Mendengar perempuan yang mengaku ibunya Mita ini akan membicarakan Mita dan Malik. Hati Isha seketika menjadi tak nyaman. Berbagai dugaan dan pikiran kotor menghambur di pikirannya, membuat Bu Reni tersenyum penuh kemenangan.
“Ini … ini maksudnya apa, Bu Reni? Bisakah … bisakah Anda menjelaskannya dengan gamblang agar saya tidak menduga-duga?” tanya Isha dengan gugup.
“Oh, jadi Pak Malik tidak pernah bercerita apapun mengenai Mita?” tanya Bu Reni sengaja berteka-teki, membuat Isha spontan menggeleng dan semakin ketar-ketir.
“Tidak. Abang tidak pernah menceritakan hal apapun yang tidak saya tanyakan,” jawab Isha dengan suara yang nyaris gemetar.
Bu Reni tersenyum senang melihat Isha gugup seperti itu.
“Ya, saya paham mengapa Pak Malik tidak menceritakan hal ini. Mungkin saja karena ingin menjaga perasaan Anda sebagai istri beliau. Dan kedatangan saya ke sini bukannya tanpa tujuan, Mbak Isha.” Bu Reni berkata seperti itu kemudian mengubah settingan wajahnya menjadi sendu.
Isha masih terdiam, mengamati perubahan air muka Bu Reni tanpa memberikan komentar apapun. Yang Isha lakukan jelas meredam jantungnya yang berdebar tidak nyaman. Entah mengapa, firasatnya sangat tak nyaman kali ini.
“Mita itu putri saya satu-satunya, Mbak Isha. Sejak kecil saya tidak pernah memarahinya apalagi bersikap kasar. Dia juga anak yang baik dan sangat periang. Tapi beberapa bulan belakangan ini sikapnya berubah. Dia menjadi murung. Setelah saya desak mengapa dia bersikap seperti itu, ternyata dia sedang sakit hati. Dia tak mau makan. Jadi sekarang … sekarang dia sedang sakit,” ujar Bu Reni yang kemudian menangis, membuat Isha kebingungan sendiri.
“Ibu Reni … Ibu tenang dulu. Lha terus apa hubungannya Mita yang sakit dengan saya, dengan suami saya?” tanya Isha yang tiba-tiba merasa bahwa dia posesif saat menyebut Malik dengan pengakuan sebagai seorang suami.
“Tentu saja ada hubungannya. Karena Mita sedang kasmaran dengan Pak Malik.” Bu Reni menjawab cepat.
“Astagfirullah,” ujar Isha terkejut bukan main. “Mita … kasmaran sama suami saya sehingga dia sakit juga karena hal ini?” tanya Isha setengah tak percaya.
Bu Reni mengangguk cepat.
“Tentu saja. Yang membuat Mita semakin sakit adalah ketika Pak Malik menolak cinta anak saya dan malah kemudian menikahi kamu. Kamu tahu, kan? Dulu, sebelum Pak Malik menikahi kamu, dia begitu baik dan perhatian dengan Mita. Bahkan dia ikut les tambahan mata pelajaran yang Pak Malik ajarkan.” Bu Reni menjelaskan versi dirinya sendiri, mengabaikan posisi Isha sebagai istri sah Malik.
Entah mengapa, Isha merasa hatinya tercubit mendengar Bu Reni bercerita kedekatan Malik dan Mita dulu. ‘Mengapa Malik tidak pernah mengatakan hal ini?’
“Tapi begitu Pak Malik menikahi kamu, dia berubah sikap terhadap Mita. Bahkan, terang-terangan menolak cinta Mita. Padahal kamu tahu? Kalau Pak Malik mau sama Mita, setidaknya menunggu sampai Mita lulus dan menikah, kami sanggup memberikan kehidupan dan materi yang lebih baik dari apa yang saat ini kalian nikmati. Hidup di rumah sederhana begini, apa enaknya?” Bu Reni menatap seisi rumah minimalis itu dengan tatapan sinis.
Isha diam tak menjawab. Dia hanya menahan diri sebisa mungkin untuk tidak menjawab tegas bahwa kehidupan ini yang diinginkan Malik. Pak Ridwan bukan orang dengan ekonomi yang payah. Bahkan, sebulan setelah pernikahan, Pak Ridwan sudah menawarkan pada mereka berdua untuk dibelikan rumah yang lebih besar dan memadai. Namun, laki-laki itu menolak dengan halus dengan alasan logis yang dapat diterima oleh Pak Ridwan.
“Atau … aku punya penawaran untukmu, Mbak Isha.” Bu Reni menatap Isha dengan sungguh-sungguh.
Isha bingung.
“Penawaran?” Isha tak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Ya. Sebuah penawaran saling menguntungkan yang mungkin akan menjadi solusi terbaik untuk kita bersama.” Bu Reni semakin hilang kendali dengan ucapannya.
Isha menggeleng masih tak mengerti kemana arah pembicaraan perempuan cantik dan modis di depannya itu.
“Saya bisa memberikan sejumlah uang atau apapun yang Anda butuhkan, Mbak Isha. Apapun dan berapapun itu. Tapi dengan satu syarat, Anda harus menceraikan Pak Malik dan membiarkan Pak Malik memilih Mita untuk dijadikan istrinya jika nanti Mita lulus sekolah.” Bu Reni menawarkan dengan penuh percaya diri.
“Astagfirullah. Bagaimana mungkin saya melakukan hal itu? Pak Malik itu suami saya, Bu Reni. Dan saya tidak akan menukarnya dengan materi, seberapa pun banyaknya yang Anda tawarkan! Saya bukan perempuan mata duitan!” jawan Isha tegas dengan muka memerah menahan amarah dengan penawaran gila dan tak masuk akal seperti itu.
“Oh, ya? Bukannya Pak Malik menikahi Anda hanya karena kasihan kepada Anda, ya? Anda mau menikah dan calon suami Anda tidak datang, sehingga Pak Malik menawarkan diri untuk menutup malu keluarga Anda, kan? Mengapa Anda tidak membalasnya dengan kebaikan, membiarkan Pak Malik memilih istri sesuai dengan keinginannya? Bukan istri yang hanya untuk menutupi rasa malu?” tanya Bu Reni dengan sinis.
Tenggorokan Isha bagai tercekat mendengar kalimat Bu Reni yang tandas dan menyakitkan itu.
“Coba kalau Anda tidak ditinggalkan calon suami Anda itu, Mbak Isha. Saya rasa, Mita masih tetap sehat dan penuh semangat ceria. Jadi Anda tega, melihat anak saya sakit seperti itu hanya karena orang yang dicintainya lebih memilih menikah dengan perempuan yang ditinggal calon suaminya?” tanya Bu Reni dengan sengaja untuk membakar amarah Isha.
Napas Isha memburu menahan sesak dan sakit hati atas perkataan Bu Reni. Sakit hatinya karena kealpaan Murad pernikahan mereka —yang bahkan sudah mulai bisa Isha lupakan— kini mendadak mencuat kembali ke permukaan. Entah mengapa, Isha tiba-tiba membenci Murad. Kalau saja Murad tidak ingkar dengan omongannya, dia tidak akan dipermalukan seperti ini. Kalau saja Murad hadir pada hari H pernikahan mereka, tidak mungkin dia berakhir menikah dengan Malik yang ternyata memiliki kisah dan skandal dengan Mita, muridnya. Dan mungkin juga dengan perempuan-perempuan lain yang tidak Isha ketahui.
Melihat Isha mulai terpancing emosi, Bu Reni tersenyum senang. Bagai melihat bara api, Bu Reni bersiap untuk mengipasinya agar semakin membara dan membakar hati Isha hingga hangus tanpa sisa.
“Tidakkah Anda kasihan dengan Pak Malik yang hanya mendapatkan sisa dari laki-laki lain, Mbak Isha?” Bu Reni benar-benar semakin tajam mulutnya.
Tak bisa menahan amarahnya lagi, Isha berdiri dengan jantung berdegup kencang dan wajah memerah. Tangannya gemetar. Matanya menatap nyalang ke arah Bu Reni dan kemudian mengucapkan kata-kata kasar yang selama ini tak pernah dia ucapkan itu.
“Saya rasa cukup sudah Ibu bicara di rumah saya! Sekarang saya persilakan Ibu untuk angkat kaki dari sini, sebelum saya mengusir Anda dengan lebih tidak sopan!” tegas Isha sambil menunjuk arah pintu, sebagai bentuk pengusiran terhadap Bu Reni.
Jika selama beberapa tahun ini Isha selalu berusaha untuk lebih santun dan terkendali, tetapi tidak dengan kali ini. Kehadiran Bu Reni yang tanpa undangan itu sudah membuat suasana hatinya kacau dan harga dirinya bagai diinjak begitu saja. Maka mengusir perempuan itu adalah tindakan terbaik yang pantas Isha lakukan.
Sementara itu, Bu Reni yang mendapat pengusiran seperti itu terkejut dan marah pada Isha.
“Eh, Anda ini tidak sopan, ya, sama orang tua! Pantas saja calon suami Anda meninggalkan Anda karena sikap Anda yang tidak sopan seperti ini! Kasihan Pak Malik. Sudahlah dapat istri sisa laki-laki lain, ditambah lagi sikapnya yang tidak sopan!” Bu Reni kemudian menyambar tasnya dan bergegas keluar dengan kesal.
“Dasar perempuan pembawa sial!” Masih bisa Isha dengar Bu Reni menggerutu sebelum akhirnya Isha terduduk lemas dengan dada yang tersengal menahan sesak atas kata-kata Bu Reni yang menyakitkan hatinya itu. Air mata mengalir deras tanpa bisa Isha cegah.
***