Di dalam busway, Eya duduk sambil terus memandangi ponselnya dan mengetikkan sesuatu. Untungnya hari ini bus tidak penuh dengan orang hamil, bawa anak kecil, dan lansia. Jadi dirinya bisa duduk bebas di bus tanpa adanya pengertian harus berdiri demi orang-orang tersebut. Dalam chat tersebut, terdapat beberapa pesan dari Ataka yang ingin dijelaskan secara detail jalan dan juga arahan yang pas untuk menuju desa Kunir.
Bukan hanya itu, Ia juga harus mengabari sang kekasih yang bertanya tentang di mana lokasi Ia ditempatkan KKN. Ya, Eya memang sudah mempunyai kekasih, maka dari itu dirinya harus mengabarinya supaya nanti bisa mampir ketika masa-masa KKN untuk melepas kerinduan satu sama lainnya, toh pacar Eya rumahnya juga di Semarang. Eya hanya mengetikkan bahwa dirinya melakukan KKN di kecamatan Kluwih, desa Kunir yang bisa ditempuh hanya dengan satu jam perjalanan jika dengan menggunakan motor, jika naik busway akan ditempuh dalam jangka waktu 2 jam karena bus biasanya harus berputar-putar arah dan mencari penumpang.
Tak menunggu lama, Eya sudah sampai di terminal dan berganti menaiki bus mini menuju desa Kunir. Desa kunir terletak di sebelah kanan tepat pada tikungan tajam, memang, disana sering terjadi kecelakaan hingga korbannya meninggal. Hal itu juga mengingatkan Eya kepada teman sebayanya ketika SMP dulu, temannya itu selalu memuji kecantikan dan kebaikan Eya.
Tapi ketika Eya sudah memasuki bangku kuliah semeter 1, mereka sudah tidak saling berkabar lagi, dan begitu dikabari teman lainnya di grup SMP bahwa temannya dengan nama Fenni ini meninggal karena kecelakaan tepat di depan balaidesa Kunir yang berhadapan langsung dengan jalan tikungan tajam tersebut. Memory itupun tiba-tiba muncul dalam pikiran Eya, rasa takut seketika menyelimutinya.
“Tidak, dia sudah meninggal, jadi nyawanya sudah dipegang Tuhan, bukan bergentayangan. Lagian kejadian itu sudah lama kok, dari tahun 2016, jadi tahun 2020 awal ini tidak mungkin dia masih disitu kan?” Monolognya dengan dirinya sendiri. Eya bukan tipe seorang indigo, tapi memang sensitif dengan hal-hal yang berbau mistis.
Namun hal itu segera ditepisnya dari ingatan dan fokus untuk turun di tikungan tajam jalan desa Kunir tersebut. Menyebrang sebentar dan duduk di bangku warung yang kelihatannya belum buka dan tidak ada orang satu pun di sana.
“Kemana mereka itu? Kenapa belum sampai juga?” Setelah bertanya dengan dirinya senduri, ponsel yang ada digenggamannya pun berdering. Segera Eya melihat siapa yang menelepon, ternyata itu adalah Ataka, ketua dari KKN yang akan Ia ikuti. Menekan tombol berwarna hijau itu.
Dalam sambungan telepon.
“Eya, kau sudah sampai? Turun di mana?”
“Ya, aku sudah sampai dan turun tepat di balai desa desa Kunir. Cepat ke sini, kau sampai mana sekarang, Ataka?”
“Baru sampai di depan pabrik Textil warna hijau.”
“Kau tinggal turun dikit lagi, nanti ada belokan kanan jalan, ada gang kok disini. Aku di depan gang menuju balai desa.” Jelas Eya.
“Oh berarti langsung masuk gang itu sudah balai desa?”
“Iya, cepatlah.”
“Baiklah.”
Telepon ditutup oleh Eya. Sambil menunggu, Eya melihat sekitar, terdapat rumah-rumah yang memang tidak teratur dari segi medan yang miring seperti ini. Eya jadi memikirkan, nanti posko KKN akan berada di sebelah mana. Ketika sedang asik dengan pikirannya, namanya pun dipanggil dari seberang Eya.
“EYAAAA!!” Panggilnya. Eya sengaja tidak menyahut, hanya melambaikan tangan kanannya saja sambil tersenyum, tanda dia sudah menemukan teman satu KKNnya. Siapa lagi kalau bukan Ataka yang berboncengan dengan Ali. Setelah dirasa tidak ada kendaraan yang lewat, motor mereka berjalan mendekat ke arah Eya. Ataka mematikan mesin motornya.
“Kau sudah dari tadi?” Tanya Ataka, Ali yang membonceng hanya diam sembari memainkan ponselnya.
“Baru saja kok.”
“Oh iya, mana balai desanya?”
“Tuh, nanti gang ini turun dikit udah sampai balaidesa.” Tunjuk Eya pada balai desa yang letaknya di medan miring yang berseberangan dengan Ia duduk sekarang. Ataka mengikuti arah jari telunjuk Eya dan melihatnya, benar saja ada tulisan balai desa di sana.
“Benarkah? Sedekat itu?” Tanya Ali terkejut, sebenarnya dia bermain ponsel sambil mendengarkan perkataan dari Ataka dan Eya.
“Ya emang dekat.”
“Wah, enak dong.”
“Enak dari mana? Malah bising kali, setiap hari denger suara kendaraan-kendaraan besar. Ini aja bising gini.”
“Iya, sih. Tapi ya mau bagaimana lagi, toh kita tetap akan KKN disini kan?” Ucap Ataka enteng.
“Ya iya, masa di atas langit.” Jawab Eya asal, membuat Ataka dan Ali terkekeh.
“Hahaha, kau ternyata bisa bercanda juga, Eya.” Ucap Ataka. Eya tersenyum malu. Tak menunggu berapa lama, teman-teman mereka mulai berdatangan satu persatu dengan Ataka yang memberi tanda di sebelah kanan jalan.
“Wah, pak ketu pertama nih.” Ucap Dito memarkirkan motornya di sebelah motor yang Ataka kendarai.
“Iya dung, yang lain mana?” Tanya Ataka.
“Masih di jalan mungkin, tunggu aja. Sebentar lagi pasti sampai.” Jawab Dito.
Benar saja, setelah menunggu beberapa menit, akhirnga satu per satu motor dari anggota mereka pun datang tak terkecuali si Kriz dan Ayuk.
“Kalian nih, diminta tungguin malah ninggal.” Ucap Kriz.
“Ya gimana lagi? Kalian lama, makannya kalau mau janjian tuh tepat waktu, jangan molor.” Ucap Sindi.
“Ya maaf, tadi ada suatu kendala yang harus membuat kalian menunggu lama, hehe.” Ucap Ayuk santai.
“Haaaahh…. pantas saja lama.” Ucap Heny.
Mereka pun akhirnya sampai dan memasuki parkiran balai desa Kunir. Ketika masih di parkiran, mereka bingung mau langsung masuk atau bagimana.
“Ataka! Buruan masuk gih, kamu kan ketuanya.” Pinta Nur, sebagai wakil ketua sembari melambaikan tangannya, kode supaya Ataka mau mendekat ke arahnya dan segera masuk lebih dulu.
“Ya sama kamu lah, masa sendirian.” Balas Ataka tidak terima dengan mengerutkan keningnya.
“Haha, kenapa gak sama Eya aja? Hayo, kamu kan andalannya si Eya tuh.” Bisik Nur ke telinga Ataka yang membuat lelaki itu bergidik ngeri. Matanya melotot dan menghadap ke arah Nur.
“Apaan sih, aku sama Eya aja baru kenal kemarin, ya kali.” Timpal Ataka tidak terima.
“Ya gak papa, aku juga mau deket ah sama Eya.” Ucap Nur.
“Hahaha, ya sana.”
“Heh, kalian berdua ngapa dah? Malah bisik-bisik gak pada masuk.” Ucap Ali yang sudah berdiri di depan pintu masuk.
“Nah, kamu saja yang masuk, Li.” Ucap Ataka.
“Enak aja, siapa ketuanya? Ha?” Ucap Ali menantang sembari berkacak pinggang dan bersandar di dekat pintu.
“Hahahaha, yuk masuk bareng-bareng aja.” Perintah Ataka kepada semua anggotanya, dan mereka mengikuti arah Ataka untuk masuk ke dalam ruangan balai desa Kunir.
Eya berjalan beriringan dengan lelaki tinggi berkulit hitam, rambut sedikit keriting dengan kumis tipis yang sempat memandangnya dan Ataka tidak suka kemarin, Ia adalah Iham. Ilham ini dari program studi PJKR yaitu Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi. Sangat berbanding terbalik dengan Eya yang dari program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Ilham memang dari awal dibuat grup KKN ini sudah pertama kali mengajak Eya untuk chat secara pribadi, entah itu menanyakan hal seputar KKN atau bahkan hingga ke hal kecil lainnya. Dia memang lebih banyak diam dari awal mengenal Eya. Meskipun Eya tahu, bahwa dirinya sudah punya pacar, tapi untuk chattingan dengan cowok lain tidak masalah bukan? Toh mereka juga teman sendiri.
Teman yang akan menemaninya ketika KKN nanti. Eya merasa memang si Ilham ini orangnya humoris jika mau mengenal lebih dekat. Sangat berbeda degan Dito, yang ngechat ketika ada butuhnya saja. Tangan kanan Eya dipegang erat oleh Ilham, dengan menunjukkan senyuman ke arah Eya yang dibalas dengan senyuman juga. Bau parfum lelaki yang menyengat membuatnya sangat suka berada di dekat Ilham.
‘Duh, kenapa Ilham bisa semanis ini? Aku kok jadi deg-degan ya.’ Ucap Eya dalam hati sembari mengulum bibirnya ke dalam.