Irene baru pertama kali mendengar kata ‘suami’ dalam pembicaraannya dengan sang raja. Irene tahu dari awal laki-lai hanya menganggapnya sebagai adik sendiri, dan perlakuan nya pun sama, tak lebih seperti kakak kepada adik. Dirinya juga selaras, menanggap sang raja sebagai kakak. Berbeda dengan Jenna di sana, yang sudah menganggap Irene sebagai anak sendiri.
Dunia keduanya memang aneh.
Namun hal tersebut bukan tanpa alasan, karena dulu Irene baru berusia 15 tahun ketika diangkat oleh sang raja sebagai selirnya.
Selama menjadi selir raja, gadis itu tidak banyak tingkah, apalagi mencari gara-gara dengan Permaisuri ataupun dayang-dayang nya. Malah tingkah nya di istana lebih mencerminkan seperti seorang Putri. Keberadaan nya juga menjadikan Istana Kerajaan Utara terasa lebih indah dan nyaman, karena dari rajin bercocok tanam untuk menghias istana hingga tempat itu tidak lagi menyeramkan seperti rumor-rumor yang tersebar. Jadi peran Irene cukup bermanfaat di sana meskipun tidak seberapa.
Kembali pada dua orang yang kini terlihat sama-sama tegang dan ada dalam lautan kecanggungan.
“Mmm, maksud_” gumam Arjuna gelagapan karena merasa sudah salah berucap.
“Ya maksud ku, aku suami mu! Kan memang suami mu.” Seperti itu lah kira-kira batinnya sekarang.
“Maksud ku, kau minum air nya!” tegas laki-laki itu seraya menyerahkan botol air minum Irene, kemudian dia bangkit dan sedikit menjauh kan diri.
Gadis itu pun meminum air pemberian sang raja dengan wajah memerah. Sedari tadi, jantung nya belum berhenti berdegup kencang.
Apa sekarang dirinya diakui sebagai seorang istri?! Ah, lupakan itu! Dia tidak boleh melupakan tujuan utamanya untuk terus bersenang-senang.
Tak sengaja di depan Irene, di samping keberadaan lubang laknat itu, terlihat sebuah pohon bersama akar merambat yang menjuntai di atas salah satu batangnya. Sepertinya itu bekas tempat raja melakukan penyelematan. Gadis itu mengulum bibir, kagum dengan kecerdasan sang raja.
Sementara tiba-tiba Arjuna merasakan panas di bagian wajah. Jika saja dia tidak membelakangi Irene, pasti wajahnya akan kedapatan memerah oleh gadis itu.
Setelah merasa jantungnya berdetak dengan normal, Arjuna pun kembali menghampiri Irene, kemudian duduk di samping gadis itu seperti sebelumnya.
“Bagaimana? Kau sudah lebih baik sekarang?”
Berbeda dengan Arjuna. Irene masih ada dalam kecanggungan, sejenak otaknya telmi mendengar pertanyaan sang raja.
“Ya Yang Mulia. Terimakasih!”balas gadis itu seraya mengangguk-mengangguk kecil, kemudian minum air lagi.
Setelah air itu tertelan, Irene membuka suara. “Kira-kira apa ya yang sedang dilakukan Kasim Fuu sekarang?”
Sebenarnya pertanyaan acak itu Irene buat untuk menghilangkan rasa canggung nya, meskipun dalam lubuk hati yang paling dalam, entah mengapa dirinya merasa senang dengan perkataan sang raja beberapa saat yang lalu.
Arjuna tertawa mendengar pertanyaan sang selir.
“Kenapa?! Kau merindukan nya?!” tanyanya sambil tertawa, terbahak-bahak.
Raut wajah Irene seolah tak terima setelah mendengarnya.
“Tidak! Aku tidak merindukan nya.” Raut wajah Irene masih ditekuk.”Aku hanya ingin memastikan kegiatan nya saja. Apa dia tidak bosan menunggu di sana?! Mmm, cari buah-buahan mungkin, bakar ikan, menyulam, ternak lele, ternak kudanil.”
Arjuna tak kuasa menghentikan tawanya mendengar ucapan sang selir. Bahkan tawanya semakin menggelegar setelah mengingat wajah Irene yang begitu polos sambil bilang ‘Ternak kudanil’.
Irene beralih menatap aneh sang raja yang kini tengah menertawakannya. Entah laki-laki itu menertawakannya atau menertawakan sang kasim di sana, dia tidak peduli. Yang pasti dirinya senang karena sekarang suasananya tidak canggung lagi.
Irene menatap ke depan seraya menghabiskan ratusan tetes air yang tersisa di botol, membiarkan sang raja yang sepertinya tengah berbahagia di sana. Dirinya berpikir,”Apa raja sudah tidak tertawa selama lima tahun? Tawanya lama sekali, astaga.”
Tiba-tiba semilir angin halus beraroma daun mint menghinggapi indra penciumannya. Dia menoleh ke samping, ternyata di sana sang memperhatikannya dari jarak yang sangat dekat.
Irene menelan ludah seraya berpikir,”Apa itu sedari tadi?! Perasaan laki-laki ini tadi sibuk tertawa.”
Tanpa Irene sadari, tiba-tiba pipinya yang mulai memerah seperti dalaman buah jambu biji ketika wajah sang raja semakin mendekatinya.
“Siapa kau sebenarnya?! Kau putri, kan?! Atau tukang lawak?!Kau siapa, hm?”
Tak tahu apa Irene harus tertawa atau malah terbawa perasaan, rasanya pertanyaan itu cukup membingungkan untuk hatinya yang kini terbawa perasaan.
“Aku adalah Putri dari kerajaan Kerajaan Barat Daya kemudian menjadi Selir Utama dari Kerajaan Utara. Mmm, aku juga jago berkuda dan memanah!” jawabnya dengan merubah suara seperti hantu. Tidak ada ekspresi menyombongkan diri setelah itu.
Arjuna menarik sudut bibirnya, kemudian mengacak-acak rambut gadis itu gemas, sekaligus bangga.
Tidak ada perasaan yang berlebih saat raja melakukan hal tersebut, hanya rasa senang yang normal. Karena bagi Irene, itu sudah biasa
“Baiklah! Bagaimana sekarang? Mau dilanjutkan atau pulang ke tenda,” tanya Arjuna seraya membangkitkan diri.
“Tentu saja melanjutkan Yang Mulia. Aku tak ingin perjalanan ini sia-sia, “balas Irene di akhiri dengan senyuman, “Aku tidak ingin ternak lele seperti Kasim!” lanjutnya bermaksud bercanda.
Arjuna tertawa kecil, ingin sekali dia mengusap-ngusap wajah gadis itu karena gemas.
Keberuntungan ada di pihak Arjuna dan Irene. Ketika keduanya sedang berjalan tak jauh dari lubang laknat itu, seekor harimau menyambut indra penglihatan mereka.
“Beruntung sekali malam ini,”
gumam Arjuna.
Melihat hewan itu saja sudah merasa puas, apalagi sampai berhasil menangkapnya, itu lebih akan lebih memuaskan sang raja.
“Di balik kesialan pasti ada keberuntungan, ” bisik Irene menanggapi. Padahal kalimat itu tidak bermaksud dibuat olehnya untuk aksi humor, tapi dia mendengar tawa kecil di samping.
“Berhenti bercanda!” ucap Arjuna sambil perlahan mengangkat busur beserta anak panah.
Sebelah alis milik Irene terangkat. Ingin sekali Irene protes karena dirinya tidak merasa senang bercanda seperti yang dikatakan oleh sang raja. Apa salahnya coba sampai harus diingatkan seperti tadi? Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan aksi demo.
Tanpa berlama-lama, Irene pun segera ikut berancang-ancang.
“Berhenti! Gunakan busur besi di punggung ku!” perintah Arjuna yang seketika membuat tangan Irene terhenti.
Irene berpikir,”Ini bukan waktu untuk bertanya apalagi protes. Di sini raja yang memimpin pemburuan. Jadi, sebagai anak buah yang sudah sepatutnya mengikuti instruksi dari pemimpin.”
Dia pun perlahan menaikkan busur dan menarik anak panah yang telah diambil dari kantung sang raja.
“Targetkan anak panah mu ke lehernya. Tancapkan dengan kuat dengan posisi tegak lurus. Tapi sisakan minimal setengah dari panjang anak panah mu itu.”
Ini berburu apa matematika?! Namun untung saja Irene cukup pintar memahami perintah itu, hanya saja, dirinya masih ragu untuk memulai.
Seakan mampu membaca pikiran Irene, Arjuna berbisik, “Jangan takut gagal. Percaya diri lah! Jika pun gagal, aku tidak akan memarahi mu! Aku akan memberi aba-aba!”
Meskipun Irene belum percaya diri sepenuhnya, tapi dia bertekad untuk melakukan yang terbaik.
“Satu, dua, tiga!”
Jleb!