Malik terlanjur dihantui oleh perasaannya sendiri mengenai keselamatan Isha. Mungkin terlalu berlebihan jika Malik berpikiran mengenai keselamatan karena secara umum jelas tidak ada yang mengancam keselamatan Isha. Akan tetapi Malik tahu betul siapa dan bagaimana Rendra.
Maka ketika jam kelasnya berakhir, dia segera bergegas menuju ke depan kelas Isha yang letaknya agak jauh dari kelasnya itu. Meskipun mereka berada di dalam kompleks gedung yang sama, akan tetapi jarak kelas mereka lumayan jauh karena memang Isha masih baru masuk kelas satu sementara Malik dan Rendra sudah kelas tiga.
Maka disinilah Malik kini, duduk di bangku yang ada di depan kelas Isha seperti orang bodoh. Yang menyebalkan adalah entah mengapa guru kelas Isha siang ini tidak segera menyudahi pelajaran padahal bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.
Akan tetapi menjaga Isha sudah hampir menjadi kewajiban bagi Malik, semenjak mereka masih anak ingusan. Apalagi peristiwa di kantin tadi kembali membayang di kepala Malik, membuatnya merasa terganggu. Namun ada hal yang tak kalah mengganggu adalah pernyataan Andi yang mengatakan bahwa dia menyukai Isha.
Tanpa sengaja Malik tersenyum masam. Seketika dia ingat dengan percakapannya dengan Andi beberapa jam lalu.
“Memangnya kesimpulanku salah?” tanya Andi ketika Malik mengenai kesimpulan Andi bahwa dirinya menyukai Isha.
“Bagaimana mungkin aku menyukai anak itu? Dia … dia itu teman bermainku sejak kami masih ingusan. Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri karena memang orang tua kami saling mengenal.” Malik menyangkal tuduhan Andi.
Mendengar pernyataan itu, Andi tersenyum.
“Tapi kekhawatiran kamu itu berlebihan. Bagaimana mungkin kamu melarang orang lain untuk mendekati Isha. Secara Isha juga cantik dan imut begitu?” ujar Andi membuat Malik melotot menatapnya tajam.
“Jangan bilang kamu juga punya keinginan untuk mendekati Isha, ya? Karena aku tidak akan bolehin kamu mendekati Isha,” ujar Malik penuh ancaman.
Meskipun Andi tahu bahwa itu hanya gertak sambal, akan tetapi justru hal ini semakin membuktikan bahwa dugaan Andi semakin benar. Andi lalu berniat menjahili Malik.
“Memangnya kenapa kalau aku juga ingin mendekati Isha? Nggak ada yang salah, kan? Dia gadis dan aku laki-laki single. Juga tulen!” Andi menambahkan keterangan dengan bahwa dia laki-laki tulen demikian gamblang. Tentu saja Andi sengaja melakukannya untuk memancing emosi Malik.
“Pokoknya tidak!” tolak malik dengan tegas.
Andi tertawa mendengar reaksi Malik yang demikian spontan.
“Sudahlah, Mal. Aku tahu yang kamu lakukan ini bukan sekedar menjaga karena dia adalah teman kecil kamu. Tapi karena kamu terobsesi agar dia tetap menjadi milikmu,” simpul Andi dengan telak, membuat Malik terdiam, tak bisa berkata-kata lagi.
Dan entah karena sugesti Andi itu atau memang karena Malik khawatir bahwa Rendra akan mengganggu Isha kembali, maka disinilah Malik saat ini. Duduk kemudian berdiri silih berganti nyaris seperti orang tak waras.
Berkali-kali dia melihat jam tangan yang dipakainya dan berdecak gelisah. Sebagian penghuni sekolahan ini sudah berhamburan keluar, sementara kelas Isha masih juga anteng. Namun penantian Malik kini selesai ketika melihat bahwa guru keluar diikuti oleh murid-murid. Mata Malik terus mengamati mereka.
Senyum kelegaan kemudian terlihat di bibir Malik saat Isha muncul di pintu. Laki-laki itu segera menghampiri Isha.
“Hei, Sha!” panggil Malik dengan senyum seperti biasanya.
Mendengar namanya dipanggil, Isha menoleh dan tersenyum lebar melihat Malik sudah ada di depan matanya.
“Lho, Abang sudah di sini?” tanya Isha dengan suara direndahkan saat mendekati Malik.
“Sengaja, sebelum keduluan sama Rendra,” jawab Malik dengan lugas.
“Ngapain juga ngurus orang nggak penting kayak begitu?” sungut Isha.
Malik tersenyum.
“Pulang kita?” tanya Malik.
Isha sudah mau mengangguk ketika lewat Risna di dekat mereka. Kemudian Isha yang usil memanggil Risna.
“Eh, Ris. Sini sebentar,” panggil Isha sambil meraih tangan Risna dan membawanya mendekat.
Malik mengerutkan keningnya dengan apa yang dilakukan Isha kali ini.
“Ada apa, Sha?” tanya Risna dengan canggung.
“Katanya tadi titip salam buat abangku. Nah, kebetulan dia ke sini, jadi sekalian kenalan. Ya?” Isha benar-benar terlalu usil kali ini sehingga membuat Malik harus melebarkan matanya ke arah Isha.
‘Apa-apaan, sih, anak ini?’ tanya Malik dalam hati.
Mendapat keusilan Isha seperti itu, Risna otomatis memerah mukanya.Tak ingin membuat anak orang semakin salah tingkah, Malik kemudian mengulurkan tangannya mengajak Risna berkenalan.
“Kenalkan, saya Malik. Abangnya Isha yang jahil ini,” ujar Malik.
Isha spontan melotot ke arah Malik, namun laki-laki itu hanya tersenyum untuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba berdesir sehingga membuatnya ketakutan sendiri karena terbayang dengan dugaan Andi bahwa dia menyukai Isha.
Risna yang seperti mendapat durian runtuh akhirnya menyambut uluran tangan tanpa perkenalan dari Malik.
“Risna,” jawab Risna ketika mereka berjabat tangan.
Tentu saja baik Malik maupun Risna sama-sama terkejut karena ketika mereka berjabat tangan, ternyata telapak tangan Risna demikian dingin. Namun demikian muka Risna berubah merah padam karena malu ketahuan grogi.
“Aku … aku duluan, ya, Sha. Permisi, Bang Malik. Terima kasih perkenalannya,” ujar Risna sebelum memilih kabur dari hadapan Malik atau dia akan semakin dipermalukan oleh dirinya sendiri karena reaksi tubuhnya yang memalukan tentu saja.
“Jangan usil lagi sama teman kamu. Kasihan Risna jadi merah begitu wajahnya,” omel Malik yang kemudian menggandeng tangan Isha layaknya menggandeng adiknya yang masih ingusan. Seperti yang dulu sering dilakukannya ketika masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Tapi sepertinya Malik lupa bahwa dia dan Isha bukan anak sekolah dasar lagi. Mereka sudah remaja kini.
Tentu saja hal ini membuat Isha malu dan segera menarik tangannya dari genggaman Malik.
“Abang apa-apaan, sih? Malu,” ujar Isha dengan suara tertahan.
Malik tertawa sembari membiarkan Isha bersungut-sungut kesal. Membuat Isha tertawa dan kadang cemberut seperti kali ini jelas menyenangkan bagi Malik. Isha memang jahil kalau dengan temannya. Tetapi ketika bersama Malik, dia sering dijahili. Dam meskipun Isha selalu menanggapinya dengan wajah kesal, nyatanya Malik tak jera untuk melakukannya lagi.
“Memangnya kenapa tadi Abang menjemputku ke kelas?” tanya Isha ketika mereka sampai di parkiran dan Malik mengulurkan helm untuknya.
“Nggak apa-apa. Takut kamu tersesat nggak tahu jalan pulang,” jawab Malik asal-asalan.
“Mana ada aku tersesat?” sanggah Isha ketus sambil mengenakan helmnya.
Dan Malik kembali tertawa.
“Ayo, naik! Nanti tante Rosminah khawatir anak gadisnya yang jutek ini nggak pulang-pulang,” ajak Malik tak ingin jujur mengapa dia harus menjemput Isha sampai ke kelasnya siang ini.
“Biar jutek banyak yang naksir, tahu?” sungut Isha penuh dengan kebanggaan.
“Mereka belum tahu saja kamu juteknya kayak mana. Kalau tahu, ya, pada kabur!” Malik selalu bisa menyanggah kalimat Isha, membuat gadis kecil itu semakin kesal.
“Biar jutek juga Abang betah temenan sama aku? Sudah sejak kecil, kan? Kenapa Abang nggak kabur?” tanya Isha.
“Lho, aku kan nggak naksir ….” Malik menghentikan kalimatnya. Seketika dia ingat dengan kesimpulan Andi tadi.
“Abang yakin nggak naksir sama aku?” tanya Isha dengan senyum lebar penuh ejekan.
Malik terdiam. Tentu saja dia sulit menemukan jawaban yang tepat. Bagaimana kalau yang dikatakan Andi tadi benar, bahwa dia mulai menyukai Isha tanpa menyadarinya.
“Bang? Kok, diam? Jangan-jangan Abang naksir aku beneran ini makanya tadi jemput aku ke kelas?” ejek Isha dengan senyumnya yang lebar.
Seketika Malik mati kutu.
“Iya … iya … Abang naksir kamu. Puas?” tanya Malik kesal karena ejekan Isha. Padahal jantungnya menggelepar oleh pikirannya sendiri. Malik takut kesimpulan Andi akan menjadi sebuah kebenaran yang tidak disadarinya.
“Nah, jujur gitu, kan, bisa aku pertimbangkan,” ujar Isha dengan konyolnya.
“Tapi nanti. Kalau kamu udah nggak ada yang mau,” lanjut Malik dengan tawa mengejek.
Dug!
Isha memukul bahu Malik dengan kesal. Malik mengaduh tetapi tertawa.
***