Beberapa saat sebelumnya ….
Jam pelajaran terakhir adalah saat paling resah bagi Isha setelah perkelahian di kantin tadi. Dia tak nyaman sama sekali. Meskipun dia tidak dipanggil untuk menghadap ke ruang konseling, akan tetapi Isha jelas merasa bahwa dialah penyebab utama perkelahian itu.
“Ada berita nggak di grup kalian?” bisik Isha pada Risna.
Tentu saja Isha harus sedikit berbisik karena pelajaran sedang berlangsung. Meskipun mereka kali ini hanya menyalin, akan tetapi jelas bukan saat yang tepat untuk mengobrolkan masalah tadi.
Risna menoleh, menatap Isha lalu menggeleng.
“Coba buka ponselmu, Ris,” pinta Isha dengan gelisah.
Risna yang tahu kekhawatiran Isha akhirnya membuka ponselnya, terutama ke grup chat yang berisi gadis-gadis penggemar Malik.
“Astaga!” gumam Risna dengan terkejut.
Isha spontan menatap Risna, kemudian merebut ponsel milik Risna dan membaca isi chat grup itu. Seketika Isha mengeluarkan keringat dingin dan menatap Risna dengan tatapan bingung.
“Diskors, Ris?” tanya Isha dengan berbisik.
Risna mengangguk sehingga Isha semakin gelisah.
“Bagaimana ini, Ris? Aku … aku merasa tak enak sama bang Malik,” ujar Isha panik.
Risna tersenyum.
“Kamu tenang dulu. Selesai pelajaran, kita pikirkan bagaimana baiknya,” ujar Risna dengan getir. Ada sedikit rasa nyeri jika dia melihat apa yang Isha rasakan. Karena itu artinya dia semakin tak punya kesempatan untuk sedikit lebih dekat dengan Malik, meski dia tahu bahwa sejak awal dia tak pernah punya kans untuk mendekati Malik.
Isha mengangguk setuju.
Dan menit-menit yang berlalu rasanya seperti sewindu, terasa begitu lambat bagi Isha. Hingga ketika bel berbunyi, Isha berkemas dengan cepat. Dia lalu menyeret langkah Risna untuk menghambur ke area parkir. Padahal belum lagi mereka berunding mengenai langkah apa yang sebaiknya Isha tempuh dalam hal ini. Meski sedikit buru-buru, namun Trisna tak urung ikut dengan langkah Isha.
“Mau bagaimana kita?” tanya Risna di sela langkah mereka yang tergesa.
“Kita harus menemui bang Malik. Aku harus minta maaf dan meluruskan semuanya,” ujar Isha dengan panik.
“Mengapa kamu harus minta maaf sementara kamu tidak dilibatkan dalam hal ini. Maksudku, kamu tidak harus datang ke ruang konseling berarti kamu aman, kan?” tanya Risna masih dengan langkah lebar mengikuti Isha.
“Mereka bertengkar gara-gara aku, kamu tahu, kan?” tanya Isha.
“Ya, aku tahu. Tapi memangnya kamu yakin mereka bertengkar karena kamu?” tanya Risna ketika mereka nyaris sampai di tempat parkir.
Isha spontan menoleh menatap Risna.
“Apa maksudmu, Ris?” tanya Isha mengerutkan keningnya.
Risna mengatur napasnya yang memburu karena mengikuti langkah Isha yang setengah berlari.
“Menurut beberapa cerita, mereka pernah ada masalah karena Rasti,” jawab Risna setenag dia bisa menenangkan diri.
“Rasti?” tanya Isha pada Risna.
Risna mengangguk. “Ya. Gadis yang dulu dekat dengan kak Malik namun direbut sama Rendra. Tepatnya bagaimana aku tak tahu. Entah Rasti yang memang direbut oleh Rendra atau memang Rasti yang meninggalkan kak Malik untuk bersama Rendra. Tapi yang pasti sejak saat itu Rendra dan kak Malik memang berseteru.” Risna memberikan ulasan singkat.
Isha terdiam.
‘Mengapa bang Malik tak pernah bilang soal Rasti?’ batin Isha.
“Sha?” panggil Risna setelah melihat Isha melamun.
“Ya?” Isha tergagap.
“Jadi ngapain kita ke sini? Masih mau menemui kak Malik untuk minta maaf?” tanya Risna.
Isha terdiam. “Menurutmu? Perlukah aku melakukannya?” tanya Isha kemudian.
“Kalau memang kamu merasa bersalah dalam hal ini, kurasa meminta maaf juga hal yang baik.” Risna akhirnya memberi solusi.
Isha mengangguk setuju.
“Tapi sepertinya dia sudah tak ada, sepeda motor yang biasanya diparkir di tempat biasa sudah tak ada,” kata Risna setelah mengamati tempat biasa Malik memarkir motornya kini sudah kosong.
“Apakah mungkin dia sudah pulang sejak awal?” tanya Isha.
“Mungkin,” jawab Risna tak yakin.
“Tak apalah. Mungkin aku akan menemuinya di rumah,” ujar Isha dengan pelan.
“Kamu yakin akan melakukannya?” tanya Risna takjub dengan keputusan Isha.
“Apakah salah?” tanya Isha menatap Risna.
Risna tersenyum kemudian menggeleng.
“Keputusanmu tepat. Mungkin hal ini akan mengurai kesalahpahaman di antara kalian,” ujar Risna memberikan supportnya.
Isha mengangguk dan bergegas menuju pulang karena sekolah ini mulai sepi.
***
Setelah sampai di rumah, Isha memang langsung meletakkan tasnya dan pamit pada ibunya untuk pergi ke rumah Malik.
“Bu, Isha ke rumah bang Malik sebentar,” ujar Isha sambil lalu.
Tentu saja Rosminah terkejut sehingga dia mengejar Isha sampai di teras.
“Mau kemana kamu, Sha?” tanya Rosminah seolah tak mendengar kalimat Isha sebelumnya.
“Ke rumah bang Malik,” jawab Isha ketika dia sudah duduk di atas motornya, siap untuk berangkat.
“Tunggu dulu! Mau ngapain? Kalian sudah baikan?” tanya Rosminah.
“Nggak. Ada sedikit perlu,” jawab Isha.
“Hati-hati, Sha,” pesan Rosminah.
Isha hanya mengangguk sebelum melajukan motornya menuju ke rumah Malik yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari rumahnya itu. Selama dalam perjalanan, jantung Isha berdetak lebih kencang. Berbagai dugaan muncul di kepalanya. Bagaimana memulainya nanti. Namun Isha sudah bertekad untuk menemui Malik, apapun resikonya.
Dan di sinilah Isha kini, di teras rumah Malik yang rasanya kini sedikit asing setelah beberapa bulan dia tidak lagi ke rumah ini sehubungan dengan kesalahpahaman mereka ketika itu.
“Assalamu alaikum, Bu,” sapa Isha dengan canggung. Meskipun dulu —sebelum perselisihan antara dirinya dengan Malik terjadi— dia begitu akrab dengan rumah ini, akan tetapi tidak ke sini selama beberapa bulan ini membuatnya tetap merasa canggung.
“Waalaikum salam. Lho, Isha? Sini masuk,” sambut Aminah dengan ramah, sebagaimana biasanya.
“Abang ada, Bu?” tanya Isha begitu dia masuk ke dalam, mengamati seisi ruangan ini yang meskipun tak ada yang berubah namun Isha masih saja terasa canggung.
“Malik? Dia belum pulang. Belakangan dia sering pulang sore. Katanya ada pelajaran tambahan.” Rosminah menjawab jujur.
“Oh, gitu, ya?” Isha mengangguk lirih.
“Iya, kata Malik begitu. Bapaknya juga belakangan sering pulang sore karena ada les juga. Kamu kemana saja beberapa bulan ini, Sha? Sudah lama nggak ke sini, lho, Sha?” tanya Aminah menyambut kedatangan Isha dengan senyum cerah.
“Saya ada banyak tugas dan kegiatan ekstra, Bu,” jawab Isha berbohong tentu saja.
“Oh, iya. Ibu lupa kalau siswa kelas satu banyak kegiatan ekstra. Padahal Malik juga sudah bilang, nggak bisa barengin kamu lagi karena dia banyak pelajaran tambahan dan kamu juga sibuk ekstra.” Aminah berkata sebagaimana yang dikatakan Malik.
‘Nggak bisa bareng karena banyak kegiatan? Berarti dia nggak bilang pada ibunya bahwa mereka sedang berselisih paham?’ batin Isha dalam hati.
“Iya, Bu.” Isha menjawab dengan senyum canggung.
“Meskipun begitu, Ibu tetap berterima kasih karena masih saja membawakan bekal untuk Malik. Sampai di rumah dia tak pernah makan siang lagi, katanya kenyang sudah makan di sekolah dengan bekal dari kamu. Jangan lupa sampaikan terima kasih Ibu sama ibumu, ya? Sudah merepotkan dengan bekal untuk Malik,” ujar Aminah lebih lanjut.
Isha semakin terkejut karenanya.
‘Berarti selama ini dia bilang masih dibawakan bekal olehku?’ batin Isha lagi.
“Kamu sudah makan, Sha? Yuk makan siang sama Ibu. Sekalian menemani Ibu makan siang. Ibu seringkali makan sendirian,” ujar Aminah sambil mendekati Isha yang duduk dan mengajaknya makan di ruang makan belakang.
“Iya, Bu. Terima kasih. Tapi saya sudah makan,” tolak Isha dengan halus.
“Eh, mana boleh seperti itu? Menolak rejeki mananya. Yuk, ah,” paksa Aminah sambil menarik tangan Isha untuk ke ruang belakang.
Isha tak punya alasan lagi untuk menolak, maka dia akhirnya mengikuti langkah Aminah ke ruang makan. Tak banyak yang berubah di rumah ini. Semua nyaris masih sama. Aminah masih saja ramah sebagaimana biasa. Kali ini bahkan mengambilkan nasi untuknya, masih tetap menganggapnya sebagai anaknya, seperti dulu seolah tidak terjadi perselisihan apapun di antara mereka. Hanya saja mungkin persahabatan mereka yang kini berubah.
Ketika ingat itu, seketika hati Isha merasakan nyeri. Sedikit menyadari bahwa ini adalah kesalahannya yang tak mau mengerti dan terlalu egois. Aminah terus saja bertanya macam-macam pada Isha, yang dijawab gadis itu dengan sekedarnya dan rasa canggung.
Hingga kemudian terdengar suara motor yang berhenti di depan rumah ini. Isha terkesiap, jantungnya berdebar halus dan kemudian menjadi semakin canggung. Karena dia tahu. Itu motor milik siapa.
Lalu waktu seolah berjalan lambat. Detak langkah kaki Malik yang terdengar pelan bagai mesin waktu yang siap melemparnya pada kecanggungan berikutnya. Lalu yang ditakutkan Isha tiba juga.
“Assalamu alaikum, Bu,” sapa Malik dengan suara yang aneh.
Isha menoleh, menatap Malik. Di saat yang sama, laki-laki itu juga menatapnya dengan keterkejutan yang sama.
***