loader image

Novel kita

TIARA … (Chapter 1 – Chapter 4)

TIARA … (Chapter 1 – Chapter 4)

Chapter 1 - Chapter 4 (Free Akses)
152 User Views

CHAPTER 1

Keluarga Kecilku

 

 

Namanya Andini, lebih tepatnya Andini Kirana – adalah wanita yang ku nikahi setahun yang lalu. Wanita yang telah menjalin hubungan ‘Berpacaran’ denganku selama dua tahunan, setelah ku rasa diri ini, serta keuangan, dan pekerjaanku pun telah siap sepenuhnya, maka ku beranikan diri ini untuk melamarnya dihadapan kedua orang tuanya.

Wanita yang memiliki kecantikan yang sangatlah luar biasa.

Jangan tanyakan padaku, kenapa aku bisa se percaya diri itu menyampaikan kecantikan Andini.

Di pekerjaanku sebagai seorang wiraswasta di bidang Material Building ini – hasil dari perpanjangan, lebih tepatnya melanjutkan – usaha kedua orang tua yang telah di jemput sang khaliq 3 tahunan yang lalu, tentulah bukan hal baru bagiku bertemu dengan berbagai jenis wanita, baik itu di mulai dari yang biasa-biasa saja, sampai yang kecantikannya sungguh di luar nalar. Tapi, bagiku, Andini kecantikannya malah lebih di atas lagi. Jangan tanyakan padaku tentang bagaimana kecantikan istriku yah, silahkan kalian menanyakannya pada semesta. Tanyakan pada-NYA, kenapa, wanita yang bersamaku saat ini, yang telah ku taklukkan – cantiknya Masya Allah banget.

Jadi tak adalagi alasan bagiku untuk mencari wanita cantik lainnya di luar sana, serta sebagai alasan terbesar bagiku untuk menghentikan kebiasaanku di kala muda alias bujangan, mencari pesolek liar di luar sana, setelah ku nikahi Andini setahunan yang lalu.

Memiliki rumah sendiri yang lumayan besar, dan luas tanah yang sedemikian rupa, hasil warisan dari kedua orang tua, serta karena aku hanyalah seorang anak tunggal saja, alhasil, hidupku amat sangatlah di rundung keberuntungan, bukan? Serta di gubuk indah peninggalan orang tua ini, pun, di huni oleh sesosok bidadari berkerudung cantik, juga bukanlah sesuatu yang tak dapat di katakan sebagai super keberuntungan.

Ya, hidupku sangatlah beruntung. Amat sangat beruntung malahan. Namun semua keberuntungan itu, tentulah tak sempurna jika tak hadirnya sesosok malaikat kecil dalam rumah tangga kecilku ini, bukan?

Dan itulah yang menjadi masalah kecil di antara kami berdua. Bukan masalah yang sering kami pertengkarkan, sih. Melainkan sepik-sepik halus yang sering di dengar oleh istri, baik itu keluarga, kawan maupun sahabatnya yang kerap kali menyinggung tentang hadirnya malaikat kecil di tengah-tengah kehidupan kami, mencetuskan hadirnya perasaan yang tak mengenakkan dalam diri Andini. Bodohnya, dia jarang menyampaikan kegalauannya itu pada suaminya sendiri.

Keseharian Andini hanya sibuk sebagai konten kreator, yang menjajakkan usaha ‘kecil-kecil’annya melalui platform social media. Pun yang baru ia tekuni selama 4 bulanan ini.

Dulu Andini bekerja sebagai teller Bank Swasta yang cukup terkenal, dan aku juga salah satu nasabah rutin di bank tersebut, serta menjadi tempat pertemuan kali pertama dengannya saat aku menyetorkan hasil usahaku, sehingga perlahan tercetuslah rasa di dalam sana hingga membuat kami sepakat untuk meresmikan rasa yang terbalaskan itu menjadi sebuah hubungan special, bahkan lanjut ke pernikahan – namun karena ku nikahi, serta paham, jika suaminya ini memiliki kemampuan yang teramat sangat layak buat ia tinggalkan pekerjaannya itu, maka Andini menyetujui salah satu syarat receh dariku itu, yaitu, berhenti bekerja.

Dulu juga Andini memiliki pasangan alias kekasih sebelum memutuskan berpindah ke pelukanku. Bahkan, jauh hari sebelum muncul rasa ingin menikahi, Andini telah bercerita tentang masalalunya yang tak lagi berstatus sebagai seorang gadis yang memiliki kemurnian. Karena kemurniannya telah di renggut atas dasar suka sama suka oleh kekasih pertamanya itu, lalu berpindah lagi ke kekasih keduanya. Hingga terjatuh di pelukanku yang sebagai kekasih ketiganya bahkan hingga sekarang. Awalnya memang sakit ketika mendengar ceritanya itu, cuma aku sadar diri, jika aku juga bukanlah pria yang sempurna. Keperjakaanku lepas di tangan pesolek liar, bahkan nyaris seminggu sekali, aku pasti kan menyalurkan hasrat kelelakianku bersama pesolek liar maupun gadis yang tengah menjalin hubungan denganku juga kala itu.

Jadi amat sangatlah tak wajar jika aku tetap mempertahankan ke-egoisanku untuk memikirkan, bisa mendapatkan kemurnian gadisku itu di awal malam pernikahan.

Alhasil, setelah menyadari aku tak boleh egois, akupun menerima Andini apa adanya. Ikhlas seikhlas-ikhlasnya.

Dan Alhamdulillah….

Keputusan untuk menikahinya adalah keputusan yang teramat sangat benar ku lakukan. Semua masa lalunya yang buruk, terbayarkan dengan memberinya perhatian penuh padaku. Cintanya padaku sangatlah besar, dan aku bisa merasakannya. Andini sangat mencintaiku. Jangan tanyakan mengapa aku bisa seyakin itu terhadapnya, karena hanya aku yang mampu menjawabnya. Karena aku yang merasakan bagaimana sikap, perhatian serta kasih sayang yang Andini berikan padaku selama menjadi istri.

Sudahlah….

Aku tak ingin menceritakan banyak hal, apa saja yang telah ia berikan padaku.

Salah satu contohnya, ialah di kala aku pulang sehabis bekerja. Andini tak akan pernah lupa membasuh sepasang kaki ini dengan air hangat. Selalu yang ia katakan padaku, jika untuk menghilangkan pikiran yang penak mengenai pekerjaan di luar sana, maka selain mandi, cara ini juga akan membuat suaminya tak membawa masalah di luar sana ke dalam rumah. And its work.

Tapi…

Sekali lagi tak akan pernah ku lupakan, yaitu, kami masih punya masalah dalam rumah tangga. Yaitu masalah belum adanya malaikat kecil yang hadir dari rahim Andini untuk menyempurnakan kehidupan kami.

Telah banyak upaya yang kami lakukan, kami sudah berobat ke dokter ahli, kami berdua sama-sama normal. Kami juga tiap malam bekerja keras untuk menghadirkan malaikat kecil itu. Namun nyatanya, apapun usaha yang kami lakukan, jika belum menjadi kehendak-NYA, maka mustahil itu terjadi.

Yang kami lakukan hanyalah, berdoa, berserah diri kepada sang khaliq.

Apalagi pernikahan kami masih seumur jagung, jadi masih mampu kami kejar ketinggalan tersebut.

Sejauh ini, aku belum menyebutkan nama pada kalian ya?

Baiklah…

Aku Rudi Irawan. Silahkan kalian bisa memanggilku Rudi saja.

Umurku masih belum tua. Masih 30 tahun sebulanan yang lalu. Sedangkan Andini, masih berumur 28 tahun, selisih 2 tahun denganku. Jadi kami masih punya banyak waktu untuk meningkatkan usaha lagi, dan ketekunan kami untuk dapat menikmati hidup yang sempurna dengan kehadiran malaikat kecil nantinya. Dan semoga saja, atas dari usaha kami yang semaksimal itu, sang khaliq mengijabah doa dan keinginan kami dalam waktu dekat. Aminn Allahumma Amin.

 

 

Namun….

Sekali lagi namun….

 

Semua itu….

 

Kehidupan yang nyaris sempurna itu ku dapatkan, rupanya harus berakhir di genapnya 1 tahun 3 bulan pernikahanku.

Hati yang telah menetap pada Andini selama ini, akhirnya mulai terbelah. Aku tak mampu lagi untuk menyembunyikan ini semua pada kalian, jika aku, Rudi Irawan, kalah. Pertahanan ini kalah hanya oleh sesosok yang sama sekali tak pernah terbayangkan, kan hadir dalam hidupku. Hidup kami berdua.

Sosok gadis kecil, periang, manja, lucu, centil tapi tak sarat akan menggoda, memiliki rambut lurus sebahu, yang kerap kali di ikat dua ke atas seperti yang biasa ku lihat pada penampilan para idol Girl band. Senyum yang begitu mempesona, senyum yang membuat sepasang matanya menyipit bahkan nyaris tak terlihat, apalagi saat ia tertawa.

Satu-satunya penyebab, hati ini akhirnya mulai terbelah.

Mulai hadir dan terpikirkan oleh hati ini….

 

Dialah….

 

Sosok gadis yang hadir di tengah-tengah kehidupanku dan Andini.

Sosok gadis bertubuh mungil, yang baru berumur 19 tahun, yang melanjutkan kuliahnya di ibu kota, yang pada akhirnya – karena keisengan istri untuk menghadirkan keramaian di dalam rumah bertingkat dua yang sebesar ini, yang memiliki jumlah kamar 6 – tercetuslah untuk membuka jasa kos-kosan di lantai atas, yang jumlah kamarnya terdapat 3 kamar dengan aturan yang ketat dari istri sebagai wanita yang taat agama. Salah satu aturan ialah, kos-kosan hanya khusus putri, berstatus mahasiswi, serta larangan keras untuk membawa pria di dalam kamar. Bertamu hanya sampai jam 10 malam, pun, hanya menerima tamu di ruang tamu bawah. Serta tak lupa, ketiga kamar ku lengkapi dengan toilet dan AC serta beberapa perabot umum di dalamnya, dengan tarif 2,5 juta perbulan.

Jadi tak ada alasan lagi jika tarif kosan yang di cetuskan Andini, bertarif mahal. Apalagi ini ibu kota. Semuanya tak ada yang murah di sini.

Semua sebabmuasab, berawal dari obrolan kecilku dengan Andini setelah menuntaskan kewajibanku sebagai seorang suami padanya.

“Ayah… belum ada yang datang buat ngekos di sini. Fufufufu” kata istriku setelah kami berupaya untuk mendinginkan suasana dari panasnya suasana pertempuran sebelumnya.

“Sabar. Nanti juga akan ada yang datang, kok, bun” balasku padanya.

“Tapi ini udah hampir sebulan, yah”

“Hmm, mau ayah ngasih masukan?” tanyaku.

“Apa tuh yah?”

“Ganti syaratnya… karena jika kamu mematok tarif 2,5 juta perbulan, mungkin saja yang sekeyakinan dengan kita, agak berat untuk ngekos di tempat kita. Bagaimana jika kamu merubah syaratnya, tak perlu menerima yang sekeyakinan dengan kita. Bisa untuk semua agama. Bagaimana?”

Andini menatapku…

Awalnya dari ekspresi dia, menunjukkan agak berat jika menerima anak kos yang tak seagama dengan kami.

Tapi setelah ku yakinkan, maka pada akhirnya, anggukan kepalanya sebagai bentuk jika ia akhirnya bisa membuka diri, dan mau menerima anak kos yang tak segama dengan kami.

 

Hingga….

Sore itu, saat aku masih di toko – oh iya, usaha yang ku geluti adalah toko bahan bangunan yang sudah mempunyai cabang sebanyak 4, yang tersebar di beberapa tempat. Tapi aku selalu stay di toko utama yang paling pertama di bangun, dan tentu saja yang omsetnya paling besar – istri dengan suara yang riang, menelfon.

“Assalamualaikum ayaaaaahhhh….”

“Wa’alaikumsalam, bun”

“Akhirnya yahhh”

“Akhirnya apa, bun?” tanyaku, lumayan penasaran.

“Akhirnya ada juga yang mau ngekost di rumah…. hmm…. tapi…” Andini sengaja menggantung. Tapi aku langsung bisa menebak, karena ini semua terjadi karena aku yang memberi jalan padanya.

“Tapi yang mau ngekos bukan muslim ya?”

“Hu um. Kok ayah tahu?”

“Cuma nebak aja. Gak apa-apa bun, selama sopan dan baik, why not”

“Alhamdulillah, kirain ayah gak mau”

“Ayah tidak sekeras keyakinan yang bunda jalankan sekarang, sayang”

“Hehehe, ya udah… jadi bunda mau tanda tangan dulu ama tuh anak”

“Hmm anak? Yang pasti perempuan kan?”

“Iya lah. Bunda gak mau buka buat cowok. Bunda takut…. hehehe”

“Oh ya udah. Silahkan bunda atur…. eh iya, namanya siapa bun?”

“Namanya Tiara… Tiara Nasution, yah. Anaknya lucu…. hihihi, pasti ayah bakal gemas ma tuh anak”

“Ohh…. oke”

“Ya udah yah, udah dulu…. Assalamualaikum” pungkas istriku.

“Wa’alaikumsalam…..”

Setelah mengingat beberapa penggal kejadian di awal-awal itu, aku menghusap wajahku. Hadir perasaan yang menyakiti di dalam sana. Perasaan yang semakin lama, kian menyiksa.

 

Maafkan saya, Andini.

Saya bukan hanya gemas pada gadis itu, karena, nyatanya sekarang, posisimu, amat sangat perlahan mulai di geser olehnya. Oleh gadis yang kamu anggap lucu nan menggemaskan itu, yang bernama……………

 

Tiara………………….

 

 

========================

 

CHAPTER 2

Sebuah Maha Karya

 

 

Semua sejak awal tampak biasa-biasa saja. Aku yang keseharian mempunyai kesibukan bekerja, mengelola bisnis turunan, kemudian setelah pulang rumah, tentulah tak lupa mendapatkan pelayanan terbaik dari istri.

Bukan hanya itu, setiap weekend tiba, tentu ku sempatkan waktuku buat mengajak istri kemana saja yang ia inginkan. Berbelanja kebutuhannya, baik kebutuhan pribadi maupun kebutuhan jualannya, atau hanya untuk sekedar makan di luar di saat istri pun, sedang tak berselera untuk memasak di rumah. Tak jarang, kami liburan ke tempat yang jaraknya cukup jauhan dari ibu kota. Semua itu demi menjaga keutuhan keluargaku, menjaga agar aku dan istri masih tetap terjaga keharmonisannya, tetap sakinah, mawahdah dan warohmah.

Memang betul, semua sedari awal tampak biasa-biasa saja. Jika kalian masih tak yakin dan percaya dengan apa yang kukatakan itu, maka, mari kita sedikit memutar kejadian kali pertama aku pulang ke rumah, pun di hari yang bersamaan – penghuni pertama kos-kosan di rumah, tiba.

Aku masih mengingat jelas kejadian hari itu, hari dimana aku pulang kerumah, waktu ingin ku parkirkan mobilku di garasi. Salah satu koleksiku yang memang memiliki hobby mengoleksi mobil. Bukan mobil yang mahal-mahal banget, sih, karena memang belum berkemampuan mengoleksi mobil yang premium – aku langsung mengernyit dengan mobil yang parkir di depan rumah. Honda CRV turbo. Keluaran terbaru, malah baru banget kalo aku lihat modelnya yang sekarang.

Mobil berjenis SUV. Sebetulnya mobil yang ku kendarai juga berjenis SUV, Toyota Fortuner meski keluaran tahun lawas, tahun 2014 yang masih belum berganti bentuk, tapi masih nyaman ku gunakan – tapi, mobil yang ku lihat saat ini, tentu harganya tak sebanding dengan harga mobilku. Kalo ku taksir harganya kalo beli baru, setengah milyaran lebih, tolong koreksi jika aku salah menebak. Sedangkan harga mobilku saja yang termahal hanyalah tak sampai 300juta, karena memang, Toyota Fortuner putih yang ku gunakan sekarang ini, hanyalah barang second yang ku beli.

Penasaran jadinya, apakah mobil itu milik si penghuni pertama kosan dirumahku ini? Dan jawabannya langsung ku dapatkan, di saat aku mengucap salam di awal masuk ke dalam rumah.

“Assalamualaikum wr wb….” begitu ujarku saat masuk ke dalam rumah. Ku lihat, istri sedang duduk di ruang tamu, di temani sesosok gadis hmm, gadis muda dengan penampilan amat sangat abegeh sekali, yang juga duduk di sofa di hadapan Andini.

“Wa’alaikumsalam, ayah.” Itu Andini. Wanita cantik bak bidadari itu, yang masih berkerudung meski hanya sekedarnya saja, segera beranjak sejenak dari duduknya, untuk sekedar menyambutku, meraih tanganku, menempelkan dahinya pada punggung tangan ini.

“Wa’alaikumsalam, Pak” itu, gadis yang ku maksud. Nyaris bersamaan dengan Andini membalas salamku itu.

Aku sempatkan untuk menoleh padanya, di saat tanganku telah lepas dari kening Andini. Gadis mungil itu, tersenyum. Hmm lucu sih. Tapi tentu jika di bandingkan dengan senyum Andini, semesta pun tahu kok, siapa yang menjadi pemenangnya.

 

Tapi senyum gadis itu….

Ah sudahlah….

 

Aku menatap ke wajah cantik Andini untuk sekedar bertanya, siapa gadis itu, hanya dengan menggunakan tatapan ini. Hanya sekedar buat memastikan saja, meski tadi, sebelumnya saat di telfon, Andini sudah menyampaikan.

“Ah iya yah. Ini Tiara, dia yang tadi bunda ceritain” ujar istriku. “Tia, kenalan dulu sama ayah. Hehe, suami kak Dini”

“Iya kak Din.” Gadis itu pun ikutan beranjak, ku sempatkan mengulurkan tangan ini untuknya, dan ia meraihnya. Tak sampai di salim juga sih, kan baru berkenalan. Lagian dia juga hanya orang lain.

“Tiara, Pak…” gadis itu yang memulai menyebutkan namanya, di iringi senyum pada wajahnya yang…. yang apa yah. Jujur, gadis ini cantik. Mata yang menyipit itu, karena tengah tersenyum, memiliki bulu mata yang lentik. Tapi kecantikannya itu berbeda dengan Andini istriku. Cantiknya Andini bener-bener anugerah dari sang khaliq.

Tapi kecantikan gadis ini….

Ah, entahlah. Aku sulit buat mengungkapkannya dengan sebuah narasi pada kalian.

Oke forget it. Toh, aku tak mungkin berlama-lama untuk menjamah tanpa bersentuhan, wajah gadis ini, bukan? Hanya untuk sekedar menggambarkan secara rinci pada kalian apa yang sepasang mata ini capture saat ini.

“Rudi.” Begitu balasku, menyebutkan namaku juga tentunya.

“Suaranya….” gadis itu bergumam. Ada yang salah dengan suaraku?

Aku mengernyit. Dia semakin menunjukkan senyum lucunya di hadapanku.

Di saat berjabat tangan ini, perhatianku pun tanpa sengaja tertuju pada leher gadis itu, lebih tepatnya ke arah kalung yang ia kenakan di leher. Dan dari situlah langsung dengan mudah buat ku tebak, jika Tiara ini beragama Kristen. Karena mainan kalungnya berlambang salib.

Sore ini, penampilan Tiara seperti penampilan para gadis-gadis modis yang banyak kalian temukan baik itu di Mall maupun di foto-foto selebgram gitu. Tak ada yang special juga. Satu kesimpulan yang ku ambil, gadis lucu ini cukup memiliki selera yang tinggi.

Karena semua yang menempel pada tubuhnya, sepertinya semuanya barang branded. Apalagi ponsel yang ia letakkan di atas meja, dengan mudahnya ku tebak jika itu ponsel Iphone keluaran terbaru banget, karena hanya iphone keluaran terbarulah yang tak lagi memiliki layar berponi, serta mempunyai Always On Display.

Oh iya, Andini istriku, masih namplok bersandar manja di tubuhku. Dan itu semua, menjadi perhatian Tiara yang tetap mempertahankan senyuman di wajahnya.

Awalnya….

Semua biasa-biasa saja, bukan?

Kami saling melepaskan tangan. Karena tak mungkin, ku genggam tangan gadis ini berlama-lama.

“Tinggi banget….” gadis itu bergumam lagi, karena merasa keceplosan, dia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Centil yah? Tapi aku merasa itu hal wajar di umurnya yang sepertinya masih muda banget.

“Banget Tia. Hehe, Suamiku emang tinggi banget….” Andini menimpali. “Untungnya aku gak pendek-pendek banget. Jadi gak aneh keliatannya pas lagi jalan berduaan. Hihi”

Gadis itu menanggapi dengan gerakan kecil pada matanya. Sama sekali bukan kerlingan yang menggoda, tapi menurutku itu hanya spontan terjadi, dan mungkin memang seperti itulah dia. Memang sih, saat tadi aku berdiri bersalaman dengan gadis itu, jika ku tebak, tingginya tak lebih 155. Bahkan mungkin di bawahnya. Sedangkan Andini memiliki tinggi 160. Aku sendiri, yahh, 180. Pantas gadis itu nyeletuk, mengatakan aku tinggi.

Hingga setelah aku dan gadis itu selesai bersalaman, di saat ia ingin duduk kembali, rok yang ia kenakan yang memang lumayan pendek, agak tertarik ke atas di saat proses menjatuhkan tubuhnya pada sofa. Hanya sedikit saja, sepasang pahanya yang putih, mulus bak bengkoang sempat menjadi santapan sepasang mata ini. Tapi itu hanya sekilas, dan tak menimbulkan efek apa-apa terhadapku.

“Ehem…” segera ku alihkan pandangan ini, “berarti mobil di depan itu, mobil kamu ya Tiara?” aku langsung mengingat mobil yang ku lihat tadi.

“Iya Pak. Hehe” begitu balasnya.

“Oh baiklah, jika memang itu mobil kamu. Nanti salah satu mobil saya di garasi akan saya parkir di luar, biar mobil kamu bisa markir di dalam, kasian mobil semahal itu hanya markirnya di luar, akan kena panas dan hujan terus-terusan”

“Nah itu juga yang bunda pikirin tadi yah” timpal Andini.

“Sudah memindahkan semua barang-barang kamu? Sudah cek kamarnya juga?”

“Sudah dong pak. Dan Tia suka banget ama kamarnya pak. Apalagi sama suasana di rumah ini” balas Tiara.

“Syukurlah. Semoga kamu betah ya. Lagian saya juga jarang di rumah, kecuali malam. Jadi hitung-hitung, biar Andini ada teman selama di rumah” Gadis itu mengangguk. Senyuman pada wajahnya, yang lucu dan menggemaskan masih saja ia tampakkan padaku.

“Ya sudah kalo begitu, boleh kami tinggal bentar Tiara? Mau menjalankan sholat magrib berjamaah dulu” ujarku lagi, mengingat baru saja ku dengar adzan berkumandang di masjid dekat rumah.

“Iya Pak. Tiara juga mau lanjut beres-beres di kamar”

“Sudah pilih mau kamar yang mana kan?”

“Sudah ayah. Tia sukanya kamar yang di sudut itu. Hehe” Andini yang menjawab.

“Ya udah, silahkan lanjut ya Tiara.” Pungkasku secepatnya, karena tanpa ku sadari, mata ini masih sesekali menatap ke arah paha gadis itu. Untung saja, sang empunya tidak menyadari sama sekali.

Ah, sepertinya, aku akan mencoba berbicara baik-baik dengannya nanti saat situasi memungkinkan, untuk tidak mengenakan pakaian pendek seperti itu saat aku berada di rumah.

Karena tak ada lagi yang ingin di bahas, akhirnya ku ajak Andini untuk ikut bersamaku ke kamar. Andini tentu saja mengikuti, karena jika bukan aku yang mengingatkan jika waktu sudah memasuki waktu magrib, maka dia yang akan mengingatkan. Hanya saja aku lebih cepat tadi buat mengingatkan.

Well! Sudah sesuai yang ku ceritakan bukan? Jika semuanya tampak biasa-biasa saja.

 

===========================

 

Begitulah yang terjadi. Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Tiara ternyata bener-bener gadis yang periang. Sudah jarang bertemu, apalagi berinteraksi. Makanya, memang tak ada sesuatu yang special yang terjadi.

Aku dan Tiara selama sebulan ini, sangat jarang bertemu. Setiap pagi, kami berdua seperti sedang berlomba-lomba siapa yang lebih cepat keluar dari rumah. Kadang aku yang lebih dulu meninggalkan rumah buat beraktivitas, kadang Tiara yang lebih dulu pergi buat ngampus.

Hari sabtu, Tiara selalu berpamitan untuk pulang ke rumahnya di Bandung dengan mengendarai mobilnya sendiri. Dan akan kembali senin sorenya ke rumah, karena biasanya, menurut cerita dari istri, dari Bandung Tiara langsung ngampus.

Tiara berkuliah di kampus yang sama denganku dulu, meski aku tak sampai menyelesaikannya. Bedanya di fakultasnya saja. Aku dulunya di fakultas teknik, sedangkan Tiara mengambil kedokteran yang menurut cerita dari istri, pun adalah minat gadis itu sejak kecil. Yang telah menjadi cita-citanya juga. Jadi hal wajar, jika istriku menyukai Tiara, karena memang seorang mahasiswi kedokteran tentulah harus smart, bukan?

Tiara berasal dari keluarga yang kaya raya. Itu sudah jelas. Meski tak ku telusuri lebih jauh lagi, ketika istri bercerita tentangnya, sebagai bumbu pengantar tidur kami di malam hari, tapi aku juga sudah bisa menebak sejak awal kami bertemu.

Well! Aku tak perlu lagi menjelaskan panjang lebar tentang siapa gadis itu, aku rasa teman-teman bisa memahami, apabila aku menceritakan tentangnya secara detail, itu artinya, saya dengan sengaja mencari tahunya. Yang entah apa tujuannya.

So…

Sudah sesuaikan, beneran sedari awal semua masih tampak biasa-biasa saja? Of Course, karena selama sebulan ini memang aku jarang di pertemukan secara langsung dengan gadis itu.

Hinga sabtu berikutnya, di kala aku pun memutuskan untuk tidak ke toko di pagi harinya, karena tengah ingin bersantai di rumah sejenak – Pun, di sisi samping rumah, ku buat sebuah ruangan Gym kecil untuk tempatku berolahraga. Maklum, jangan menunggu sampai umur lanjut, sedari dini berolahragalah agar tubuh tetap segar, dan salah satu juga bertujuan untuk memperpanjang umur kita. Meski, memang takdir hanya sang khaliq yang tahu. Serta salah satu tujuan agar aku tetap bugar, agar aku tetap bisa memberikan nafkah sebagai suami buat istri di ranjang – selesai bergym ria di pagi hari, dalam kondisi baju yang sudah basah oleh keringat, ku raih handuk kecil yang memang ku letakkan tak jauh dari pintu, kemudian berjalan keluar dengan handuk yang menyeka di lengan, serta beberapa bagian tubuhku yang basah banget.

Di dapur sana, aku mendengar suara samar. Biasanya tak ada suara obrolan, karena memang hanya Andini yang sibuk sendiri di sana, menyiapkan makanan kesukaanku. Tapi tidak untuk sabtu sekarang.

Rupanya Andini tak sendiri, Tiara menemaninya.

Aku berjalan ke arah dapur sembari dalam benak agak bertanya-tanya, karena tumben, tidak seperti biasanya anak itu tidak pulang ke Bandung.

Begitu tiba di depan pintu berbahan kaca, kedua perempuan yang berbeda umur 9 tahunan itu, tak menyadari kehadiranku. Aku hanya berdiri menatap kesibukan mereka di sana. Andini tentu sibuk berhadapan dengan kompor, sedangkan Tiara sibuk membantu Andini untuk menyiapkan beberapa sayurmayur maupun bawang-bawangan. Aku tak begitu jelas melihat aktivitasnya, karena gadis itu berdiri membelakangi pintu masuk ke dapur. Membelakangiku tentunya.

Rupanya, bukan Andini yang menyadari kehadiranku.

Justru, Tiara-lah, yang menyadarinya….

Gadis itu menoleh….

Dia senyum.

“Kak….” dia memanggil Andini, “Pak Rudi tuh” begitu gumam Tiara melanjutkan.

Andini akhirnya ikutan menoleh ke arahku. Dia tak mengenakan hijab, karena memang tak ada pria lain di sini. “Ayah…. mandi dulu gih, keringatnya banyak banget tuh.”

Tiara menimpali dengan anggukan. Spontan, tangannya kanannya bergerak buat menutup hidung mungilnya itu. Aku hanya merespon dengan gelengan kepala.

Aku tak mengindahkan keinginan istri, hanya untuk sekedar mendapatkan jawaban atas pertanyaan dalam benak ini. Maka, ku tanyakan segera ke mereka, lebih tepatnya ke gadis itu. “Kenapa gak pulang, Ra? Ini kan hari sabtu?” dan untuk kali pertamanya, aku memanggil namanya dengan singkat. Cukup Ra saja. Yang rupanya, mendapatkan respon yang hmm, cukup menggemaskan juga sih.

“Eh Ra?” itu Tiara. Dia sampai menggidik bahu mungilnya, sembari matanya menyipit, menatap ke arahku.

Aku membalas menatapnya.

“Dia lagi malas pulang, ayah. Lagi pengen di kosan aja katanya sampai besok”

“Ohhh….” Aku menangkap secuil saja, perubahan ekspresi dari Tiara di saat aku hanya memberinya respon dengan kata ‘Ohh’, barusan. Bibirnya yang berwarna merah muda itu, sedikit mengerut lucu. Emangnya, gadis itu mengharapkan komentar apa dariku?

Tak ingin berlama-lama menatapnya, ku alihkan ke arah lain pandangan ini. Ke Andini yang masih membelakangiku, yang masih sibuk dengan kompor dan masakannya.

“Masak apa bun hari ini?” begitu tanyaku. Andini hanya sekedar menoleh.

“Ini… Tiara pengen di masakin capcay goreng seafood, katanya, pasti ayah juga suka….” hmm, dulu…. iya, hanya dulu kala aku menyukai makanan tersebut, karena almarhumah ibu dulunya paling suka memasak masakan capcay buatku. Tapi setelah beliau meninggal, dan setelah aku menikahi Andini, aku juga tak banyak menuntut padanya mau masak apa. Selama itu enak, maka aku pasti akan memakannya.

Andini juga sangat mahir memasak. Jadi, tak elok bagiku untuk memaksakan kehendak, aku mau makan apa. Hanya sesekali saja, ketika ingin, maka aku pun mencoba berbicara dengannya, lebih ke sharing, bukan sebuah perintah padanya buat memasakkan.

“Tapi bunda udah bilang ke Tia, kalo ayah jarang makan capcay”

Mendengar itu, aku tanpa sengaja kembali menoleh ke gadis itu. Dia kini, posisinya tak lagi membelakangiku. Karena dia tengah mengatur beberapa bahan masakan di meja kecil sana.

Dan tanpa sengaja lagi….

Kami berdua saling bersitatap.

Tatapannya yang lucu mendelik itu, seakan sejenak, menyihirku. Tubuhku agak membeku hanya sesaat saja.

“Auwww…. duhh…..”

Apa itu?

Tiara tiba-tiba meringis. Jenak berikutnya, aku menyadari jika tangannya baru saja teriris oleh pisau kecil yang ia gunakan buat memotong-motong bawang. Tanpa sadar, aku melangkah masuk untuk melihat kejadian yang sebenarnya.

“Loh, kamu kenapa Tia?” Andini menghentikan aktivitasnya, untuk sekedar ikutan melihat apa yang terjadi.

“Gak apa-apa kak, Cuma keiris doang” begitu ujar gadis itu.

Sedangkan aku?

Sekali lagi tanpa sadar, keluar dari ruangan dan segera mengambil kotak P3K yang ku letakkan di dalam lemari dekat ruangan keluarga. Semua kulakukan amat sangat cepat, bahkan aku sampai benar-benar belum menyadari kenapa aku bisa bertindak secepat ini. Setelah mendapatkan apa yang ku cari, aku sampai berlari kembali menuju ke dapur sana.

Setibanya di dapur, Andini yang masih berdiri, dan ingin menyeka dengan kain, membantu agar darah di jari manis Tiara – yang tengah duduk di kursi, agar berhenti keluar, aku bersuara. Anehnya suarahku cukup tegas.

“Jangan pake kain….”

Dengan sigap, aku mendekat.

“Iikh….” Tiara bahkan sampai terpekik atas tindakan tiba-tibaku barusan. Sedangkan Andini, entahlah. Apa yang ia pikirkan, karena aku tak lagi fokus padanya.

Dengan telaten segera ku tangani luka iris di jari Tiara. Sekali lagi, apa yang ku lakukan ini benar-benar belum ku sadari sepenuhnya.

Hingga di saat aku selesai meneteskan obat merah, kemudian menutupnya dengan plester, saat itulah, jantungku tiba-tiba bergerumuh, karena posisiku yang berdiri sambil sedikit membungkuk, tanpa sengaja melihat ke bagian lehernya. Dua atau tiga detik lamanya, aku tanpa sengaja melihat dari sela-sela t-shirtnya yang longgar, sepasang maha karya yang penuh keindahan dari sang khaliq – yang masih terbungkus bra merah muda dengan baik di dalam sana, begitu memukau.

Astagfirullah…. aku bahkan sampai beristigfar dalam hati, dan segera memalingkan wajah ini ke arah lain, serta menegakkan tubuhku kembali.

 

Tapi….

 

Ah sial….

Tiara, kenapa engkau malah menengadahkan wajahmu ke atas, dek? Menatap ke dalam mataku yang masih berusaha ku alihkan ini.

 

 

 

==========================

 

 

CHAPTER 3

Mempesona

 

 

Apa yang kalian harapkan setelah kejadian, tanpa sengaja, sepasang mata ini melihat ke sepasang keindahan milik gadis itu?

Apakah kalian berfikir ke arah – mayoritas orang akan memikirkan?

Maka kan ku jawab, tak ada. Toh! Bukan kali pertama bagiku untuk melihat sepasang payudara berbungkuskan bra seperti itu. Aku juga memilikinya di rumah, milik Andini yang bahkan dapat ku simpulkan jika bentuk yang ku miliki di rumah, lebih besar. Yang juga, setiap saat ketika ingin, dengan mudah ku nikmati. Karena Andini, istriku adalah perwujudan seorang wanita yang tercipta dari tulang rusuk seorang suami yang tersambung dengan sempurna. Maka amat sangat tak elok, apabila terus menerus pikiran ini di kuasai oleh sesuatu yang sempat ku lihat kala itu, di dapur. Milik Tiara.

Karena tidak adanya kejadian yang begitu berarti, maka aku lebih banyak kan bercerita tentang beberapa hal saja yang terjadi dalam kehidupanku, setelah, rumah ini penghuninya bukan hanya aku maupun Andini saja, melainkan ada Tiara dan juga tertambah dua penghuni lainnya. Bernama Wina pegawai Bank, dan Mona adalah mahasiswi jurusan sastra yang berbeda kampus dengan Tiara.

Maka rumah ini pun semakin ramai saja. Semakin membuatku terhindar dari hal-hal yang amat sangat tak ku inginkan selama ini.

 

Hmm….

Ku mohon, singkirkan pemikiran kalian jika aku akan tertarik dengan dua penghuni kos lainnya di rumah ini. Yang pertama, kedua wanita itu tak ada sesuatu yang special yang ku nilai, meski yah, kebanyakan wanita muda pada umumnya, penampilan mereka tetap menarik.

Lalu kedua, aku adalah pria yang mencintai keluarga. Sejak ku ikrarkan janji di depan penghulu, kala ku nikahi Andini, sejak itu lah, hati ini sepenuhnya ia miliki. Mencintai Andini, adalah sebagai bentuk tanggung jawab serta kewajibanku sebagai suami.

 

Tapi….

Tiara……………………

Dia berbeda.

Oh ia, for info….

Dari ketiga penghuninya, hanya Tiara-lah yang tak sekeyakinan dengan kami. Dan hanya Tiara-lah yang sepertinya di berikan tempat khusus oleh Andini, karena mengingat dia yang paling muda, dan paling mudah untuk terbuka. Begitu sepenggal cerita dari Andini kepadaku. Karena kedua penghuni lainnya, umurnya pun sudah 20-an ke atas, serta memiliki kehidupan masing-masing di luar sana. Memilik kekasih yang kerap kali datang bertamu. Bukan di dalam kamar masing-masing, melainkan bertamu entah di ruang tamu, atau di ruang samping, atau mungkin juga hanya mengobrol di teras depan saja.

Berbeda dengan Tiara. Gadis periang dan lugu itu, sepertinya sulit buat bergaul di luar sana, maka, tempat untuk mencurahkan apapun itu, hanya di rumah ini, pun hanya bersama Andini yang sepertinya telah ia anggap sebagai kakak.

Yah, aku sangat bersyukur dengan kehadiran Tiara di rumah ini. Andini tak pernah lagi melemparkan kalimat bermakna, merasakan ‘Kebosanan’ sendirian di rumah ini. Apalagi dengan keberadaan Tiara, sedikit banyaknya sangat membantu Andini dalam menentukan produk jualannya yang baru buat ia jajakkan di social medianya.

Aku tak heran jika Tiara amat sangat memahami masalah fashion yang tengah trend di jaman sekarang ini. Karena gadis itu sangat mengikuti perkembangannya.

 

Tapi….

Justru cara dia berpenampilan sehari-hari, baik itu di rumah, maupun ketika ingin keluar dari rumah, unik dan lucu.

Seperti sore ini…..

Dari ruang kecil di sisi samping berdekatan dengan ruangan gym, aku baru saja keluar selepas menunaikan kewajiban 4 rakaat sore-ku sebagai umat-NYA. Sarung beserta segala perlengkapan sholatku, tentu ku letakkan di dalam mushollah, jadi selepas sholat aku kembali hanya dengan berkaos oblong serta bercelana pendek saja. Seperti keseharianku selama di rumah. Aku bukan type orang yang menyukai mengenakan sarung jika berada di rumah. Selain bikin gerah, agak kurang nyaman saja menurutku.

Ku dapati gadis itu menuruni tangga, ketika baru saja masuk ke dalam rumah melalui pintu samping.

Dengan menggunakan T-shirt berlengan panjang putih ke abu-abuan, mengenakan topi besar berwarna coklat, bawahannya masih seperti biasa, dengan rok di atas lutut yang tak begitu span, menyempurnakan tampilan lekukan sepasang paha mungilnya yang seputih pualam, serta senyum khas lucunya yang sering menjadi penghibur di kala penat selepas kerja – melangkah turun dari tangga lantai dua menuju ke bawah, yang mengharuskanku mau tak mau, untuk sejenak mengalihkan pandangan ini darinya.

“Pak….” dia menyapaku, ketika sudah berada di lantai bawah. Yang juga, mengakhiri pengalihan pandanganku sejak tadi, sejak ia menuruni tangga, karena, aku berusaha untuk tidak berlama-lama menatap ke sepasang kaki milik gadis mungil ini.

“Iya Ra.” Ada sedikit gesture lucu yang ku lihat darinya, di saat aku membalas sapaannya itu. Yang memaksaku akhirnya mengernyit.

Oh iya, setelah kejadian sore itu, ketika aku membantu memberinya penanganan pertama kala terluka, aku berusaha untuk menghindar darinya. Entahlah, aku juga tak begitu paham alasannya mengapa.

“Kak Dini masih bobo, Pak?” dia bertanya. Kepalanya agak miring ke samping, matanya yang menyipit dengan bulu mata lentik itu, menatap ke arahku. Membalas menatapku.

Hanya sepersekian detik, aku merasa cara gadis ini menatap padaku, memberikan efek tak mengenakkan di dalam sana. Jika orang lain yang melihat, mungkin sikap dan kebiasaan Tiara ini, hal biasa terjadi. Tapi, tidak denganku.

Dia telah berhasil, secuil saja, menyihirku.

Hal itu di perparah, ketika keningnya mengernyit. Dari cara dia menatap, dan dari ekspresi yang ia tunjukkan, sepertinya bermakna sedang bingung dengan sikap pria di hadapannya ini.

Aku….

Ah, aku tak berani lagi membalas menatapnya. Sampai-sampai, tanpa ia sadari, aku menggertakkan gigi ini. Merasa gemas padanya. Ingin menggerakkan tangan ini, hanya untuk sekedar mencubit pipinya. Tapi semua itu, masih berhasil buat ku tahan.

“Pak…. kok bengong?”

“Oh iya. Andini masih tidur di kamar, sepertinya Ra.” Akhirnya, aku mampu membalas ucapannya. “Kalo memang kamu punya urusan penting dengannya, biar saya membangunkannya sekarang”

“Ihhhh…. tidak… tidak pak.” Begitu responnya. Sambil tubuhnya sedikit bergerak lucu, menunjukkan rasa sungkannya terhadapku. Lalu, sepasang mata lucu itu mendelik, kedua bola matanya bergerak ke samping. Sepertinya gadis itu sedang mikir. Entah apa yang ia pikirkan. Lalu jari telunjuk lentiknya, bergerak untuk sekedar bersentuhan dengan dagunya. “Emm…. Itu Pak. Tiara pengen mintol ke bapak”

Aku yang tak mau lebih parah terpesona hanya oleh gadis muda ini, maka aku melangkah melewatinya, tapi memberinya gesture jika aku masih tetap akan mengajaknya mengobrol. Rupanya gadis itu menangkap isyarat dariku. Dia mengikutiku dari belakang menuju ke ruang tengah sana. Aku duduk di sofa, gadis itu masih berdiri di hadapanku.

Begitu ku arahkan pandanganku padanya. Dia membuat ekspresinya semakin lucu saja. Sepasang mata menyipitnya itu, terangkat ke atas. Seperti senyum yang di paksa, tapi sangat lucu dan mempesona.

Apalagi, tubuhnya bergerak-gerak lucu. Pelan sih, seperti sedang tak sabaran menungguku membuka suara lagi. Aku harap, kalian bisa menangkap apa yang ku gambarkan tentang situasi di hadapanku saat ini.

Dan karena itu, memicuku untuk tersenyum. Tipis sih…

Karena memang, gadis periang di hadapanku ini, terlihat lucu dan menggemaskan.

“Kamu kenapa seperti cacing kepanasan gitu, Ra?”

“Idiihhhhhhh…” dia bergidik, jangan bilang dia merinding karena suaraku? “Duhhhh…. suara bapak” kedua tangannya sampai menyentuh sendiri leher bagian belakangnya. Aku semakin mengernyit di buatnya.

“Oh iya, sejak lama saya ingin menanyakan itu. Ada apa dengan suara saya?” karena sudah terlanjur, aku tanyakan saja.

“Hmm… Suara bapak…. hmm…. Sleep callable banget. Ups. Maaf pak. Maafin Tiara kalo udah lancang” setelah mengatakan itu, dia sampai membungkuk dua kali, cara orang jejepangan buat meminta maaf, atau sekedar memberi penghormatan.

Jujur, baru kali ini aku mendengar itu.

Sleep Callable? Hmm, suara yang bisa di ajak tidur, gitu? Ah, entahlah, aku tak tahu makna yang sebenarnya.

Aku sekali lagi hanya tersenyum saja menanggapi candaannya itu.

“Oke Ra. Tadi kamu mau minta tolong apa?” aku pun membuka suara, mengingatkan padanya akan tujuannya tadi menemuiku.

“Itu… pak. Kan mob… mobil Tiara lagi di bengkel. Nah Tiara lagi mau balik ke kampus karena laptop Tiara ketinggalan. Sejak tadi susah banget dapet ojek online…. hmm, Kalo bapak mengizinkan, boleh gak, Tiara pinjem mobil Pak Rudi?” belum juga ku tanggapi, “Nanti Tiara ngisi full deh bbmnya”

Aku menggeleng singkat.

“Dari sini ke kampus kamu, Cuma 15 km-an Ra. Jadi, jika kamu Pulang pergi hanya menghabiskan 2 literan lebih, dan kamu tak perlu mengisikan bensin.” Tanggapku.

“Hehehe tapi Tiara tetep isiin kok Pak.” Ia membalas.

Aku menggeleng sekali lagi, kemudian beranjak dari duduk. “Bentar, saya ambilkan kunci dan STNK nya di kamar”

Gadis itu membungkuk kembali. “Terima kasih pak…. terima kasih”

“Kamu itu. Belum juga saya pinjemin, sudah berterima kasih seberlebihan ini”

“Eh?” ekspresinya sangat menggemaskan.

“Ya sudah, tunggu sebentar”

“Baik Pak”

Ku tinggalkan gadis itu di ruang tengah, melangkah ke kamar.

Begitu tiba di kamar, ku bangunkan istriku untuk menyampaikan keinginan Tiara tadi.

“Hoaemmm…. kenapa yah?”

“Kamu gak sholat Ashar bun?” tanyaku sekedar membuka obrolan.

“Oh iya… astaga hampir lupa” balas Andini. Segera bangun dari tidurnya.

“Dan satu lagi. Ayah mau sampaikan jika Tiara ingin meminjam mobil, mau ia pake ke kampus buat ngambil laptop yang ketinggalan di sana, karena mobilnya pagi tadi masuk bengkel”

“Ya udah yah, pinjemin aja.” Sambil membalas, sambil berdiri, berjalan menjauh dari ranjang. Anehnya, bukannya langsung masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamar, Andini malah menyempatkan bercermin sejenak. Ckckck, dasar wanita.

“Ayah juga mau ajakin Bunda selepas sholat. Mau ke mall, buat beli sesuatu”

“Ahhh males yah. Bunda lagi males keluar-keluar”

“Kalo begitu, ayah pergi sendiri saja. Gak apa-apa kan?”

“Iya…” balas Andini. “Udah sana, kasian Tiara nungguin pasti di depan”

“Oke” segera ku sambar kunci mobil fortunerku, karena biar gadis itu pakai ini. Sedangkan aku cukup mobil kecil aja, karena aku hanya ingin membeli beberapa peralatan komputer buat di toko cabang kecilku yang kebetulan komputer adminnya lagi eror.

Setibanya kembali di depan, Tiara masih berdiri. Masih pada posisinya di awal tadi. Membelakangiku yang lagi berjalan menuju ke arahnya.

“Malah masih berdiri. Kenapa tidak duduk saja” aku bergumam pelan yang penting gadis itu mendengarnya.

“Eh…. iya Pak” dia senyum kecut.

“Nih, pake yang gede aja, Ra”

“Eh gak usah pak. Cukup yang kecil aja…” dia menolak. Padahal tanganku yang sedang memegang kunci, telah ku angsurkan padanya.

“Udah pake aja. Gak usah sungkan” kataku.

“Jangan pak. Tiara takut….” Gadis itu sampai menyentuh tanganku untuk kali ketiga, yang pertama kala kami bersalaman waktu perkenalan di awal, kedua, di saat kejadian jarinya teriris. Dan ketiga, saat sekarang.

Yang membuat tiba-tiba suasana menjadi agak kaku, ketika Tiara malah bukan sekedar menyentuh, di raihnya telapak tanganku yang tengah posisi membuka, di katupkan, di satukan agar menutup, menyembunyikan kunci mobil di dalamnya.

Setelahnya. Dia tak langsung menarik tangannya itu. Dia menatapku, sambil menunjukkan senyum lucunya kembali. “Ya udah deh pak. Tiara cabut aja sekarang, hehehe, mau naik ojek online aja”

“Loh… Tia. Kenapa gak mau pake mobil kakak aja sayang?” tiba-tiba Andini muncul dari kamar, berjalan ke arah kami.

Sial! Mana Tiara masih saja memegang tanganku. Spontan, aku yang lantas menariknya. Aku melangkah mundur sedikit saja, memberi jarak agak berjauhan dengan gadis polos itu.

“Tapi…. yah.” Andini kini menatap ke arahku.

“Hmm…”

“Bukannya ayah juga mau keluar tadi? Kenapa gak sekalian saja anterin Tiara ke kampusnya. Itung-itung biar ayah bisa lebih akrab dengannya, hehehe, karena kata Tia, ayah itu orangnya dingin banget. Justru selama ini, Tia malah kesannya takut gitu ama ayah…. hihihii”

“Ihhhhh kak Dini.” Tiara protes. Mata mungilnya itu membelalak, hal itu membuat wajahnya semakin lucu saja – Langsung menjauh dariku, mendekat ke Andini.

“Lucunya adik aku ihhh……. hihihi, sini…. sini sayang.” Istriku segera memeluknya dari samping. Jadi di hadapanku saat ini, Andini seperti baru menemukan sosok seorang adik yang memang sejak dulu di inginkannya. Mengingat, Andini anak bungsu dari dua bersaudara. Tiara sampai membuka topinya, sekedar membuatnya nyaman untuk memeluk Andini.

“Kak Dini tega…. masa di depannya Pak ayah bilang gitu” sambil berucap, sambil berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandanganku di bawah ketiak istriku yang tengah memeluknya.

“Loh emeng bener kan?”

Wait…. wait.

Pak ayah? Sedikit menggelitik sih, Cuma aku mengabaikan. Tak ingin menertawakan panggilan dari gadis itu padaku, barusan.

“Ihhhh Tiara kan jadi malu tau, kak”

Tapi….

“Jadi…. mau kan yah, nemenin Tiara ke kampusnya bentaran, baru ayah ajakin sekalian dia buat belanja keperluan ayah. Hehe…. biar bunda masak di rumah, sekalian masak buat Mona dan Wina deh.”

 

Tanpa mereka sadari. Tiba-tiba jantungku bergerumuh di dalam sana. Ingin menolak keinginan Andini, tapi bukankah rasanya aneh jika menolak? Dan tak ada alasan kuat bagiku buat menolak juga, bukan? Tapi, jika aku malah mengiyakan, apakah aku akan baik-baik saja berada di samping gadis periang, manja, lucu nan menggemaskan ini?

Belum juga aku tersadar dari lamunan, Tiara membalas ucapan Andini.

“Tiara takut kak….”

“Loh, justru karena kamu takut itu…. makanya kakak pengen kamu deketin ayah gih. Hehehe, masa ama suami kakak kamu malah takut. Harusnya ayah juga kamu anggap seperti kakak seperti ke kak Dini.”

“Tapi kak….”

“Udah, gak ada tapi-tapian, anak gadis imut gini, gak baik kalo malem-malem nyetir sendiri. Jadi udah sana…..” ujar Andini kembali, sembari melepaskan diri dari pelukan Tiara. “Ayah…. udah gih, ganti baju dulu sana. Gak mungkin keluar Cuma celana pendekan gitu kan?”

“Iya” balasku. Membalas sambil menahan nafas.

“Padahal… kerenan gini kak. Hehe, ups” celetuk Tiara.

“Nahhh, tuh yah. Kan ayah suka minta saran ke bunda, kalo mau keluar ayah harus pake apa, pake ini lah pake itulah. Mulai sekarang, ada baiknya ayah minta sarannya juga ke Tiara.”

Semakin menyiksa saja keadaan di sore menjelang magrib ini.

“Ayah gak mungkin keluar bercelana pendek, karena takut, telat tiba di rumah dan waktu magrib telah tiba. Jadi ayah berganti celana saja” ujarku selanjutnya.

“Ya udah deh”

“Tunggu bentar….” aku pun berjalan meninggalkan kedua perempuan itu, berjalan menuju ke kamar.

 

Sambil berjalan ini, aku sempat mendengar mereka lanjut berbicara.

“Tuh kan Tia. Ayah gak protes kalo kamu ikutan. Hehehe,”

“Eh iya ya kak Din. Pak ayah malah gak jawab apa-apa, gak protes, dan tidak mengiyakan juga”

“Yah begitulah suami kakak dek. Jarang berbicara, tapi, selalu langsung bertindak untuk menyenangkan hati pasangannya. Untuk tidak mengecewakan pasangannya”

 

Ah iya….

Benar kata Andini, bukankah aku belum menyetujui keinginannya tadi?

Sial.

Mau kembali ke mereka, buat menolak, tapi perasaan ini tak kuasa buat melakukannya. Rasanya, di dalam sana, semakin kuat buat menetapkan keinginan ini untuk sekedar bepergian berdua dengan Tiara.

 

 

==========================

 

 

CHAPTER 4

Maaf, Just it

 

 

Seperti yang ku jelaskan sebelumnya, jika aku tak memiliki alasan untuk menolak keinginan Andini, untuk aku, mengantarkan Tiara ke kampusnya buat mengambil laptop yang ketinggalan, lalu di lanjutkan ke Mall buat membeli beberapa keperluanku.

Dan yah, itulah yang akan kami lakukan. Pergi bersama.

Berdua….

 

Dengan Tiara?

 

Sedikit ku helakan nafas ketika mengingat keinginan istriku ini. Bukannya menjauhkanku dari fitnah, ini malah lebih mendekatkan. Apakah Andini sama sekali tidak menyadari apa, jika ini salah. Jika ini akan mulai mendobrak benteng pertahanan yang sedari awal ku bangun?

Ya sudahlah. Mungkin aku saja yang terlalu parno, karena mengingat niatku sejak awal menikahi Andini, yang telah membuang jauh-jauh pemikiran untuk tergoda oleh perempuan yang menggoda.

Jadi, mari kita skip saja perasaan yang tak mengenakkanku di dalam sana. Karena aku sendiri masih berusaha untuk berfikir positif, saja.

Selesai berganti pakaian. Dengan kaos hitam berlogo hammer di dada kiri, serta celana chino slim, sandal santai – tanpa lupa mengambil kaca mata karena kondisi mataku yang apabila ingin mengemudi harus terbantukan alat berkaca silinder itu. Aku lebih dulu keluar untuk sekedar membuka pintu gerbang sekalian menyalakan mesin mobil. Tiara berjalan bersisian dengan Andini, mengikuti dari belakang hingga terhenti di pintu rumah.

“Bun… ayah pergi dulu.” Ujarku pada Andini, dan tak lupa sebelumnya ku berikan tangan ini buat ia salim. Ternyata ku sadari jika semua itu menjadi perhatian penuh Tiara yang masih berada di samping Andini.

“Aku? Tiara ke.. kep… pengen juga pak ayah…” celetuk Tiara sambil memberikan gesture untuk meminta tanganku buat ia salim, seperti yang Andini lakukan barusan.

“Loh dek. Kan kamu yang pergi, kok malah udah mau minta saliman segala. Hehehe” itu Andini.

“Eh iya yah ups…. tuk… tuk….” gadis itu tersadar, dan jari telunjuk mungil dan lentik itu ia ketukkan ke dahinya sendiri.

Aku yang memperhatikan, tak memberi respon yang berlebih. Hanya senyum semata.

Setelahnya, aku memungkasi sesegera mungkin biar obrolan tidak memending niatku untuk segera keluar dari rumah.

“Kak… Tiara pergi dulu ya. Pinjem pak ayah dulu. Hehe” pamit Tiara ke Andini.

“Dasar. Ambil aja sana, yang penting kudu di pulangin dengan utuh yah pak ayahnya” malah Andini menimpali. Dan aku yakin, itu hanya sekedar candaan semata.

Begitu dari ekor mata, ku sadari jika Tiara sedang menatapku dengan ekspresi lucu, aku segera mengambil sikap. “Bunda….” aku bergumam, sekedar untuk menegur Andini. Jika bercanda itu, kudu di pikirkan juga. Meski sekedar gumaman, tapi sarat akan ketegasan.

Hal itu membuat Tiara malah terdiam. Kepalanya yang bertopi coklat, sampai tertunduk.

“Tuh kan yah. Tia jadi takut lagi ama ayah…. ayah sih. Ihhhhh, di bilangin Tiara takut tuh, malah makin di buat takut” Aku hanya merespon dengan menggeleng kepala saja. Aku tak ingin, sikapku akan di pandang berlebihan, khususnya pada Tiara.

“Ya sudah, ayah jalan dulu…. Assalamualaikum” tak ku hiraukan ucapan istriku, aku segera berpamitan padanya.

“Wa’alaikumsalam….” itu Andini.

“Wa… walaikumsalam…” loh he? Itu juga Tiara? Kenapa dia membalas salamku? Meski dia tak sekeyakinan dengan kami, tapi hal biasa ku dengar, ketika salam ku ucapkan, mendapatkan balasan dari orang yang tak seagama. Tapi, justru bukan itu yang menjadi perhatianku, meski aku tak lagi melihat ke arah mereka, melainkan….

“Ihh kamu juga ikut sana. Malah diem bae, malah balesin salamnya ayah. Piye toh dek” nah ini yang aku maksudkan.

“Tiara takut…. kak.”

Aku akhirnya menoleh, pada akhirnya pula, ku berikan senyum pada gadis itu. “Yuk Ra. Gak usah takut, saya bukan pemakan manusia, saya hanya suka makan capcay saja”

“Hehehehehe….” gadis itu tertawa renyah. Anehnya, kenapa aku bisa merasa selega itu ya?

“Kak…. Tia jalan dulu ya” ahhh, akhirnya, gadis itu kembali seperti sedia kala. Riang dan ceria.

“Iya… hati-hati.” Balas Andini. Aku sempat bersitatap dengan istriku itu, dia hanya melempar senyum di sertai kepala berkerudungnya yang terangguk.

And then….

Di sinlah kami berada. Di dalam mobil, di jalan menuju ke bekas kampusku dulu. Yang sekarang menjadi kampus gadis yang duduk di sebelahku.

Awalnya ku suruh gadis itu untuk duduk di belakang, di jok tengah, karena aku takut, aku malah jadi kurang fokus akibat keseringan memalingkan pandanganku ke tubuh bagian bawahnya yang hanya ber-rok jeans biru muda semata, yang menunjukkan sepasang paha putih mulusnya itu. Dan ia malah nyeletuk, “Tiara gak mau ah, pak. Bentar di kira Tiara kurang ajar karena udah biarin bapak sendirian nyetir di depan, mirip supir taksi online… ups!” setelahnya, ia menutup mulutnya dengan telapak kanannya itu.

Aku hanya senyum tipis saja.

“Ya sudah, jika memang itu yang kamu inginkan.”

Tiara dengan riang masuk ke dalam mobil, mengambil posisi nyaman di sebelah jok kemudi. Aku yang belum masuk ke dalam, sepintas sempat merasakan getar menggoda dalam sana, karena lagi-lagi, proses saat gadis itu duduk, roknya agak tertarik ke atas. Ahhh, again. ‘Maafkan saya’. Maaf, karena telah lancang melihat sepasang paha yang begitu proporsional, putih mulus bak pualam, bahkan saking putihnya, tampak samar aku bisa melihat beberapa urat-urat berwarna kehijauan di sana.

Ahhh, bukankah, sudah bukan hal baru aku melihat paha wanita seputih itu? Bukankah sepasang paha Andini juga putih, meski pemenangnya masih milik gadis itu.

Namun….

Sumpah, ada rasa yang tak mengenakkan kembali hadir menggoda di dalam sana. Tapi segera ku paksa buat membuang jauh-jauh pemikiran tak logisku barusan, dan untuk memungkasi acara kebekuan diri ini, aku segera masuk dan memposisikan diri di belakang kemudi.

Sebelum benar-benar meninggalkan rumah, aku sempat menatap dari dalam mobil, ke dalam mata Andini yang berdiri di sisi pintu pagar, melambaikan tangan, pun mendapat balasan juga dari Tiara yang membuka kaca mobil, untuk sekedar meredakan gejolak tak normal di dalam dada ini.

Semakin menjauhnya mobil ini berjalan, semakin aku mencoba seberusaha mungkin agar tidak memalingkan wajahku ke samping. Lebih tepatnya sedikit ke bawah. Karena aku tahu, amat sangat sadar, jika sepasang paha yang sempat terkagumi itu sudah terekspose dengan sempurna, pun, sang empunya malah biasa-biasa saja. Malah aku juga merasakan, jika ini bukan karena di sengaja. Sikap gadis lucu di sebelahku ini sama sekali tidak ada unsur menggoda.

Gadis yang polos….

Tiara….

Kenapa engkau menyiksa seperti ini, dek?

“Pak… Tia boleh muter lagi, gak?” satu seruan akhirnya menyadarkanku dari lamunan.

“Iya.” Balasku singkat, sedikit saja menoleh padanya. Tanpa menurunkan sedikit pun pandanganku ke bawah.

Dan pada akhirnya, gadis itu pun mulai mengutak-atik layar entertainment mobil yang sudah ku modifikasi sebelumnya menggunakan jasa bengkel variasi langgananku. Rupanya Tiara mengonect-kan dengan kabel USB ke ponselnya, dan mulailah terplay beberapa lagu yang sejujurnya, lagu-lagu yang di minati gadis ini cukup berat. Seperti lagu ‘Mika – Berjudul Grace Kelly’, dan beberapa lagu yang sejenis.

Ketika lagu Mika tadi terplay, aku pun cukup takjub di saat gadis itu mengikuti setiap bait lagu alias sedang ikut menyanyi. Suaranya bagus. Amat sangat bagus malahan. Andai dia tak memiliki impian menjadi dokter, mungkin ikut ajang pencarian bakat adalah pilihan yang baik, mengingat suaranya cukup oke ku dengar.

Oh iya….

Sedikit berkomentar….

Jika ingin mendengar bagaimana suara Tiara saat menyanyikan lagu Mika – Grace Kelly, silahkan searching di youtube, dengan kata kunci “X-Factor Febri Mika GraceKelly”. Suaranya, bahkan penampilan lucunya, mungkin nyaris sama.

 

Karena hal itulah, memancing mulut ini untuk memberinya komentar.

“Suara yang bagus”

“Eh?” Tiara merespon, menoleh secara spontan kepadaku. Bahkan ia mengecilkan volume lagu dari ponselnya. “Astagaaaa…. jadi pak ayah suka ama suara Tia?” meski ia menatap dari samping, tapi tatapannya sukses mematok jantungku. Nyaris menghentikan detakannya barusan.

“Iya….” balasku.

Dari ekor mata ini, aku sempat menyadari jika respon yang ku berikan padanya menghadirkan mimik lucu pada wajahnya. Di tunjukkan juga dengan bibir bermerah jambu-nya yang mungil, mengerucut lucu. “Always…. and always” lagi, gadis itu bergumam.

Tiara…

Maafkan aku…. Aku sengaja membalas hanya seperti itu, karena caramu menatap mengganggu konsentrasiku, dek. Aku membatin.

Ada gerakan kecil yang gadis itu lakukan di sebelahku.

Hmm, apakah dia lagi kesal karena aku meresponnya seperti tadi?

Setelah beberapa jenak aku mencoba untuk tak menghiraukannya, gadis itu bergumam sendiri. “Udah ah, mending dengerin lagu lagi….”

Aku menoleh padanya, lagi.

“Kamu kenapa, Ra?”

Dia mengecilkan kembali volumenya.

Setelahnya, dia membalas tatapanku. Kepala bertopi coklatnya itu menggeleng pelan. “Pak Rudi menyeramkan…”

Ha? Aku sampai mengernyit mendengarnya. “Ada-ada aja kamu”

“Seriusan….” Kenapa dia sampai menahan nafas? Terlihat jelas dari lehernya yang agak terpekik. “Ataukah… Tia yang terlalu takut?” dia melanjutkan.

“Tidak perlu takut kepada saya, Ra.”

“Hmm…. iya kah?” dia membalas, tatapannya menyipit, seakan ingin mencari tahu sesuatu, yang entah apa yang ingin ia cari padaku. Apakah keseriusan?

Untungnya percakapan yang menurutku aneh ini, yang di selingi dengan acara tatap-menatap, akhirnya terhenti juga di saat mobil mulai memasuki area kampus.

Tak begitu lama, aku memarkir mobil di pelataran fakultas kedokteran.

“Sudah sampai.” Aku berucap, pelan, sambil menarik tuas rem. Masih belum meng-off-kan mesin.

“Iya, hehehe” balasnya. “Mau nemenin Tia ke dalam, gak, pak?”

“Ha? Buat apa?”

Dia cemberut. Bibirnya itu loh, oh tidak. Kenapa aku kembali bergejolak saat menatap bibirnya yang kembali mengerucut lucu itu?

“Tia takut kalo jalan sendirian pak, apalagi udah mau… mau magrib….” kepalanya sedikit tertunduk. Kemudian terangkat kembali, untuk sekedar menunjukkan ekspresi penuh harapnya itu kepadaku.

“Ohh….” tanpa ngomong lagi, aku segera membuka pintu mobil, keluar dari mobil.

Begitu aku sudah berada diluar….

Nah loh, dia malah diam saja di dalam mobil sambil menatapku dengan ekspresi yang sulit buat ku narasikan pada kalian saat ini. Ekspresinya, hmm, tidak seperti ekspresi periang nan lucu yang selalu dan selalu ia tunjukkan.

Aku mengernyit.

“Kenapa?”

Dia mengeleng tanpa suara. Kemudian, samar ku dengar gadis itu menarik nafas.

“Gak apa-apa…. hehehehe, yuk pak ayah.” loh? Jenak berikutnya, aku merasa lega, karena sikapnya sudah kembali seperti semula lagi. Gila sih ini anak. Sepertinya punya kepribadian lain yang ia sembunyikan selama ini. Tepok jidat!

 

Sambil berjalan ini, sepertinya aku terlalu cepat. Karena beberapa kali, ku sadari saat gadis itu ingin menyejajarkan langkah kami, justru tertinggal. Aku pun memelankan langkahku, membuat gadis itu berhasil menyejajarkan langkah kami berdua.

Dia mendongak. Menatapku.

“Heheheh….” sambil tertawa renyah, tangannya memegang topinya.

“Kenapa ketawa?”

“Gak apa-apa” dia membalas, sambil menggeleng.

“Ohhhh….”

Again….

Gadis itu kembali cemberut.

Karena tak ada kejadian yang berarti, maka aku tak perlu menjelaskan panjang lebar ke kalian ya. Hanya sekedar proses di mulai dari mengambil laptop gadis itu yang tertinggal di ruang sekret, lalu berjalan kembali menuju ke parkiran, menuju ke mobil, yang lagi-lagi, semakin dan semakin membuatku merasa gemas padanya, karena sikap malu-malu nan lucu yang kerap ia tunjukkan padaku. Apalagi di saat ku beri respon singkat, ketika ia selesai berbicara panjang lebar. Sudahlah, intinya yang ku lakukan, hanya berusaha untuk tidak bertindak lebih. Apalagi sampai ku rangkul tubuh mungilnya, merapatkan kepadaku, untuk sekedar melampiaskan perasaan gemas dan gejolak dalam dada ini, terhadapnya.

“Makasih pak ayah….” ujarnya ketika kami telah duduk di dalam mobil. Masih bersisian.

Aku menoleh, “Untuk?”

“Gak apa-apa…. makasih aja”

“Ohhh…”

“Oh iya, kata kak Dini tadi, bapak mau ke mall belanja gitu ya?” dia mengalihkan, dan sepertinya gadis itu tak ingin berlama-lama menatapku.

Makanya…

Kini….

Gadis itu pun mulai membuka topinya. Menggerakkan badannya, lebih ke mengangkat tubuhnya sedikit saja, buat sekedar menaruh topinya di jok belakang.

Karena hal inilah….

Seperti gerakan slow motion, di saat aku juga baru saja menoleh ke samping, sekedar ingin melihatnya, begitu ia ingin mengembalikan badannya seperti semula, tiba-tiba saja, posisi kami sudah amat sangat dekat.

Tiara….

Ahhhh, jangan menatapku seperti itu, dek. Sungguh, aku tak sanggup bertahan lagi jika kamu tak mengalihkan pandanganmu itu, dariku.

Jangan tanyakan bagaimana kini detak jantungku di dalam sana, di saat, Tiara masih saja tak merubah posisinya. Posisi yang setengah menyerong ke samping, tapi wajahnya, hanya berjarak sesenti saja dari wajahku. Yang juga kebetulan, posisi kepalanya agak berada di atas. Tak sejajar dengan kepalaku.

Yang bodohnya…

Aku menengadahkan kepala ini, buat sekedar menatap ke dalam matanya.

Tidak….

Aku harus mampu mengontrol diri ini. Karena semakin lama kami membeku seperti ini, maka, aku tak mampu menggaransi loyalitas pernikahanku akan terjaga dengan baik.

 

Andini….

Tolong suamimu…

Ya Allah, berikan hamba kekuatan untuk segera melepaskan diri dari sihir pesona gadis ini.

“Pak Ayah…. ke… kenapa li… liatin Tia ka…. kayak gitu?”

Alhamdulillah, wasyukurillah….

Syukurlah, dengan suara yang mulai samar terdengar di indera pendengar ini, mengharuskanku memberinya respon. Aku tersenyum, meski sekali lagi, jarak kami berdua hanya terpisahkan sesenti saja.

“Maaf…” hanya itu yang mampu terucap, lalu, akupun berhasil mengembalikan fokusku, menjauhkan posisi kepala ini darinya. “Ayo jalan lagi….”

Samar….

Aku mendengar, tarikan nafas panjang di samping, di iringi gerakan tubuhnya yang kembali duduk seperti semula.

 

Tiara…..

 

Apakah kamu sadar, kita berdua tadi, nyaris bersentuhan, dek?

Nyaris saja bibir ini mengecap bibir mungilmu, yang kemerahmudaan itu…..

 

Bersambung Chapter 5

TIARA …

TIARA …

Score 10
Status: Ongoing Author: Released: 2024
Namanya Tiara…. Gadis lucu, periang, menggemaskan yang masih amat sangat muda. Karena kegabutan Andini istriku, membuka kos-kosan di rumah, gadis itu pun menjadi salah satu penghuninya. Gadis lucu pemilik senyum yang mempesona itu, sama sekali tidak pernah bersikap yang menggoda, tapi mengapa aku tergoda? Ahhh, Andini, maafkan suamimu, karena mulai tergoda oleh sesosok bidadari penghuni kamar di lantai 2.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset