil tak henti mengguncang tubuh ibunya. Harapannya masih sama, dia masih berharap ibunya akan kembali membuka kedua matanya.
Cliff kembali histeris ketika pria itu akhirnya memasukan tubuh Clara ke dalam lubang di tanah yang sudah digalinya. Air mata Cliff semakin mengalir deras ketika tanah sedikit demi sedikit menutupi tubuh ibunya hingga membuat tubuh ibunya terkubur sepenuhnya.
“Ibuuuu! Kenapa kau tega meninggalkanku sendirian? Aku tidak tahu ke mana harus pergi sekarang!!” teriaknya dengan tangisan pilu di atas kuburan ibunya.
“Hapus air matamu.” Cliff menoleh dan menatap tajam pemilik suara itu yang tidak lain adalah pria yang dibawanya dari dalam hutan tadi.
“Kenapa aku harus menghapus air mataku? Aku tidak bisa menerima kematian ibuku dan kau jangan ikut campur urusanku!!” Timpal Cliff ketus, dia bahkan tidak mempedulikan sopan santun lagi. Padahal dari buku yang dulu pernah dibacanya, dia harus bersikap sopan di depan orang yang lebih tua darinya. Meski pria di depannya ini terlihat masih muda, tapi Cliff tahu persis dia lebih tua darinya.
“Karena seorang pria tidak boleh meneteskan air mata, itu akan membuatmu terlihat lemah. Berdirilah dan ikut denganku.” Cliff membelalak kali ini, dia mengernyit heran tak mengerti ucapan pria yang menurutnya asing baginya.
“Kenapa aku harus ikut denganmu? Kita tidak memiliki hubungan apa pun.”
“Bukankah selama ini kau mencari ayahmu? Sekarang kau tidak perlu lagi mencarinya karena dia sudah berdiri di depanmu.” Cliff semakin mengernyit heran hingga tanpa sadar dia bangkit berdiri. Dia berjalan menghampiri pria itu sehingga membuatnya kini berhadap-hadapan dengannya.
“A-Apa maksudnya?” tanya Cliff tak mengerti.
“Ayahmu adalah aku. Mulai sekarang kau akan tinggal bersamaku.” Cliff menatap tak percaya pada sosok pria yang mengaku sebagai ayahnya itu, menurutnya hal ini memang sulit dipercaya terutama jika melihat penampilan pria itu yang terlihat masih sangat muda. Meski tak dipungkiri, dalam surat yang ditinggalkan ibunya tadi, ibunya memang mengatakan dia akan bertemu dengan ayahnya jika datang ke hutan.
“M-Mustahil … anda terlihat masih sangat muda. Ayahku seharusnya terlihat lebih tua dari anda.”
“Kita bangsa vampir merupakan makhluk abadi. Penampilan kita akan tetap awet muda seumur hidup kita.” Cliff semakin membelalak. Kata vampir yang diucapkannya jelas belum pernah sekali pun didengar Cliff.
“Vampir … apa itu vampir?”
“Rupanya ibumu benar-benar merahasiakan hal ini darimu. Kita berbeda dengan manusia. Kita bukan makhluk lemah seperti manusia. Kita monster penghisap darah.”
“J-Jadi aku memang bukan manusia?” Pria itu mengangguk dan Cliff tahu betul berarti pemikirannya selama ini bahwa dia bukan manusia seperti ibu dan neneknya adalah suatu kebenaran.
“Siapa namamu?”
“Cliff,” jawab Cliff singkat dengan tatapan yang masih tampak tak mempercayai perkataan pria di hadapannya.
“Mulai hari ini namamu adalah Cliff Dawson. Kau seorang vampir bangsawan karena kau adalah putraku.” Cliff masih diam membisu, dia menatap intens sosok pria yang mengaku sebagai ayahnya ini.
“Hapus air matamu!” titahnya ketika melihat wajah Cliff masih dibanjiri air mata.
“Ibu tidak pernah mengajarkan padaku bahwa seorang pria tidak boleh menangis.”
“Jika selama ini kau mengikuti ajaran ibumu, mulai sekarang ikutilah apa yang diajarkan oleh ayahmu ini.” Kata-kata terakhir yang dilontarkan pria itu sebelum akhirnya dia melangkahkan kakinya meninggalkan Cliff.
Cliff dilanda kebingungan antara harus mempercayai perkataan pria tadi atau mengabaikannya. Dia menoleh dan menatap sejenak makam ibunya seolah meminta saran pada sang ibu. Tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti pria itu. Dia pun memutuskan untuk mempercayai bahwa pria itu adalah sosok ayah yang selama ini ingin ditemuinya.