Mendengar pertanyaan Rosminah, Malik menatap perempuan itu dengan wajah lesu, kemudian menggeleng.
“Dia tidak mau memaafkan saya, Tante.” Malik menjawab lesu.
“Tante minta maaf, ya, Mal. Anak ini memang sedikit keras kepala.” Rosminah meminta maaf pada Malik.
“Tidak perlu minta maaf, Tante. Mungkin memang saya yang tidak pandai menjaga perasaannya. Jadi … saya yang harus meminta maaf sama Tante dan juga om Ridwan karena mulai besok saya tidak menjemput Isha lagi. Dia tak mau saya menjemputnya, Tante. Saya minta maaf,” ujar Malik mengangguk canggung.
“Astaga, Mal. Ini bukan salah kamu. Tante yang harusnya minta maaf karena selama ini sudah merepotkan kamu dengan menjemput Isha setiap hari.” Rosminah merasa tak enak hati.
“Tidak apa-apa, Tante. Saya merasa tidak direpotkan. Kalau begitu saya permisi, Tante,” pungkas Malik kemudian bergegas keluar dari rumah Isha, meninggalkan Rosminah yang bingung.
Perempuan itu kemudian bergegas menuju ke kamar Isha. Sampai di sana dilihatnya anak gadisnya itu sedang tengkurap. Bahunya sesekali terdengar terguncang, seperti habis menangis. Rosminah kemudian duduk dengan pelan di sisi ranjang.
“Malik sudah mengatakan semuanya. Dan Ibu rasa … ini memang tidak sepenuhnya kesalahan dia,” ujar Rosminah dengan suara lembut.
Rosminah tahu bagaimana perangai Isha. Makanya dia harus bicara dengan pelan. Mendengar kalimat ibunya, spontan Isha membalikkan badannya dan menatap ibunya.
“Bu, tapi Isha malu. Semua orang di sekolah mengejek Isha pacaran sama dia. Isha, kan, malu, Bu?” elak Isha.
Rosminah tersenyum.
“Mengapa harus peduli dengan omongan orang lain? Yang penting kamu sama Malik tidak ada hubungan apapun selain teman, kan?” tanya Rosminah.
“Isha hanya teman sama dia. Tapi dia?” tanya Isha yang menghentikan kalimatnya dengan wajah bersemu merah.
Rosminah menatap Isha dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Rosminah yakin, ada sesuatu yang Isha sembunyikan.
“Mengapa dengan dia?” tanya Rosminah.
“Dia … dia … takutnya dia yang punya perasaan lain sama Isha,” jawab Isha bersungut-sungut masih kesal ketika ingat bahwa Malik ternyata sudah mengkhianati persahabatan mereka dengan menaruh hati padanya.
Mendengar jawaban Isha, Rosminah tersenyum.
“Itu, kan, hanya dugaan kamu saja? Malik itu teman kamu sejak kalian duduk di bangku sekolah dasar. Dia sudah menganggap kamu sebagai adiknya karena keluarga kita memang dekat dengan mereka, kan? Bagaimana kalau ternyata dia tidak menyukaimu seperti yang kamu takutkan? Kamu sudah habis-habisan membencinya, tapi ternyata dugaanmu salah.” Rosminah memberikan nasehatnya.
“Pokoknya Isha nggak mau lagi berteman sama dia. Titik!” Isha masih seperti biasanya, keras kepala.
“Sifat keras kepala dan egoismu ini membuatmu kesulitan menemukan teman yang awet, kan? Ini Malik yang sudah berteman sekian waktu sama kamu juga akhirnya nggak akur lagi, kan? Ibu hanya mengingatkan, alangkah baiknya jika kamu mulai menurunkan sifat egois kamu, Sha. Kamu sudah mulai beranjak dewasa sekarang, kan?” kata Rosminah penuh kesabaran.
“Jadi Ibu mau aku tetap berteman sama dia? Jadi bahan tertawaan teman-teman di sekolahan akibat foto itu?” tanya Isha dengan keras kepala.
“Ibu tidak ingin menjerumuskan kamu agar jadi bahan tertawaan, Sha. Tapi kamu harus sedikit objektif dalam memandang masalah. Itu bukan kesalahan Malik. Coba kamu pikir dengan pikiran yang jernih. Jangan sampai kamu salah membenci orang,” ujar Rosminah sedikit tegas.
“Tapi, Bu?” protes Isha.
“Sudah, Isha. Ibu tak ingin masalah ini panjang. Kalau kamu memang sudah memutuskan untuk tidak lagi berteman dengan Malik, setidaknya mulai sekarang kamu harus belajar mandiri kesana kesini sendiri. Harus mulai belajar sendiri karena Malik tidak akan menolong kamu lagi,” ujar Rosminah.
“Ibu marah sama aku?” tanya Isha semakin salah paham.
“Ibu hanya memberitahu kamu apa yang harus kamu lakukan ketika kamu memutuskan untuk menjauh dari Malik, Sha. Bukan marah.” Rosminah kemudian keluar dari kamar Isha.
Sementara Isha semakin kesal karena semua orang sepertinya berpihak pada Malik. Tadi di sekolah Risna juga demikian. Ini di rumah ibunya juga melakukan hal yang sama. Tidak tahukah mereka bahwa Malik sudah mengambil keuntungan dari kecelakaan itu? Tidak tahukah mereka bahwa dia malu karena kecelakaan itu membuatnya merasa dicium oleh Malik?
“Eeerrrggghhh …” Isha yang geram menghantam bantalnya.
***
Sesampai di rumah, Malik terlihat lelah. Ibunya yang baru selesai sholat menatap Malik yang siang ini terlihat murung, tak biasanya Malik seperti itu. Meski dia selalu mengucap salam dan tetap mencium tangan ibunya, namun setelahnya laki-laki itu langsung menuju ke kamarnya dan melempar tubuhnya ke atas kasur sederhana itu. Memang orang tua Malik yang seorang guru itu selalu bergaya hidup sederhana. Rumah dengan model sederhana, juga kehidupan yang sederhana.
“Nggak makan dulu, Mal?” tanya Aminah, ibu Malik.
“Nanti saja, Bu. Masih kenyang. Tadi sudah makan di sekolah,” jawab Malik.
“Nggak sholat dulu?” tanya Aminah lagi.
“Ganti baju dulu, Bu,” jawab Malik lagi.
Malik merebahkan tubuhnya dan meraih ponsel yang ditinggalkannya. Dia mencari room chatnya bersama Isha. Meskipun tadi sudah meminta maaf dan bicara apa adanya, dan bahkan Isha menegaskan bahwa dia tak mau berteman lagi dengannya, namun Malik masih saja membuka profil gadis itu.
Sejujurnya, dia masih berharap bahwa Isha akan menghubunginya dan tetap berteman seperti biasa. Meskipun Malik tahu bahwa Isha tak akan semudah itu berubah pendirian mengingat dia yang keras kepala dan memiliki harga diri yang terlalu tinggi.
“Mal?” panggil Aminah dari depan pintu kamar Malik.
“Ya, Bu,” sahut laki-laki itu dari dalam.
“Boleh Ibu masuk?” tanya Aminah.
Malik mengerutkan keningnya. Dia kemudian bangkit dan membuka pintu kamarnya.
“Ada apa, Bu?” tanya Malik.
“Katanya ganti baju dulu baru sholat? Kok masih pakai seragam?” ujar Aminah.
Malik tersenyum, mengabaikan kegundahannya dan mengikuti saran ibunya untuk segera ganti baju dan sembahyang.
“Ayah belum pulang, Bu?” tanya Malik begitu keluar dari mushola kecil yang ada di dalam rumah mereka itu.
“Belum. Mungkin ada les anak kelas tiga. Kemarin bilangnya seperti itu,” jawab Aminah yang lantas mengajak Malik ke ruang makan.
“Saya masih kenyang, Bu. Tadi Isha bawain makanan lagi,” jawab Malik dengan sedikit rasa nyeri ketika menyebut nama Isha.
“Ya, sudah. Ibu lihat kamu murung pulang tadi? Apa kamu ada masalah? Sama teman, sama guru atau sama Isha barangkali?” tanya Aminah.sambil menyendokkan nasi di atas piringnya.
Deg! Malik berdebar. ‘Apakah ibunya memperhatikan wajahnya tadi?’
“Nggak ada masalah, Bu. Hanya saja tadi cuaca panas jadi sedikit lelah dan lesu rasanya. Oh, ya, Bu. Saya ngantuk pengen tidur. Ibu nggak apa-apa, kan, makan sendiri?” tanya Malik kemudian bangkit meninggalkan meja makan, membiarkan Aminah makan sendirian.
“Mal? Ibu makan sendirian ini?” tanya Aminah.
“Panggil Anisa saja, Bu, untuk menemani Ibu makan,” jawab Malik dari dalam kamar.
Aminah hanya mengerutkan keningnya.
“Bagaimana mau makan sama Anisa, dia saja belum pulang sekolah,” gumam Aminah sambil mengerutkan keningnya heran.
***