Mereka berdua duduk di kamar Malik, setelah tadi dengan susah payah Malik membujuk ibunya agar tidak memaksa Isha untuk tinggal. Biasanya, memang menantu perempuan tinggal di rumah mertuanya. Namun, Malik berusaha membujuk ibunya dan meminta pengertian bahwa Isha masih ingin tinggal di rumah ibunya.
Isha duduk menunduk dengan raut wajah memerah hendak menangis karena tak berani mengelak dari permintaan Aminah, padahal dia tak ingin menginap.
“Maafkan Ibu kalau memaksa kamu tinggal. Tapi kamu tak perlu khawatir. Ibu tidak akan memaksa kamu tinggal di sini lagi. Aku sudah bilang tadi,” ujar Malik dengan sabar sambil mengemasi beberapa potong pakaian yang akan dibawanya kembali ke kontrakan.
Isha hanya mengangguk.
“Aku juga tidak akan memaksa kamu untuk menginap malam ini. Kita akan pulang ke rumahmu jika memang kamu ingin tidur di sana.” Lagi-lagi Malik memberikan kelonggaran demi Isha tetap nyaman.
Isha hanya diam, mencoba berkompromi dengan hatinya yang sering kali bertolak belakang. Di satu sisi, jelas dia masih belum bisa menerima pernikahan ini sepenuhnya. Namun dia juga tidak bisa berbuat banyak untuk mencari keberadaan Murad yang menghilang entah kemana. Dia tak mungkin mempermalukan keluarganya dengan batalnya pernikahan yang telah digelar kemarin.
Namun menerima Malik dengan cepat juga belum bisa dilakukannya. Meski dalam hati Isha tak bisa memungkiri bahwa dulu dia begitu nyaman bersama dengan Malik yang baik dan cerdas. Bahkan, tanpa disadarinya dulu pernah bercita-cita untuk menikah dengan Malik. Tapi siapa sangka kemudian muncul rasa kesal di hatinya, yang dirasakannya hingga saat ini.
Yang semakin membuatnya tak mengerti adalah ketika dia sadar bahwa Tuhan telah mewujudkan keinginannya ketika kecil, menjadi istri Malik. Pria ini telah menikahinya kemarin lusa.
“Sha? Kamu baik-baik saja? Kamu sakit?” tanya Malik dengan nada khawatir ketika dilihatnya Isha hanya menunduk.
Malik mendekat dan meraba kening Isha, namun gadis itu menghindar cepat.
“Maaf. Aku hanya khawatir sama kamu,” ujar Malik sambil menarik tangannya cepat karena tahu bahwa Isha masih belum siap dengan kedekatan mereka.
“Aku sehat. Hanya tidak enak dengan Ibu kalau aku menolak menginap di sini,” jawab Isha dengan nada lirih.
Mendengar hal ini, Malik menghentikan berkemasnya.
“Mengapa harus merasa tak enak? Dulu kamu sering ke sini, bermain dan belajar layaknya di rumah sendiri. Kamu tak pernah menyadari bahwa aku begitu nyaman ketika melihatmu di rumah ini ketika aku pulang sekolah.” Malik mulai berkisah.
Isha menunduk, membenarkan kalimat Malik.
“Tapi kesalahpahaman membuat kita saling menjauh. Dan kamu tak pernah tahu betapa aku sangat kehilangan kebersamaan kita di masa lalu saat kita sma-sama remaja.” Malik tersenyum masam mengenang permusuhan tanpa alasan mereka dulu.
Isha diam tak menimpali. Dia masih saja menunduk.
“Jujur saja aku merindukan kamu menungguku untuk makan siang di kantin. Makan berdua dan mengabaikan apapun komentar teman-teman kelasku. Mereka bilang kamu sudah seperti istriku. Dan kamu tahu, tanpa kusadari aku mengaminkan candaan mereka,” ujar Malik dengan senyum kering.
Isha masih saja diam. Benarkah seperti itu?
“Dan aku tak pernah menyangka bahwa Tuhan mengabulkan ejekan mereka,” ujar Malik dengan senyum kering. Seketika muka Isha bersemu merah, namun dia memilih untuk tetap diam tak menimpali.
“Apakah kamu masih ingat? Kamu dulu bahkan sering di sini, kan waktu kecil? Sering juga ketiduran pas belajar,” ujar Malik sengaja membangkitkan kenangan kelakuan Isha dulu ketika sering minta diajari oleh Malik.
Seketika wajah Isha semakin memerah, membuatnya semakin terlihat menggemaskan di mata Malik. “Memangnya harus, ya, mempermalukan aku kayak gitu?” tanya Isha dengan bersungut-sungut.
Malik tertawa kecil.
“Sha, aku nggak berniat mempermalukan kamu. Aku hanya mengingatkan kamu saja bahwa kamu dulu sudah sering berada di sini. Kurasa kamu nggak asing dengan rumah ini dan penghuninya, kan?” Malik kemudian duduk di sisi Isha.
“Tapi kamu seolah mengingatkan aku betapa bodohnya aku jaman dulu,” ujar Isha cemberut kesal.
Lagi-lagi Malik tersenyum. Gemas tentu saja.
“Itu hanya perasaan kamu saja. Aku tahu kamu anak yang cerdas. Hanya dulu mungkin karena kamu tak suka dengan guru matematika yang katamu galak. Nyatanya kamu sekarang bisa lulus sekolah akuntansi dengan baik, kan? Bahkan pernah berkarir di dunia akuntansi dengan baik. Bukankah itu hal yang luar biasa?” Malik mencoba membujuk Isha untuk membesarkan hati perempuan yang kini sudah menjadi istrinya itu. Ditatapnya perempuan itu dengan intens.
Namun, Isha malah menunduk dengan muka muram.
“Dan karir itu yang menempatkanku pada posisi nyaris dipermalukan. Karena di sana aku bertemu dengan Murad, namun akhirnya aku dipermalukan seperti ini. Apakah kamu juga ingin menegaskan betapa memalukannya aku?” tanya Isha yang menatap Malik dengan wajah yang sudah bersimbah air mata.
Malik terkesiap.
“Aku tidak mungkin melakukan hal itu, Isha. Aku sama sekali tidak bermaksud mempermalukan dirimu, Sha. Bagaimanapun, kamu istriku sekarang. Baik buruknya kamu adalah tanggung jawabku. Dan kamu tahu, betapa aku sudah mencintai kamu sejak dulu. Tidak terbetik sedikitpun niat di hatiku untuk membuat kamu malu.” Malik berkata dengan nada rendah.
Isha sesenggukan. Malik tak tega melihat Isha menangisi nasibnya yang dipermalukan oleh Murad. Bahu perempuan itu tersengal. Dengan ragu-ragu, Malik meletakkan lengannya pada bahu Isha, mengusapnya pelan untuk memberinya kekuatan mengahadapi hidupnya yang nyaris berantakan itu.
“Sudah … sudah. Jangan menangis lagi. Mulai saat ini, aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti kamu. Murad sekalipun,” ujar Malik lirih.
Isha semakin tergugu hingga Malik tanpa sengaja merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Memberinya sandaran untuk melepas semua rasa kesal dan sakit hatinya karena Murad yang tidak hadir pada pernikahan mereka.
***
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Aminah turun dari sholatnya. Dia menyiapkan makan malam yang dimasaknya sore tadi bersama Isha, menantunya. Namun, Aminah tak melihat Isha dan Malik keluar kamar untuk makan malam. Padahal mereka bilang hanya akan berkemas karena besok Malik harus kembali ke kontrakannya. Maka tanpa pikir panjag, Aminah mendatangi kamar Malik dan mengetuk pintunya.
“Malik? Isha? Kalian sudah selesai berkemas? Makan malam, yuk? Ayah sudah menunggu kalian,” panggil Aminah dari depan pintu kamar Malik.
Tak terdengar sahutan, sehingga Aminah tersenyum karena terlalu jauh berangan atas apa yang dilakukan Malik dan Isha di dalam kamar itu, selain berkemas tentu saja. Dengan senyum geli, Aminah meninggalkan depan kamar Malik menuju ke ruang makan, dimana suaminya sudah menunggu untuk makan malam.
“Kemana mereka, Bu? Apakah tidak makan?” tanya Aiman ketika dilihatnya Aminah datang sendirian, tanpa Malik dan Isha.
Dengan tersenyum geli, Aminah duduk di kursi dan mulai mengambil nasi untuk Aiman dan juga untuk dirinya sendiri.
“Mengapa senyum-senyum begitu? Katanya mau memanggil Isha dan Malik untuk makan malam?” tanya Aiman sambil menerima piring berisi nasi yang diberikan oleh istrinya itu.
“Kok Bapak nanya mereka ngapain? Namanya juga pengantin baru, kan?” tanya Aminah dengan senyum tertahan, membuat Aiman menjadi geleng-geleng kepala.
“Kamu ini aneh-aneh saja, Bu.” Aiman menggerutu sambil
Aminah salah paham sepertinya.
***