Bab 2
Terus Berlatih
Pagi itu Xavier bergegas menghampiri ayahnya yang hendak pergi bekerja. Pria kecil itu berlari menemui sang ayah, yang berada di ambang pintu. “A—Ayah, apa… apa aku boleh pergi ke akademi?” tanya Xavier dengan suara yang bergetar. Alex, ayah pria kecil itu langsung menatapnya dengan penuh murka. Ia bahkan mendorong tubuh putranya, agar tak berdiri berdekatan dengannya.
“Kau mau membuatku malu?!” bentak Alex membuat Xavier gementar. Namun, pria kecil itu memberanikan diri untuk mendapat izin dari sang ayah. Xavier terus berusaha mendapat izin dari ayahnya. Pasalnya ia berpikir dirinya akan memiliki kekuatan, jika ia ikut bergabung ke akademi. “Ta—Tapi ayah, aku… nanti… aku bisa berlatih di sana. Pasti… pasti aku juga akan bisa—“ Belum selesai pria kecil itu berbicara, Alex segera menyela. “Tetap diam di rumah! Jangan coba-coba melangkah keluar!”
Alex tak hanya membentak dan mengecam putra bungsunya. Ia tak mau orang luar mengetahui kekurangan Xavier yang sebenarnya. Sehingga ia dan Prita sepakat untuk mengurung putra bungsu mereka di rumah. “Jangan berani kau meminta apa pun lagi!” Setelah berkata dengan sangat kasar pada Xavier, pria itu pun segera pergi meninggalkan putranya.
Xavier hanya bisa tersenyum pahit. Ia pun lekas kembali ke kamarnya. Pria kecil itu menyelubungi seluruh tubuhnya dengan selimut dan mulai menangis sejadi-jadinya. Anak kecil itu menangis di atas ranjangnya sambil memeluk erat bantalnya. Pasalnya, kini ia tak bisa memeluk kedua orang tuanya lagi.
“Aku juga mau punya kekuatan… aku juga mau seperti yang lain…” ucap Xavier dalam tangisnya. Pria kecil itu sangat bingung dengan keadaannya sendiri. Ia tak tahu mengapa ia berbeda, padahal ia terlahir dari keluarga yang memiliki kekuatan magis. Ia pun sangat ingin sama seperti yang lainnya. Sayangnya, ia keinginannya tak bisa terwujud.
Selama terkurung di dalam rumah, Xavier terus berusaha melakukan berbagai cara agar ia memiliki kekuatan seperti yang lainnya. Pria kecil itu membaca berbagai buku ketika semua orang pergi. Kemudian, ia melatih fisiknya dan mencoba mempraktikkan semua yang dibacanya. Namun, semuanya berakhir sia-sia. Meski ia sudah berusaha keras, ia tak pernah memiliki kekuatan magis.
Xavier akhirnya berpikir untuk pergi ke akademi. Ia mengira dirinya akan memiliki kekuatan magis, ketika belajar di akademi. Sayangnya, ide itu langsung ditolak oleh sang ayah. Usai mendapat penolakan dari ayahnya, Xavier tak mau mencoba bertanya pada sang ibu. Sebab ia tahu, ibunya akan memberikan jawaban hal yang sama.
***********
Xavier kini bergegas meninggalkan kamarnya. Ia berlari menuju halaman belakang, sembari menghapus air matanya. Pria kecil itu tak mau terus-terusan menangisi nasibnya. Ia memilih untuk berusaha, agar dirinya dapat diterima kembali oleh ayah dan ibunya.
Setibanya di halaman belakang, Xavier segera melakukan pemanasan kecil. Lalu, ia mulai melakukan squat, push-up, pull-up, sit up dan plank. Pria kecil itu memaksakan diri melakukan semua gerakan itu selama puluhan kali. Ia tak menghiraukan kondisi tubuhnya yang kelelahan. Akhirnya Xavier pun jatuh tak sadarkan diri, saat sedang melakukan plank pada hitungan yang kedua puluh lima. Beruntungnya, saat itu kedua kakaknya sudah kembali ke rumah.
Kala itu Vidor dan Wren, kedua kakak Xavier, hendak menemui adik kecil mereka seusai pulang dari akademi. Kedua pria itu mencari adik bungsu mereka ke setiap ruangan. Namun, mereka tak bisa menemukan pria kecil itu.
Saat Vidor dan Wren mencoba mencari ke halaman belakang, mereka menemukan Xavier tergeletak tak sadarkan diri. Kedua pria itu pun bergegas menghampiri adik mereka. Vidor dan Wren mencoba memanggil dan menggoyang-goyangkan tubuh pria kecil itu. Namun, tak ada respons.
Vidor pun lekas membopong Xavier ke kamarnya, dan ia menyuruh Wren memanggil dokter. Sayangnya saat Wren hendak keluar dan memanggil dokter untuk sang adik, ayah mereka telah tiba di rumah. Pria itu langsung menyuruh Wren kembali ke dalam rumah. Ia melarang putranya memanggil dokter ke rumah mereka.
Wren dan Vidor sempat berdebat dengan Alex, karena ayah mereka tak mau memanggil dokter untuk Xavier. Namun, perdebatan itu tak berlangsung lama. Pria itu membungkam mulut anak-anaknya dengan perkataannya. “Kalian bisa bertanggung jawab, kalau sampai mulut dokter itu bocor ke mana-mana?!” teriak Alex membuat kedua anaknya terdiam.
“Kita bisa kasih dokter itu uang, dan minta dokter itu untuk diam.” Vidor berpikir bisa bernegosiasi dengan dokter yang akan dipanggil mereka, saat diberikan pelicin. Namun, sang ayah malah menertawakannya dan Wren. “Kalian pikir, dokter itu sudah kaya. Kalian mau bayar berapa? Dan mana mau mereka menutupi aib seperti dia!” Alex terlihat sangat kesal. Pria yang dulunya sangat lembut dengan anak-anaknya, kini sering berteriak dan membentak anak-anaknya.
“Begitu dokter itu buka mulut, kita semua bakalan malu selamanya. Sekalipun kalian orang-orang terberkati, kalian juga bakal kena getahnya!” Alex memberitahu pada kedua putranya, bahwa mereka akan menerima penghinaan yang luar biasa jika orang lain mengetahui kekurangan Xavier. Kata-kata pria itu pun membuat anak-anaknya bungkam. Mereka tak bisa membantah perkataan Alex lagi.
Vidor dan Wren pun lekas menuju ke kamar Xavier. Mereka menatap sang ayah dalam diam dan bergegas pergi. Setibanya di kamar pria kecil itu, mereka mendapatinya telah siuman.
Vidor dan Wren bergegas menghampiri Xavier. Mereka duduk di sisi kiri dan kanan tempat tidur adik mereka, sedang pria kecil itu masih berbaring. “Kak Vidor, kak Wren. Maaf, semua salah aku.” Xavier menatap kedua kakaknya lekat dan segera meminta maaf. Pria itu merasa bersalah karena membuat kedua kakak dan ayahnya bertengkar. Namun, kakak-kakaknya tak menyalahkannya atas perdebatan mereka.
“Kamu istirahat saja. Nanti, biar kita antarkan makan malammu. Setelah itu kamu harus istirahat lagi,” ucap Vidor lembut dan Xavier pun mengangguk pelan. Lalu, kedua kakaknya lekas meninggalkan kamar adik kecil mereka. Para pria itu ingin Xavier beristirahat, pasalnya mereka tak bisa memanggil dokter untuk memeriksa pria kecil itu. Mereka tak bisa memberikan sembarangan obat padanya. Satu-satunya pilihan adalah menyuruh adik mereka beristirahat.
************
Xavier kini hanya sendiri di kamarnya. Kedua kakaknya telah pergi dan kini semua anggota keluarga sedang makan malam bersama. Di saat itu, Xavier diam-diam memanjat jendela kamarnya dan keluar ke halaman belakang. Pria itu meninggalkan kamarnya dengan membawa sebuah buku tebal di tasnya. Ia mengambil buku itu di bawah kolong tempat tidur dan bergegas pergi.
Saat tiba di halaman belakang, Xavier lekas mengeluarkan buku yang dibawanya. Ia membuka buku itu dan mulai mempraktikkan apa yang dibacanya. “Kali ini aku pasti bisa,” gumam pria kecil itu. Xavier benar-benar tak ingin menyerah dengan keadaannya. Meski pun ia selalu gagal saat mempraktikkan apa yang tertulis dalam buku tebal yang dibawanya itu.
Xavier memejamkan kedua matanya dan menghirup udara malam itu. Lalu, ia menahan nafasnya selama sepuluh detik dan menghembuskan nafasnya. Setelah itu, Xavier melipat tiga jari tangan kanannya. Sedangkan sebelah tangannya memegang pergelangan tangan kirinya. Pria itu bertindak seolah-olah sedang memegang pistol dan menembak ke arah udara.
Xavier melakukan gerakan itu berulang kali. Namun, tak ada apa pun yang keluar dari ujung jari telunjuknya. Pria kecil itu pun menjadi kesal, tetapi dengan cepat ia meredamkan amarahnya. “Ayo, coba yang lain.” Pria itu lekas menunduk dan membaca halaman berikutnya.
Xavier mengarahkan tangannya ke langit selama beberapa saat. Lalu, ia mengarahkan tangannya ke tembok rumah. Namun, lagi-lagi tak ada apa pun yang keluar dari telapak tangannya. “Kenapa? Kenapa?” Kedua kaki Xavier menjadi lemas dan ia jatuh dengan kedua lutut yang mendarat di atas rerumputan hijau.
Xavier merasa kesal dan kecewa karena ia terus gagal. “Aku benci diriku! Aku benci, aku benci, aku benci!” Dalam hatinya, Xavier sangat membenci dirinya sendiri. Ia benci pada dirinya yang terlahir berbeda. Ia benci pada dirinya, yang selalu gagal saat mempraktikkan isi buku yang dibacanya.
Xavier mengambil buku tebal yang tadi dibawanya keluar. Ia lekas berdiri dan menatap lekat buku itu. “Percuma! Semuanya percuma!” Pria kecil itu membatin seraya menatap lekat buku di tangannya. Lalu, dengan rasa kesal dan kecewa, Xavier melempar buku itu dan bergegas menuju kamarnya.
Saat tiba di kamar, Xavier mendapati Prita sudah berada di kamarnya. Kedua matanya pun saling bertemu dengan mata sang ibu. “Turun dari jendela!” bentak Prita dan Xavier lekas turun dan menghampiri sang ibu.
Plak!
Xavier langsung menerima tamparan keras, ketika ia menghampiri ibunya. Prita menatap putra bungsunya dengan kesal, seraya berkacak pinggang. “Apa aku pernah menyuruhmu meninggalkan rumah?!” Tatapan mata Prita membuat putra bungsunya ketakutan. Pria kecil itu akhirnya menunduk dan menggeleng pelan kepalanya.
“Ibu… aku… aku hanya ke halaman,” jawab Xavier dengan suara bergetar. Prita menjadi murka kala mendengar jawaban anaknya. Ia lekas meraih dagu putra bungsunya dan menampar kedua pipinya dengan keras. “Anak aib! Apa kau tak tahu cara keluar yang benar?!” Amarah Prita meledak-ledak. Ia pun segera menghajar putra bungsunya habis-habisan.
Xavier kini duduk bersimpuh dengan tubuh bersandar pada tempat tidur. “Ingat baik-baik, jangan pernah ulangi lagi dan jangan pernah keluar dari rumah!” ancam Prita seraya mencengkeram dagu Xavier. Pria kecil itu pun hanya mengangguk pelan. Ia tak berani mengeluarkan suaranya di hadapan sang ibu.
“Kau akan tahu akibatnya kalau berani melangkah meninggalkan rumah ini!” ancam Prita membuat kaki dan tangan Xavier bergetar. Wanita itu mencengkeram dagu putra bungsunya, sambil menatap penuh kebencian. Usai mengancam Xavier, wanita itu lekas meninggalkan kamar pria kecil itu.